1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pariwisata Yogyakarta Sudah Bangkit dari Pandemi

Hendra Pasuhuk
1 Oktober 2022

Bagaimana kiat Daerah Istimewa Yogyakarta untuk bangkit kembali pariwisata setelah terdampak pandemi Covid-19 hampir dua tahun? Terutama dengan promosi dan repackaging culture, kata GKR Bendara.

https://p.dw.com/p/4Hc9H
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara di Frankfurt
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara di FrankfurtFoto: Hendra Pasuhuk/DW

Pariwisata adalah salah satu sektor yang paling parah terdampak pandemi Covid-19, juga di Indonesia. Setelah amukan pandemi mereda, berbagai daerah tujuan wisata berusaha bangkit lagi dengan berbagai kiat dan promosi. Yogyakarta adalah salah satu tujuan wisata utama yang sudah dikenal luas, di dalam maupun di lusr negeri. Bandara internasional yang baru juga menyediakan kapasitas luas dan fasilitas yang modern. Di sela-sela acara Indonesia Festival Frankfurt (IFF) 16-18 September lalu, DW sempat berbincang dengan promotor pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kebudayaan Kraton, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, putri bungsu Sri Sultan Hamengkubuwono X. Berikut petikan wawancaranya.

DW: Bagaimana situasi pariwisata di Yogyakarta saat ini, setelah hampir dua tahun melalui masa pandemi yang sulit?

GKR Bendara: Sekarang sudah bangkit lagi. Selama pandemi, Jogja sebenarnya tidak pernah mendeklarasikan penutupan, jadi selalu terbuka bagi pendatang, hanya saja memang turisnya tidak datangi. Tetapi sekarang wisatawan sudah kembali lagi, terutama setelah bulan puasa lalu. Bahkan sekarang sudah banyak sekali, apalagi pada masa liburan sekolah, karena ada juga tren "revenge holiday”, orang-orang ingin berwisata lagi. Jadi setelah bulan puasa tahun, wisatawan sudah memenuhi Jogja lagi. Okupansi hotel di Jogja sejak bulan Maret lalu sampai sekarang hampir setiap hari mencapai 80 persen, ini malah masih lebih tinggi dari Bali, yang berusaha mencapai 60 persen. Jadi perkembangannya luar biasa.

Jogja memang dikenal sebagai kota tujuan wisata budaya, dan sudah menjadi semacam tujuan wajib bagi wisatawan domestik. Tapi bagaimana kiat Pemda DIY sekarang mendatangkan lagi turis mancanegara?

Tentu untuk menjaring turis mancanegara, caranya harus berbeda. Kalau turis domestik, kita tidak perlu terlalu banyak promosi, karena citra Jogja sebagai tujuan wisata sudah terbentuk, sudah sangat kuat. Untuk turis mancanegara, cara penyampaiannya memang harus berbeda. Tetapi sekarang sudah ada bandara baru, dan kita memang sedang fokus ke wisatawan mancanegara. Karena kita memang punya bandara baru, tapi yang datang hamper semuanya wisatawan domestik. Jadi kita berusaha menggalakkan promosi ke luar negeri, seperti menghadiri acara di Frankfurt ini dan menjadikannya ajang promosi untuk perjalanan wisata ke Yogyakarta.

Nah, tahun ini sudah akan ada penerbangan langsung ke bandara yang baru oleh Thai Airways. Lalu Turkish Airlines juga menyusul, dan tahun depan, semoga, Emirates juga sudah masuk dengan penerbangan langsung. Jadi, mereka sudah siap untuk membawa wisatawan ke Jogja. Yang masih dipikirkan adalah, kalau pesawat-pesawat itu dating ke sini membawa turis, pulangnya nanti mereka membawa apa? Nah, ini yang sedang dijajaki, misalnya nanti pesawat mereka datang membawa wisatawan mancanegara, dan pulangnya membawa jemaah umroh.

Sebagai daerah tujuan wisata, sekaligus pusat kebudayaan yang punya tradisi Kraton yang masih bermakna penting dalam kehiodupan warga Jogja sendiri, bagaimana mengelola agar warisan budaya ini tetap menarik dan atraktif bagi pengunjung?

