1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Olimpiade 2004 Athena

30 Agustus 2004

Olimpiade 2004 Athena diakhiri Minggu malam lalu dengan upacara penutupan meriah , penuh warna-warni. Ketua IOC Jacques Rogge yang mengucapkan terima kasih kepada tuanrumah Athena, sangat terkesan oleh penampilan kuat dua negara Asia, Cina dan Jepang . Prestasi kedua negara itu itu menandai "kebangkitan Asia" , dan penampilan kuat negara-negara Asia di Olimpiade Beijing 2008. Beijing akan menjadi kota ketiga di Asia yang menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas, setelah Tokyo pada 1964, dan Seoul pada 1988. Komentar dan tanggapan harian-harian internasional mengenai Olimpiade 2004 di Athena ada yang positif dan negatif.

https://p.dw.com/p/CPR6

Harian Jerman Westdeutsche Zeitung menulis:

Kenangan akan Olimpiade Sydney sebagai Olimpiade terbaik sepanjang masa, membebani olimpiade Athena. Prestasi Yunani tidak cukup untuk menutupi kekurangan-keurangannya. Yang tertinggal bagi Yunani, citra hancur dan biaya milyaran untuk Olimpiade yang tidak mungkin terbayar kembali.

Juga bernada negatif, komentar harian Handelsblatt di Düsseldorf:

Olimpiade Athena paling tidak akan masuk dalam buku sejarah Olimpiade karena berbagai kasus dopingnya. Pukulan mundur yang pahit setelah kritik-kritik yang bagus tentang Olimpiade Sydney 2000. Pembersihan yang memang perlu dalam keluarga besar Olimpiade terhadap kasus doping mengakibatkan citra Olimpade tidak lagi se-brilyan, seperti terakhir kali di Barcelona, Atlanta atau Sydney. Dalam film iklan IOC , para pembawa perdamaian , seperti Nelson Mandela dan Kofi Annan masih tetap mencita-citakan gagasan Olimpade tentang dunia yang lebih sejahtera, diawali dengan pertandingan olahraga yang jujur , dan tidak diakhiri dengan penipuan. Bagi banyak penggemar, perlombaan antar bangsa diwujudkan dalam perebutan medali, yang diikuti dengan penuh kebanggaan atau kekecewaan. Padahal kenyataannya di Athena , medali Olimpiade , terutama di beberapa cabang atletik tertentu , bukanlah jaminan keunggulan.

Suratkabar Belanda De Telegraaf mengomentari kasus doping dalam Olimpiade Athena:

Skandal doping yang terungkap adalah hasil pengawasan yang lebih ketat. Dengan itu para pemain yang tidak jujur dapat tertangkap basah. Olimpiade Athena dengan 3 ribu pemeriksaan doping merupakan suatu awal baru yang memberi harapan. Hendaknya IOC dan Badan Anti-Dopingnya melanjutkan kebijakan itu.

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung dengan sinis mengomentari Olimpiade Athena:

Selama dua minggu api Olimpiade menyala terang di dunia yang cemas dan pesimis menghadapi masa depannya. Jiwa Olimpiade di Athena karenanya hanyalah tanda zaman. Mahkota daun zaitun di atas kepala para pemenang, akan cepat layu. Dan penampilan sukses sebuah negara kecil menuntut harga yang sangat tinggi, yakni lebih dari enam milyar Euro. Tidak hanya para tamu yang meninggalkan Yunani, juga warga Athena, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dalam ketidak-pastian dan khawatir akan gagal, kini memikirkan cara mengatur hidupnya seusai olimpiade. Yunani bukanlah negara pertama yang menghadapi keadaan seperti itu.

Namun harian Spanyol ABC positif dalam komentarnya mengenai penyelenggaraan Olimpiade di Athena , yang disebutnya sebagai sukses besar. Kami baca tajuknya:

Olimpiade Athena diakhiri dengan sukses organisatoris besar, yang membuktikan kemampuan Yunani menyelenggarakan even akbar dalam kondisi yang berat, karena anacaman bahaya teror. Patut disebut adalah prestasi regu Australia yang menduduki rangking ke-empat dalam daftar perolehan medali. Hendaknya negara lain mempelajari dengan cermat sukses ini dan meniru cara dan efektivitasnya.

Akhirnya kami kutip komentar harian Indonesia Kompas yang menulis Indonesia perlu iklim olahraga yang lebih baik:

Emas bulu tangkis bisa didapat, tetapi kita memble di beberapa nomor-nomor lain. Kalau dipikirkan, tentu ada yang salah dalam dunia olahraga Indonesia. Di bulu tangkis kita bisa karena tampaknya dalam perbulutangkisan Indonesia memang serius. Namun, di cabang lain tampaknya memang belum ada kontinuitas dalam pembinaan dan pencarian bakat. Banyak orang berolahraga di mana-mana, tetapi untuk berolahraga secara prestasi, apalagi jadi profesi, tampaknya kita belum sampai pada iklim tersebut. Menarik sekali menyimak pernyataan chef de mission kontingen Indonesia, Indra Kartasasmita, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, atlet Indonesia yang sudah kalah bertanding akan dimintanya menyaksikan pertandingan lain agar bisa mengamati kemampuan atlet negara lain. Kenyataannya?Sehari menjelang penutupan Olimpiade, atlet Indonesia hanya tersisa dua orang yang tinggal di Athena. Lainnya sudah pulang. Kesempatan menyaksikan realita pertandingan mutakhir telah disia-siakan banyak atlet nasional Indonesia.