Pembentukan Komisi Anti Korupsi / Pembobolan BNI / Irak
4 November 2003
Proses pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPTPK, atau sering disebut pendek TPK, kini sedang berjalan. Panitia pembentukan TPK sedang menyaring nama-nama yang masuk. Sekitar 220 nama sudah diumumkan lewat media. Dalam satu bulan ini, masyarakat diminta memberikan masukan. Harian Suara Merdeka yang terbit di Semarang berkomentar:
Peran serta masyarakat mengontrol mereka yang duduk dalam TPK sangat penting. Terutama setelah belajar dari pengalaman tentang berbagai tim yang telah dibentuk, selalu gagal di tengah jalan. Sejak Orde Lama, Orde Baru, sampai sekarang. Jangan sampai tim yang terbentuk nanti lagi-lagi tak ubahnya bagai macan kertas.
Rontok ketika berhadapan dengan koruptor yang menggunakan kekuasaannya. Tak berdaya, ketika harus menghadapi tembok-tembok baja yang dibangun para penyeleweng. Kita yakin, betapa korup dan bobrok pemerintahan sekarang, masih ada orang yang mempunyai nurani, mendukung TPK. Dalam masyarakat sudah mulai tumbuh semangat memerangi korupsi.
Organisasi massa besar, NU dan Muhammadiyah, mempunyai tekad sama memberantas korupsi. Jika kader-kadernya yang duduk di pemerintahan dan lembaga lain konsisten mengamalkan bersama tekad tersebut, itu akan merupakan kekuatan sangat besar. Kadin sudah mencanangkan tekad antisuap. Jika para pengusaha nasional kukuh mendukung tekad tersebut, itu juga merupakan kekuatan besar untuk ''mematikan'' aparat yang korup.
TPK, jika sudah terbentuk kelak, harus bisa menjadi pemukul terakhir untuk mewujudkan tekad-tekad tersebut.
Bank Negara Indonesia, BNI, belakangan jadi sorotan media, karena diberitakan kebobolan sekitar 1,7 triliun Rupiah. Kebobolan itu sendiri diketahui setelah bagian pengawasan internal BNI melakukan pemeriksaan. Konsorsium pengusaha yang menerima kredit sekarang dilaporkan sudah mengembalikan 500 miliar Rupiah. Masih belum jelas, bagaimana dengan dana sisanya 1,2 triliun Rupiah. Yang dipertanyakan, mengapa para pengusaha mendapat kredit sebesar itu, padahal mereka pernah terlibat skandal kredit macet? Harian Republika berkomentar:
Ada beberapa akibat dari kasus triliunan ini. Pertama, jelas bahwa peringkat bank ini akan turun. Kedua, ketidakpercayaan masyarakat di bursa, bahkan kepada pemerintah.
Kesan kuat bahwa pemerintah ikut menutup-nutupi kasus ini, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap keinginan transparansi dari pemerintah.
Memang, kasus BNI tidak akan memberikan dampak kebangkrutan sebagaimana lima tahun silam. Ini hanya masalah satu bank, yang kebetulan bank pemerintah. Meski begitu, kita semua harus waspada:
jangan-jangan perbankan lain juga mengalami kasus serupa tetapi ditutup-tutupi.
Belajar dari kasus BNI, para pengelola harus lebih hati-hati dalam mengelola bank. Termasuk mengoptimalkan pengawasan internal.
Munculnya kasus ini menandakan bahwa pengawasan internal BNI sangat lemah, padahal di sana bercokol sembilan direktur.
Semoga saja kasus BNI ini bisa diatasi dengan baik, siapa yang bersalah harus dihukum seberat-beratnya. Ini penting untuk memberikan efek jera pada orang yang akan melakukan tindakan serupa.
Semakin lama semakin sulit bagi pasukan Amerika Serikat mengendalikan keamanan di Irak. Dalam lima bulan terakhir, sudah 120 tentara Amerika tewas dalam berbagai serangan gelap. Harian Media Indonesia menilai:
Terorisme, memang, menjadi ancaman global. Karena itu, terorisme harus dilawan dengan kerja sama global pula. Inilah argumen yang membuat Bush merasa Amerika memiliki legitimasi untuk bertindak. Namun, Irak menjadi contoh bahwa legitimasi Amerika memerangi terorisme harus menghormati hak dan kedaulatan masing-masing negara. Terorisme adalah satu perkara, kedaulatan adalah perkara yang lain. Terorisme menyangkut kejahatan, kedaulatan menyangkut harga diri.
Ketika Irak menyerang Kuwait pada 1990, hampir tidak ada negara mana pun di dunia yang menentang keterlibatan dan prakarsa Amerika mengusir tentara Irak kembali ke negerinya. Namun, ketika AS menyerang Irak dan menggulingkan Saddam dengan alasan ancaman bagi dunia karena memproduksi senjata kimia--yang hingga kini tidak terbukti--dunia berbalik menentang Washington.
Perang selalu menjadi solusi murah bagi mereka yang merasa diri kuat. Namun, ketika perang sudah menyangkut harga diri, kedigdayaan akan kalah. Itulah yang sedang berlangsung di Irak. Bila Bush tidak hati-hati, Amerika akan mengalami Vietnam kedua di negeri Saddam Hussein.