1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Oxfam: Kelaparan Ekstrem Marak di Wilayah Rentan Iklim

16 September 2022

Jumlah orang yang terancam kelaparan ekstrem di 10 negara rentan bencana iklim di dunia tercatat dua kali lipat lebih banyak dibandingkan enam tahun lalu. Hal ini disimpulkan lembaga amal, Oxfam, dalam studi terbarunya.

https://p.dw.com/p/4GyB9
Warga di Somalia
Warga di Somalia yang terancam bencana kelaparan, Februari 2022Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP

Sepuluh negara miskin, yang dideklarasikan sebagai "titik panas” krisis iklim, kian rentan terhadap bencana kelaparan. Mereka adalah Somalia, Haiti, Djibouti, Kenya, Niger, Afganistan, Guatemala, Madagaskar, Burkina Faso dan Zimbabwe. 

Kesepuluh negara saat ini tercatat paling sering dilanda bencana cuaca ekstrem. Studi yang dirilis lembaga nirlaba Inggris, Oxfam, Jumat (16/9), menyebut sebanyak 48 juta manusia di negara-negara tersebut menderita kelaparan akut. 

Setidaknya 18 juta dikabarkan terancam kematian akibat malnutrisi. Secara umum, angka kelaparan di dunia meningkat dua kali lipat dari 21 juta orang pada 2016. 

Ironisnya pada saat yang sama, kata Oxfam, nilai keuntungan yang didapat perusahaan minyak dan gas selama 18 hari mampu membiayai semua bantuan kemanusiaan yang dituntut PBB untuk tahun 2022. 

Analisa data menunjukkan,  perusahaan energi dunia rata-rata mencetak keuntungan sebesar 2,8 miliar Euro per hari selama 50 tahun terakhir. Adapun PBB menghitung biaya kemanusiaan tahun ini sebesar 49 miliar Euro.

Jumlah populasi yang terancam kelaparan akut
Jumlah populasi yang terancam kelalaran kronis di Afrika, Asia dan Amerika Selatan, menurut data FAO

Wilayah rentan bencana iklim

Sebab itu, Oxfam mendesak negara-negara dunia untuk menaikkan pajak bagi perusahaan penyumbang emisi. "Krisis iklim bukan lagi sebuah bom waktu, ia sedang meledak di depan mata kita semua,” kata Direktur Oxfam International, Gabriela Bucher.

"Pemanasan global membuat peristiwa cuaca ekstrem seperti kekeringan, siklon dan banjir - yang jumlahnya meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir – akan terjadi lebih sering dan lebih mematikan,” imbuhnya.

Sepuluh "titik panas” krisis iklim di Afrika, Amerika dan Asia, merupakan wilayah yang paling sering mengalami cuaca ekstrem selama dua dekade terakhir.

"Bagi jutaan orang yang sedang dirundung konflik bersenjata, ketimpangan yang melebar dan krisis ekonomi, guncangan iklim yang terjadi berulangkali berakibat fatal,” kata dia lagi. "Dampak bencana iklim kini memusnahkan kemampuan warga miskin untuk beradaptasi, dan mendorong mereka semakin dekat ke arah kelaparan ekstrem.”

Tanggungjawab pembuat emisi

Oxfam menegaskan bencana kelaparan yang disebabkan cuaca ekstrem adalah "bukti yang jelas dari ketimpangan global,” karena negara miskin beremisi rendah yang notabene paling dirugikan.

Negara-negara industri saat ini bertanggungjawab atas lebih dari sepertiga emisi global. Sementara 10 negara "titik panas” iklim hanya menyumbang 0,13 persen. 

"Pemimpin negara-negara kaya beremisi tinggi harus menepati janjinya mengurangi emisi,” kata Bucher. 

"Mereka harus membayar langkah adaptasi dan biaya kerugian akibat bencana iklim di negara-negara miskin, serta menyuntikkan dana segar kepada PBB untuk memperkuat kesiapan membantu negara yang paling rentan.”

Menurutnya, penghapusan utang juga bisa dijadikan instrumen iklim, seandainya negara-negara kaya merasakan tanggungjawab moral bagi negara miskin. "Ini adalah soal kewajiban etis, bukan sebuah sumbangan sukarela.”

rzn/hp (dpa,ap)