1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tidak Ada Perwakilan Perempuan di Perundingan PBB-Taliban

Hussain Sirat | Waslat Hasrat-Nazimi
1 Juli 2024

Aktivis HAM mengkritik PBB karena tidak mengikutsertakan perempuan Afganistan dalam perundingan dengan Taliban. Sikap ini dianggap melegitimasi pengabaian hak-hak perempuan di bawah kekuasaan Taliban.

https://p.dw.com/p/4hiBB
Kriegsfotografin Anja Niedringhaus / Afghanistan
Foto: Anja Niedringhaus/AP Photo/picture alliance

Konferensi PBB di Doha, Qatar, yang dimulai pada Minggu (30/06) difokuskan pada Afganistan dan hubungan dengan pemerintah Islamis garis keras Taliban. Turut dihadiri perwakilan dari sekitar 30 negara dan organisasi internasional, konferensi ini berlangsung selama dua hari, demikian konfirmasi seorang pejabat PBB kepada DPA.
 
Ini merupakan kali pertama Taliban dilibatkan dalam pertemuan tertutup sejak mereka kembali berkuasa. Perundingan ini bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan internasional dengan pemerintah Taliban.
 
Delegasi Taliban, yang dipimpin oleh kepala juru bicaranya Zabihullah Mujahid, mengadakan diskusi awal dengan perwakilan dari negara-negara seperti Rusia, India, dan Arab Saudi sebelum konferensi utama.

Mujahid membingkai pertemuan ini sebagai sebuah kesempatan bagi Afganistan dan komunitas internasional untuk menemukan titik temu. Sebelum keberangkatan ke Doha, ia menekankan bahwa sejumlah isu-isu internal dalam negeri Afganistan, tidak akan dibahas oleh delegasi.

Mengapa aktivis hak asasi manusia mengkritik PBB?

Namun, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengkritik PBB karena tidak mengikutsertakan perempuan Afganistan dalam perundingan dengan Taliban di Doha.

Shabnam Salehi, mantan komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan, berpendapat bahwa pertemuan ketiga di Doha tidak akan "meyakinkan" tanpa partisipasi perempuan Afghanistan. Ia memandang langkah yang diambil PBB terhadap Taliban sebagai pendekatan yang "salah arah."

Faizullah Jalal, seorang profesor di Universitas Kabul, mengecam tidak diikutsertakannya perempuan dalam pertemuan tersebut. "Menghilangkan diskusi tentang hak asasi manusia dan perempuan merusak kredibilitas PBB," tegasnya.

Pandangan ini diamini oleh Tirana Hassan, direktur eksekutif Human Rights Watch. Ia memperingatkan bahwa tidak mengikutsertakan perempuan "berisiko melegitimasi kesalahan Taliban dan merusak kredibilitas PBB sebagai pembela hak-hak perempuan dan partisipasi yang berarti."

Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Rosemary DiCarlo.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB, Rosemary DiCarlo.Foto: Jens Krick/Flashpic/picture alliance

Namun, DiCarlo dari PBB mengatakan bahwa pertemuan dua hari yang dimulai pada hari Minggu merupakan keterlibatan awal yang bertujuan untuk memulai proses langkah demi langkah dengan Taliban.

Tujuannya adalah untuk melihat Taliban "berdamai dengan dirinya sendiri dan negara-negara tetangganya serta mematuhi hukum internasional, Piagam PBB, dan hak asasi manusia, tegasnya.

"Saya ingin menekankan - ini adalah sebuah proses. Kami mendapatkan banyak kritik: Mengapa tidak ada perempuan di meja perundingan? Mengapa tidak ada perempuan Afghanistan di meja perundingan? Mengapa masyarakat sipil tidak ada di meja? Ini bukan dialog antar-Afghanistan," kata DiCarlo.

"Saya berharap kita bisa mencapai hal itu suatu hari nanti, tetapi kita tidak berada di sana."

Setelah menuai banyak kecaman, PBB telah memutuskan untuk mengadakan pertemuan terpisah dengan masyarakat sipil Afganistan di Doha.

Taliban mengusir perempuan dari hampir semua kehidupan publik

Sejak mereka merebut kekuasaan, Taliban telah membatalkan kemajuan yang telah dicapai dalam dua dekade sebelumnya dalam hal hak-hak perempuan.

Mereka telah mengusir perempuan dan anak perempuan dari hampir semua bidang kehidupan publik.

Anak perempuan dilarang bersekolah lebih dari kelas enam SD dan perempuan dilarang bekerja di sektor publik dan organisasi non-pemerintah. Mereka memerintahkan penutupan salon kecantikan dan melarang wanita pergi ke pusat kebugaran dan taman. Wanita juga tidak boleh keluar rumah tanpa ditemani oleh seorang pria.

Dalam sebuah dekrit yang dikeluarkan pada Mei 2022, wanita juga disarankan untuk mengenakan burqa seluruh tubuh yang hanya memperlihatkan mata mereka.

Penindasan terhadap hak-hak perempuan berarti tidak ada negara yang secara resmi mengakui Taliban sebagai pemerintah Afganistan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa pengakuan itu hampir tidak mungkin terjadi sementara larangan pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan masih berlaku.

Tidak ada pengakuan untuk Taliban

Negara-negara di seluruh dunia telah membuat keterlibatan dengan Afganistan dengan syarat bahwa Taliban harus memperbaiki berbagai hal seperti akses anak perempuan terhadap pendidikan, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang inklusif.

Namun, rezim militan tersebut sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka bersedia untuk membatalkan kebijakan garis kerasnya.

Para aktivis mengatakan bahwa untuk mencapai kemajuan yang berarti dalam pertemuan tersebut bergantung pada representasi yang adil dan transparan dari semua kelompok yang relevan, termasuk perempuan.

Mereka juga menekankan bahwa masyarakat internasional perlu segera menangani pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh Taliban.

Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International, mengatakan tentang pertemuan Doha, "Mengesampingkan perdebatan hak asasi manusia yang kritis tidak dapat diterima."

Rina Amiri, utusan khusus AS untuk urusan hak asasi manusia dan perempuan di Afganistan, menulis di platform media sosial X: "Mengatasi tantangan perdamaian, keamanan, dan stabilitas membutuhkan kehadiran perempuan Afganistan dalam diskusi tentang masa depan Afghanistan."

Seperti apa situasi di Afganistan?

Sementara itu, situasi di Afganistan masih tetap mengerikan. Meskipun kekhawatiran awal akan meluasnya kekerasan telah mereda, negara ini menghadapi banyak tantangan, mulai dari ekonomi yang lumpuh dan pendidikan yang terbatas hingga masalah hak asasi manusia yang sedang berlangsung dan populasi yang terpecah belah.

Perekonomian Afganistan, yang sudah rapuh sebelum pengambilalihan Taliban, telah terpukul secara signifikan. Pembekuan rekening bank dan sanksi internasional, ditambah dengan eksodus para profesional yang terampil, telah menjerumuskan negara ini ke dalam resesi yang dalam.

Kemiskinan telah melonjak, dan upaya-upaya internasional untuk mendorong reformasi yang didasarkan pada peningkatan hak-hak asasi manusia telah membuahkan hasil yang terbatas, terutama terkait hak-hak perempuan.

Pemberian bantuan internasional masih membutuhkan keterlibatan dengan Taliban, yang mana sebagian besar organisasi dan pemerintah enggan melakukannya.

Meskipun Taliban tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengubah cara mereka, konferensi PBB masih dapat menarik perhatian global terhadap krisis yang sedang berlangsung di Afganistan.

(fr/hp)