1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Obor Olimpiade Berubah Jadi Simbol Penindasan

10 April 2008

Obor Olimpiade simbol sportifitas dan saling pengertian antar bangsa kini berubah menjadi simbol dari penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

https://p.dw.com/p/DfWj
Demonstran pro-Cina menggelar aksi dukungan bagi Olimpiade Beijing pada saat pawai obor di San FransiscoFoto: AP

Pawai obor Olimpiade di San Fransisco menjadi tema komentar sejumlah harian internasional.

Harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma dalam tajuknya berkomentar:

Obor Olimpiade berulangkali hilang dari pandangan umum. Polisi San Fransico melindunginya bagaikan penjahat kawakan, yang hendak dirajam oleh masyarakat. Sekarang obor Olimpiade berubah menjadi simbol kejahatan dan penindasan, di Tibet atau di Darfur. Tapi di San Fransisco praktis tidak ada yang melihat obor itu diarak. Memang betul, obor Olimpiade kini berubah menjadi sandera. Dipertanyakan, apakah masih ada gunanya melanjutkan pawai obor di 21 kota dunia?

Harian Austria Die Presse yang terbit di Wina berkomentar:

Aksi protes menentang politik Tibet dari pemerintah Cina sepanjang pawai obor Olimpiade, kini bergulir dengan sendirinya. Sementara kemarahan mayoritas rakyat Cina terhadap dunia Barat, semakin hari juga semakin membesar. Pemerintah komunis di Beijing terus melakukan provokasi untuk memanaskan situasi. Dalam situasi sulit seperti ini, Komite Olimpiade Internasional IOC menjadi figur yang paling malang. Para fungsionaris IOC tetap memandang politik dan olahraga sebagai dua hal yang terpisah. Walaupun pada saat memutuskan siapa tuan rumah Olimpiade, mereka memiliki motivasi politik. Tapi usulan konstruktif untuk pemecahan konflik, tidak pernah didengar oleh para petinggi IOC.

Sedangkan harian Jerman Berliner Zeitung yang terbit di Berlin dalam tajuknya menulis komentar latar belakang aksi protes terhadap Cina, berkaitan dengan pawai obor Olimpiade:

Dalam aksi demonstrasi dan gegap gempita pemberitaan media massa, tidak hanya tertumpah kekecewaan mengenai kondisi hak asasi manusia di Cina, melainkan juga ketakutan akan globalisasi, yang di Barat terutama dicitrakan oleh sosok Cina. Barat memandang Cina sebagai saingan berat dalam memperebutkan sumber daya alam, lapangan kerja dan kesejahteraan. Mengritik situasi hak asasi manusia, merupakan usaha yang secara moral tidak berisiko. Dengan itu hendak diingatkan, agar Cina jangan mengganggu gugat hegemoni Barat yang sudah mengakar berabad-abad. Jadi, nyaris tidak ada kaitannya dengan semangat Olimpiade.

Dan harian Prancis La Voix du Nord yang terbit di Lille berkomentar:

Obor Olimpiade nyaris padam. Lambang lingkarannnya berlumuran darah. Siapa yang salah? Kita semua! Komite Olimpiade Internasional yang seharusnya tahu, keputuskan lokasi tuan rumah Olimpiade akan selalu terkait dengan dampak politiknya. Pemerintah Cina yang seolah tuli terhadap aksi protes masalah Tibet. Tapi dunia Barat juga bersikap tidak bertanggung jawab. Mengapa menunggu dan memanfaatkan momentum Olimpiade untuk menggelar bahwa Tibet ditindas? Kita semua menjadi bola permainan sirkus politik dan media massa. (as)