1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Parlemen Rusia Akui Abhkazia dan Ossetia Selatan Merdeka

25 Agustus 2008

Ketegangan di Kaukasus memasuki babak baru. Dua badan parlemen Rusia dengan suara bulat mendukung kemerdekaan dua wilayah bergolak Georgia.

https://p.dw.com/p/F4cu
Pasukan Rusia meninggalkan Ossetia SelatanFoto: AP

Pemungutan suara di Majelis Rendah Duma menghasilkan suara 447-0, sementara Majelis Tinggi Dewan Federal Rusia menghasilkan 130-0 bagi pengakuan kemerdekaan atas Ossetia Selatan dan Abkhazia dari Georgia.

Duma dan Dewan Federasi Rusia secara resmi mendesak presiden Rusia Dmitry Medvedev untuk mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia. Hasil sidang parlemen ini tidak bersifat mengikat. Namun merupakan dukungan politik penting bagi presiden Medvedev atas keputusannya melancarkan perang singkat terhadap Georgia beberapa waktu lalu.

Itu ditandaskan pernyataan Ketua Duma, Boris Gryslow :

"Kami tak ragu sedikit pun. Bahwa tindakan Rusia di Georgia merupakan hal yang absah dan legal. Itu merupakan tanggapan yang pantas atas agresi presiden Georgia Mikhail Saakaschvili. Tentara dan pasukan perdamaian Rusia menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara Mikhail Saakaschvili justru mengacaukan kestabilan kawasan itu.

Abkhazia dan Ossetia Selatan memberontak terhadap Georgia sejak tahun 1990, saat Georgia menjadi negara sendiri menyusul bubarnya Uni Sovyet. Rusia mendukung kedua provinsi yang memberontak itu secara ekonomi dan politik. Kedua wilayah praktis memang terpisah dari Georgia. Namun tak ada satupun negara di dunia ini yang mengakui kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan.

Parlemen Rusia sebetulnya sudah sejak Maret lalu memberikan aba-aba. Mereka mengesahkan sebuah resolusi yang isinya, jika Georgia melakukan aksi militer untuk menguasai kembali dua wilayahnya, atau jika Georgia terlalu cepat jadi anggota NATO, maka parlemen Rusia akan mengakui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Nyatanya, awal bulan ini Georgia mengerahkan tentara ke Ossetia Selatan. Persis seperti yang dinanti Rusia. Negeri beruang merah itupun mendapat alasan untuk menyerbu, bukan cuma ke Ossetia Selatan, tapi juga ke Abkhazia, dan ke wilayah Georgia lain. Setidaknya 2000 orang tewas dalam perang singkat itu.

Ketua Maelis Tinggi atau Dewan Federal Rusia, Sergei Mironov menyatakan kemerdekaan Abkhazia maupun Ossetia Selatan sudah tak terhindarkan. Disebutkan Sergei Mironov dengan berapi-api:

"Hubungan Georgia dengan Abkhazia dan Ossetia Selatan sudah hancur dan tak mungkin dipulihkan lagi sejak dilakukannya agresi Georgia. Mana bisa rakyat hidup dengan normal kalau saudara-saudaranya dibunuh atau dibakar atau dilindas dengan tank. Rakyat Georgia juga menembaki tentara perdamaian kami dari belakang, dan membunuh prajurit kami yang terluka. Jadi rakyat Abkhazia maupun Ossetia Selatan berhak untuk menyatakan kemerdekaan dari Georgia."

Keputusan parlemen Rusia ini langsung mendapatkan kecaman dan penolakan dari perbagai penjuru. Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini menyebut, langkah ini mengkhianati prinsip penghormatan atas kedaulatan wilayah suatu negara. Di Jerman, politikus partai sosial demokrat Jerman SPD Andreas Schockenhoff, mendesak dunia, khususnya Uni Eropa, untuk tegas menentang Rusia.


"Yang sangat penting, Uni Eropa mesti mengambil sikap yang jelas dan tegas. Kita harus menentang Rusia secara keras. Di masa lalu kita juga bisa bersikap tegas terhadap mereka. dan sekarang pun kita harus menunjukan ketegasan kita, dan tidak membiarkan Rusia memecah belah Uni Eropa. Pemasukan dari minyak dan gas bagi Rusia jauh lebih penting ketimbang konflik yang permanen dengan Uni Eropa. Dan itu harus dengan tegas kita tandaskan kepada Moskow".

Rusia merupakan pemasok 40 persen energi Eropa. Ini membuat sejumlah negara susah bersikap terlalu tegas terhadap Rusia.

Resolusi parlemen ini tidak bersifat mengikat. Tetapi presiden Rusia Dmitry Medvedved setidaknya mendapat modal tambahan untuk berbagai pembicaraan dengan barat. (gg)