1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pembatalan Hukuman Mati di Libya

18 Juli 2007

Dewan Peradilan Tertinggi Libya mengubah hukuman mati terhadap enam pekerja medis asal Bulgaria dan Palestina menjadi hukuman seumur hidup.

https://p.dw.com/p/CPFx
Pimpinan Libya Gaddafi
Pimpinan Libya GaddafiFoto: AP

Sebelum mengambil keputusan, Dewan Peradilan Tertinggi Libya menunggu konfirmasi dari perundingan negara-negara Barat dengan pihak keluarga anak-anak yang terjangkit AIDS. Setelah ada kesepakatan mengenai pembayaran ganti rugi senilai 1 juta Dollar AS per anak, pihak keluarga menyatakan tidak menuntut hukuman mati lagi. Hukuman itu diubah menjadi penjara seumur hidup. Karena antara Bulgaria dan Libya ada perjanjian ekstradisi, enam terpidana yang semuanya berwarga negara Bulgaria itu kemungkinan besar bisa dipulangkan ke Bulgaria.

Harian Italia La Reppublica menulis:

“Kesepakatan yang dicapai bisa menenangkan semua pihak, sekalipun menurut pandangan para ahli internasional, pekerja medis Bulgaria itu tidak bersalah atau paling sedikit tidak bisa diminta pertanggung jawaban secara hukum. Karena pada kenyataannya, virus HIV/AIDS sudah ada di rumah sakit itu sebelum para terdakwa datang. Karena itu ke-enam terdakwa selalu menerangkan, mereka tidak bersalah. Mereka kemudian balik menuduh pihak Libya telah melakukan penyiksaan untuk memaksa mereka mengakui tindakan yang dituduhkan. Sekarang, upaya diplomasi kelihatannya berhasil mengakhiri kasus panjang yang berawal pada tahun 1999 ini dan kemudian berkembang menjadi skandal dalam negeri. Rejim di Libya kemudian menggunakan para pekerja dari Bulgaria untuk memberi kesan ada tindakan tegas.”

Harian Italia lain, Corriere della Sera berkomentar:

“Jika semua berjalan lancar, maka kelima juru rawat asal Bulgaria dan seorang dokter asal Palestina yang ditahan sejak tahun 1999 tidak lama lagi bisa meninggalkan Libya. Jadi inilah titik balik kasus dramatis yang sekarang sudah berlangsung 8 tahun dan diiringi penyiksaan dan percobaan bunuh diri dalam tahanan. Sejak awal sudah muncul keraguan besar yang diajukan oleh pihak pembela. Salah satu versi rekonstruksi peristiwa itu menyebutkan, kemungkinan besar para juru rawat dikorbankan, untuk menutupi penjangkitan yang sebenarnya diakibatkan oleh kurangnya kebersihan di rumah sakit Libya itu. Dan akhirnya, sebagaimana pernah disampaikan pimpinan revolusi Gaddafi ketika menerima istri presiden Perancis di tendanya belum lama ini: solusinya terletak pada kesepakatan tentang uang.”

Harian Swiss Basler Zeitung menulis:

„Keputusan terakhir ini adalah keputusan dagang sapi. Para warga Bulgaria memang tidak jadi dihukum mati, tapi mereka tetap saja jadi kam,bing hitam kasus penyebaran virus HIV/AIDS di rumah sakit Benghazi. Uni Eropa terlalu lama berdiam diri, dan terlalu terlambat memberi tekanan. Baru setelah Bulgaria awal tahun ini resmi menjadi anggota Uni Eropa, kasus ini menjadi agenda politik internasional. Delapan tahun terlambat untuk warga Bulgaria yang tidak bersalah.

Harian Swiss lain Tages-Anzeiger berkomentar:

„Sekalipun hukuman mati di Libya itu bisa dihindarkan, satu hal jelas: negara kaya minyak di Afrika Utara ini adalah sebuah diktatur. Ini perlu diingat oleh para pengusaha yang mengejar untung besar di Libya. Negara Gaddafi adalah diktatur, yang masih belum kenal negara hukum.“