Ini memang sudah dipikirkan oleh pihak Kraton sendiri. Jadi ada yang kita sebut "dawuh”, atau perintah, dari „Ngarsa Dalem", dari Raja Jogja, bahwa memang kita harus melakukan repackaging culture, untuk tetap mengikuti perkembangan zaman. Kadang orang melihat culture itu sebagai sesuatu yang „kuno", tetapi sebenarnya makna-maknanya tetap penting hingga masa kini. Mungkin simbol-simbol atau bentuk-bentuk yang terlihat dianggap kuno, tapi maknanya tetap hidup dan aktual. Jadi, itulah yang kita coba lakukan dengan repackaging culture.

Misalnya tarian, itu bukan hanya gerakan dan iringan gamelan, tapi ada makna di dalamnya. Dan tarian itu mungkin tidak harus selalu diiringi gamelan, tetapi juga bisa dengan instrumen lain yang bisa mendatangkan bunyi dan kesan serupa, misalnya seperti bunyi gong. Atau sajian tarian itu bisa ditambah dengan keterangan, misalnya ditambah subtitle atau ditambah dengan efek teknik digital, sehingga lebih kelihatan. Kita juga misalnya menampilkan tarian dengan promosi flash mob di jalan, dan itu cukup menarik public, lalu kita membuat seperti Royal Orchestra. Itulah bentuk-bentuk packaging yang baru untuk memperkenalkan culture kita. Sehingga orang lain bisa kenal lebih dulu, lalu mungkin jadi tertarik untuk lebih mendalami dan mempelajarinya.

Jadi juga dengan memperkenalkan dan mempromosikan budaya Kraton..?

Tugas saya di Kraton memang seperti departemen pariwisatanya. Jadi saya memang yang mengurus, yang mencari cara bagaimana budaya di kraton itu bisa dipromosikan untuk pariwisata. Tapi tentu tidak semuanya bisa kita promosikan, ada beberapa hal yang tidak bisa. Misalnya acara Uyon-uyon di Kraton. Untuk acara itu, kita tidak boleh menarik uang, karena itu adalah sajian untuk masyarakat. Berapapun yang datang dari masyarakat, itu kita terima. Jadi itu untuk masyarakat, bukan untuk pariwisata.

Lalu kita tidak hanya menampilkan pementasan, kita juga membuat simposium, seminar dan lain-lain. Sehingga orang tidak hanya melihat tarian saja, tetapi juga bisa mengerti tentang arti gerakan tariannya, dan mengapa itu dilakukan. Dalam kaitan ini, kita sering mendengar orang mengatakan, generasi muda tidak tertarik pada budaya. Tapi itu tidak benar. Kalau kita melihat media sosial Kraton, itu malah kebanyakan yang menanggapi dari generasi Z atau generasi milenial, mereka yang bertanya dan ingin tahu, ini artinya apa, itu maksudnya apa. Jadi mereka justru ingin lebih tahu.

Jadi tidak benar anggapan bahwa generasi muda tidak tertarik pada warisan budaya?

Tidak benar kalau ada yang menganggap gen Z atau milenial itu ignorance atau tidak peduli dengan budaya. Hanya memang kalau kita hanya mengirim mereka undangan seminar, mungkin mereka tidak akan datang. Tapi kalau kita membuat diskusi di warung kopi atau lewat media sosial, mereka akan datang. Jadi kita juga harus bisa menggunakan media sosial dan mencapai mereka di tempat mereka sering berkumpul. Kalau kemudian kita mengundang mereka lewat media sosial, mereka akan hadir. Jadi di seminar dan simposium kita sekarang, justru yang membawakan makalah dan yang datang itu kebanyakan gen Z dan milenial.

Kami misalnya tiap tahun mengadakan simposiun, biasanya bulan Maret, dengan empat orang nara sumber yang duduk di panggung dalam satu sesi. Satu orang mancanegara, satu orang senior, dan dua orang nara sumber pemberi makalah, biasanya anak muda, gen z dan milenial. Jadi audiensnya juga lebih banyak, karena mereka mendapat lebih banyak, ada masukan internasional, ada dari seniornya, dan ada juga pandangan-pandangan dari kacamata milenial dan gen z. Itulah yang kita maksud dengan repackaging culture, bagaimana misalnya membuat packaging seminar dengan cara berbeda, dengan cara yang bisa menarik kaum muda. (hp/yp)

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Hendra Pasuhuk