1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Orang Jerman Tidak Lagi Percaya Sistem Negara Kesejahteraan

8 Agustus 2018

Sebuah asosiasi yang mengurus kesejahteraan sosial di Jerman menyerukan pemerintah untuk menginvestasikan miliaran Euro lebih banyak lagi untuk reformasi kebijakan sosial yang sangat dibutuhkan negara itu. 

https://p.dw.com/p/32nBQ
Bildergalerie Kältewelle Europa Deutschland
Foto: Imago/W. Rothermel

Organisasi Jerman, Paritätische Gesamtverband, yang bergerak di bidang kesejahteraan memperingatkan dalam sebuah laporan yang dirilis Selasa (7/8) bahwa sebagian besar penduduk tidak lagi percaya kepada sistem negara kesejahteraan.

Lebih lanjut, organisasi yang berkedudukan di ibukota Berlin ini menganggap bahwa ketidakpercayaan masyarakat dapat menjadi "ancaman terhadap kohesi sosial di Jerman."

Untuk mengubah keadaan ini dibutuhkan adanya reformasi di beberapa bidang terkait dan investasi sebesar €50 miliar (Rp 838 triliun).

Ketua asosiasi Rolf Rosenstock mengatakan kepada para wartawan di Berlin bahwa pemerintah "tidak memiliki langkah-langkah politik yang ditujukan khusus untuk menjamin kelompok-kelompok orang yang paling berisiko," seperti pengangguran, orang-orang di daerah pedesaan, dan lansia yang hidup dalam kemiskinan.

Jurang pemisah kian lebar

"Pembedaan sosial ini pada akhirnya membuat orang merasa tidak aman dan dapat memicu kebangkitan partai-partai ekstrem kanan. Ini harus diperangi," katanya.

Rosenstock pun menambahkan kalau kegagalan dalam melakukan reformasi di bidang ini dapat membuat "jurang pemisah yang kian luas antara kaum yang disebut elit sosial dan pecundang sosial."

Di antara proposal yang diusulkan dalam laporan tahunan asosiasi ini adalah permintaan kenaikan upah minimum dari € 8,84 (Rp 148.000) hingga € 12 (Rp 210.000) per jam.

Dalam laporan itu mereka juga menyerukan peningkatan jaminan sosial dasar dari € 416 (Rp 6,9 juta) ke setidaknya € 571 (Rp 9,5 juta).

Asosiasi itu mengatakan skema tunjangan pengangguran Hartz IV mungkin yang paling harus dipikirkan ulang, sambil menekankan bahwa hampir tiga perempat dari 6 juta orang yang menerima tunjangan sama sekali tidak menganggur.

Di sisi lain, anak-anak, orang tua tunggal, atau penyandang cacat memiliki penghasilan yang terlalu rendah untuk bertahan hidup. 

ae (AFP, dpa, epd, KNA)