1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Obama Pacu Refomasi Politik Afghanistan

as10 Maret 2009

Tawaran perundingan terhadap Taliban merupakan awal baru yang mengarah pada reformasi politik Afghanistan. Barack Obama kini mencari konsep baru bagi penuntasan konflik di negara yang terus dilanda perang saudara itu.

https://p.dw.com/p/H97u

Tawaran presiden AS Barack Obama untuk melakukan perundingan dengan kelompok moderat Taliban, menjadi tema sorotan dalam tajuk sejumlah harian internasional. Harian Austria Kurier yang terbit di Wina dalam tajuknya berkomentar :

Barack Obama tidak hanya mengakui situasi bencana, melainkan juga keputus asaan dalam politik Afghanistan. Jika seorang presiden AS telah mengatakan, “amat kompleksnya situasi“ dan “tantangan yang lebih berat ketimbang di Irak“, maka pengakuan keputus asaan itu pasti tidak jauh lagi. Gagasan pemecahan masalah dengan penambahan jumlah pasukan, yang berarti mengatasi aksi kekerasan dengan kekerasan tandingan, yang sebelumnya disampaikan Obama di Gedung Putih, kini hanya disinggung sekilas. Memang serdadu tambahan tetap akan dikirimkan. Akan tetapi, yang terutama adalah datangnya fase untuk merenungkan kembali dan mencari konsep baru penyelesaian konflik di negara yang terus dilanda perang saudara itu. Reformasi, yang dimulai dengan pengakuan kegagalan, menunjukkan bahwa Obama sudah menyingkirkan semua rasa malu yang terus ditutupi dan kebohongan ideologi dari era George W.Bush. Ini merupakan awal yang bagus.

Harian Jerman Märkische Allgemeine yang terbit di Potsdam berkomentar :

Ketika mantan ketua partai sosial demokrat Jerman-SPD, Kurt Beck mengajukan gagasannya agar digelar perundingan dengan Taliban, untuk menuntaskan konflik di Afghanistan, hujan kritik datang dari segala jurusan. Kini, gagasan yang sama yang datang dari pemain terpenting dalam politik dunia, Barack Obama dengan segala karismanya, justru memanen anggukan kepala di seluruh dunia. Konsep yang lebih tepat dan lebih benar dari gagasan ini, saat ini memang tidak ada. Tapi tidak dapat dan tidak akan digelar perundingan dengan pimpinan fanatik Taliban sekelas Mullah Omar. Kelompok ini juga tidak akan dilibatkan. Masalahnya kelompok moderat Taliban, yang dapat diajak berunding, paling banyak hanya dapat menyebabkan perpecahan di tubuh kelompok itu. Namun tidak akan memecahkan masalah serangan teror.

Tema lainnya yang juga menjadi tema sorotan dalam tajuk harian-harian internasional adalah dilancarkannya lagi rangkaian serangan teror di Irlandia Utara. Memang perdamaian tidak akan runtuh. Namun kecemasan warga akan meningkat.

Harian Spanyol El Periodoco de Catalunya yang terbit di Barcelona dalam tajuknya berkomentar :

Kecaman secara kompak terhadap aksi kekerasan di Irlandia Utara, merupakan jaminan terbaik agar serangan teror terbaru itu tidak memutar jam kembali ke sepuluh tahun silam. Semua pimpinan Katholik telah menolak kembalinya strategi kekerasan. Akan tetapi juga terdapat kesepakatan, bahwa persengketaan di dalam pemerintahan bersama, memicu aksi brutal dari para pelaku kekerasan. Pemerintahan di Irlandia Utara macet, akibat sengketa antara fraksi Katholik dan fraksi Protestan. Rakyat semakin menjaga jarak dengan para pimpinan politik. Menimbang krisis, hal ini sudah cukup memprihatinkan. Sebab, dalam proses perdamaian di Irlandia Utara, sikap rakyat memberikan kontribusi amat besar, bagi berakhirnya aksi teror.

Terakhir harian liberal kiri Denmark Information yang terbit di Kopenhagen berkomentar :

Bahwa kelompok sempalan “Real IRA“ mengaku bertanggung jawab atas serangan teror itu, memang sudah dapat diduga. Sebaliknya, yang tidak diduga adalah kecaman secara kompak atas aksi brutal itu, baik dari partai-partai demokratis maupun kelompok radikal Protestan dan kelompok ekstrim Katholik. Kenyataan ini amat menggembirakan. Dan sekaligus menunjukkan, bahwa Irlandia Utara sudah melangkah cukup jauh di jalan menuju perdamaian. Tidak ada jalan kembali ke aksi kekerasan dan teror. Tentu saja banyak orang terhenyak dan kaget menyaksikan aksi teror di dekat Belfast itu. Akan tetapi, terlepas dari segala kesedihan, serangan itu justru membangkitkan alasan untuk mengkaji ulang, pemecahan yang sukses menuntaskan konflik etnis dan keagamaan semacam itu di belahan lain dunia.