1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ngobrol “Solutions Journalism” Bersama Mahasiswa di DWGTC

Prihardani Ganda Tuah Purba
6 Mei 2023

Setelah sukses meluncurkan DW Goes to Campus (DWGTC) perdana tahun lalu, DW Indonesia kembali menghadirkan DWGTC kedua pada Kamis (04/05). "Solutions Journalism" atau SoJo menjadi tema utama yang diusung.

https://p.dw.com/p/4Qxxy
Suasana workshop "Solutions Journalism" di acara DW Goes to Campus pada Kamis (04/05).
Foto: Pratama Indra/DW

Jay Rosen, seorang profesor mata kuliah jurnalistik di New York University (NYU) pernah bilang: "Kalau redaksi berita tidak bisa belajar caranya lebih berguna dalam pemecahan masalah, maka kita tidak akan bertahan menjadi media yang berpengaruh.”

Kutipan itulah yang dipakai oleh jurnalis DW Prita Kusuma saat mengawali presentasinya tentang Solutions Journalism (disingkat SoJo) dalam acara DW Goes to Campus (DWGTC)di Swiss German University (SGU), Tangerang, Kamis (04/05).

Di hadapan puluhan mahasiswa yang hadir, ia menjelaskan bahwa di tengah gempuran pemberitaan "sensasional,” SoJo penting karena menjadi sumber informasi yang teliti, berdasarkan fakta, kritis dan fokus pada progres dan solusi.

SoJo memang menjadi tema utama yang diusung oleh DW Indonesia dalam gelaran DWGTC kedua ini. Tema tersebut merupakan lanjutan dari "Constructive Journalism” atau jurnalisme konstriuktif, yang sebelumnya telah diusung dalam DWGTC perdana pada November 2022 lalu.

"Harapan kami adalah sebelum para mahasiwa terbentuk menjadi jurnalis, kita sudah menanamkan nilai-nilai jurnalisme yang penting untuk jurnalisme di masa depan seperti Constructive Journalism dan Solutions Journalism,” kata Vidi Legowo-Zipperer, kepala redaksi DW Indonesia, saat diwawancara pada Kamis (04/05).

Loina Perangin-angin yang menjabat sebagai Ketua Jurusan Program Studi Komunikasi Strategi Global dari Swiss German University (SGU) juga mengakui bahwa tema SoJo sangat relevan untuk kebutuhan kaum muda saat ini.

"Kita tahu internet sekarang menyediakan berbagai bentuk informasi, ada yang bisa memberikan solusi, ada yang bisa menakut-nakuti ya, bisa memberikan pengaruh emosional. Akan enak sekali kalau misalnya kita melihat karya jurnalistik yang dia lebih kepada memberikan solusi,” ujarnya kepada DW.

Mengaplikasikan SoJo untuk sosial media

Ada sekitar 34 mahasiswa/i dari berbagai kampus di Indonesia yang antusias mengikuti DWGTC kedua ini. Bukan hanya dari Jakarta dan sekitarnya saja, tapi juga mahasiswa/i dari luar Jakarta.

Salah satunya adalah Hafidz, mahasiswa semester akhir jurusan Sosiologi dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Dengan mengendarai sepeda motor, ia rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk bisa mengikuti workshop SoJo di DWGTC.

"Karena DW adalah media besar, jangankan dari Jogja, seharusnya darimana pun perlu untuk belajar langsung secara teori dan praktik dengan workshop tersebut. Mungkin saya akan melakukan itu, karena belajar adalah perjuangan,” katanya kepada DW.

Seperti yang disebutkan Hafidz, DWGTC memang tidak hanya memberikan pemaparan tentang SoJo secara teori saja, tapi juga memberikan praktik terkait aplikasinya terutama untuk kebutuhan konten di sosial media.

Jadi melalui kelompok-kelompok kecil, para mahasiswa/i diminta untuk berdiskusi membuat story board yang menarik untuk kebutuhan video berdurasi pendek di sosial media. Materinya diambil dari tiga artikel pilihan yang sudah memiliki elemen SoJo di dalamnya. Tentu, para mahasiswa/i tidak bekerja sendiri, tapi mereka mendapat pendampingan dari jurnalis-jurnalis DW dan akademisi terpilih dari SGU.

"Saya sangat suka dan sangat mengapresiasi program yang diadakan oleh DW terkait Solutions Journalism, karena memang tantangan jurnalis, tantangan media, tantangan sosial, itu kayak orang sosiologi ya, jadi memang hal yang paling penting dari sekadar memberitakan adalah solusi,” kata Hafidz.

"Sebagai seorang akademisi di bidang sosial, saya sudah menerapkan [SoJo]. Tapi setelah mengikuti program ini tentu akan sangat berguna untuk meningkatkannya kembali,” tambahnya.

Lima mahasiswa/i pembuat story board terbaik dalam acara DWGTC, Kamis (04/05).
Lima mahasiswa/i pembuat story board terbaik dalam acara DWGTC, Kamis (04/05).Foto: Pratama Indra/DW

DWGTC sebagai wadah berbagi ilmu

Selain workshop tentang SoJo, DWGTC kedua ini juga menghadirkan diskusi panel dengan dua media mitra DW di Indonesia, yaitu Gagah Wijoseno selaku Redaktur Pelaksana Content Creator dari Detik.com, dan Eko Setiawan selaku KLY Social Media Manager dari Liputan6.

Bersama dengan kepala redaksi DW Indonesia, keduanya turut memberikan pemaparan tentang bagaimana organisasi media tempat mereka bekerja harus beradaptasi menjalankan fungsinya untuk menyuplai kebutuhan informasi, terutama dengan munculnya tren video short-based di hampir semua platfrom media sosial saat ini.

Kepada DW, keduanya mengaku bahwa DWGTC menjadi wadah untuk berbagi ilmu, bukan tentang hanya fungsi atau peran jurnalistik di media sosial, tapi juga tentang tren dan konten apa yang disukai oleh anak-anak muda saat ini.

"Sharing menjadi event yang selalu menyenangkan karena selain kami bisa berbagi ilmu, kami juga mendapatkan banyak insight dari anak-anak muda, yang menjadi target pembaca saat ini tentang tren dan konten seperti apa yang mereka sukai,” kata Eko Setiawan dari Liputan6.

"Workshopnya juga menantang ya, peserta jadi sedikit banyak bisa merasakan bagaimana membuat video short-based on Solutions Journalism,” tambah Gagah Wijoseno dari Detik.

Diskusi panel dari Detik.com, Liputan6, dan DW Indonesia dalam acara DWGTC, Kamis (04/05).
Diskusi panel dari Detik.com, Liputan6, dan DW Indonesia dalam acara DWGTC, Kamis (04/05).Foto: Pratama Indra/DW

Roadshow DWGTC akan terus berlanjut

Senada dengan Eko, Vidi mengamini bahwa DWGTC juga sejatinya muncul karena "melihat adanya kebutuhan untuk mengerti jurnalisme seperti apa yang dibutuhkan oleh anak muda, berita apa yang akan dibaca dan diklik oleh anak muda.”

"Karena harus kita akui, jurnalis sekarang ini usianya sudah tidak lagi sama dengan usia anak-anak muda yang menjadi target audience kita,” jelas Vidi. Untuk itu, satu-satunya cara adalah dengan masuk ke kampus-kampus, berbicara dengan mereka, dan melakukan kerja sama, untuk tahu apa yang mereka inginkan, tambahnya.

Sebagai kepala redaksi DW Indonesia, Vidi berharap roadshow DWGTC bisa terus berlanjut. Ia juga berharap bahwa DWGTC ke depan tidak hanya menyasar kampus-kampus dari Jakarta dan sekitarnya saja, tapi juga kampus-kampus di daerah lain di Indonesia.

"Untuk teaser sedikit, bulan September nanti DW Indonesia akan berulang tahun ke-60, dan rencananya bulan September nanti kita juga akan mengadakan DWGTC yang ketiga, tapi ini semua masih rencana kasar jadi konkretnya kita belum tahu,” jelasnya. (gtp/ap)