1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Negara Memenjarakan Penyebar Hoaks, Tindakan Bijak?

Zaky Yamani
Zaky Yamani
13 Juli 2019

Apakah reaksi negara terhadap penyebar hoaks atau 'fake news‘ berlebihan?

https://p.dw.com/p/3LBDp
Symbolbild Twitter - Tweet melden
Foto: picture-alliance/dpa/A. Warnecke

Sepanjang 2018 di Indonesia setidaknya 18 orang ditangkap polisi dengan tuduhan menyebarkan hoaks dan hate speech bernada politis dan mengandung sentimen agama dan ras. Jumlah itu belum termasuk tak kurang dari 12 ibu rumah tangga yang ditangkap karena menyebarkan hoaks tentang penculikan terhadap anak kecil di berbagai daerah. Belum juga terhitung orang-orang yang ditangkap dengan tudingan menyebar hoaks pascapemilu dan pascakerusuhan 21-22 Mei 2019.

Apakah bijak negara menangkapi para penyebar hoaks itu? Tidakkah penangkapan-penangkapan itu hanya akan menimbulkan dendam, alih-alih membuat mereka terdidik untuk memahami bahaya hoaks yang sesungguhnya, yaitu terpeliharanya kebodohan?

Indonesia mungkin harus berkaca ke negara-negara Eropa dalam menangani wabah hoaks, terutama di media sosial. Misalnya, Jerman yang pada 2017 menggulirkan undang-undang yang bisa mendenda perusahaan yang mendistribusikan berita palsu hingga 500 ribu euro. Bukan Jerman saja yang menerapkan denda kepada media yang terlibat dalam penyebaran hoaks, tapi juga misalnya yang diusulkan Italia.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Saya melihat, beberapa negara Eropa memfokuskan penindakan pada media yang digunakan orang-orang untuk menyebarkan hoaks. Penindakannya bukan pemidanaan dengan ancaman kurungan badan, tetapi terbatas pada denda.

Kenapa medianya yang jadi fokus penindakan, bukan pembuat dan penyebar hoaks? Karena tanpa media, hoaks tidak berarti apa-apa. Dalam penyebaran hoaks, media memiliki peranan signifikan karena konten hoaks tertulis, terekam, dan karenanya seakan-akan memiliki legitimasi untuk disebar-luaskan.

Hoaks tentu saja bukan sebuah fenomena baru. Sebelum ada media sosial, banyak hoaks tersebar dari mulut ke mulut. Namun, sebelum ada media massa, hoaks yang tersebar dari mulut ke mulut memiliki kecenderungan mati sendiri, atau meyimpang jauh dari versi awalnya sehingga mudah dianggap sebagai dongeng belaka.

Adanya media sosial memang mengubah cara dan peta permainan hoaks, terutama dalam memberikan "legitimasi” atas kebenaran dan hak bagi siapa pun untuk menyebarkannya, karena ada menu membagikan konten di sana. Sederhananya, media sosial menyediakan ruang bagi hoaks untuk ditulis, dimodifikasi, direkam, dan disebarkan.

Artinya, media yang dijadikan tempat menyebarkan hoaks harus mengambil porsi tanggung jawab yang besar untuk menghadang penyebaran hoaks di media tersebut. Saya membayangkan, hal itu memang sulit dilakukan oleh pengelola media sosial. Karena media sosial pada dasarnya adalah media yang isinya dibuat dan ditentukan oleh penggunanya. Bagaimana pun, upaya itu harus dilakukan, seperti yang sudah ditunjukkan oleh berbagai media sosial dengan kampanye anti-hoaks.

Berbanding terbalik dengan media konvensional, di mana konten dibuat dan ditentukan oleh pengelola media. Siapa pun akan mudah menuntut pertanggungjawaban dari media konvensional jika ada hoaks yang muncul di sana. Di Indonesia, dalam urusan dengan media konvensional, konten yang bersifat karya jurnalistik bisa diperkarakan ke Dewan Pers, jika karya itu melanggar etika (misalnya ada keboohongan di dalamnya), dan yang harus diadukan adalah pemimpin redaksi atau penanggung jawab media tersebut.

Namun, Indonesia masih mempertahankan aturan yang mengkriminalkan pers dan nonpers—dengan hukuman kurungan badan—seperti yang bisa kita temukan di dalam KUHP dan UU ITE. Dua aturan itulah yang selalu digunakan aparat untuk menindak apa pun yang dianggap sebagai penyimpangan dalam informasi dan penyebarannya.

Kita tentu harus mengapresiasi, Indonesia gencar melakukan kampanye melawan hoaks melalui pendidikan dan sosialisasi yang melibatkan banyak pihak, mulai dari lembaga-lembaga negara, BUMN, sampai dengan masyarakat sipil. Namun, saya perhatikan, dalam sosialisasi itu kerap ditekankan ancaman kurungan badan bagi pembuat dan penyebar hoaks, tanpa penekanan yang kuat akan bahaya hoaks bagi masyarakat, dan bagaimana seharusnya masyarakat menyaring informasi yang mereka lihat di media sosial.

Penekanan pada kriminalisasi hanya akan menimbulkan dendam pelaku, terlebih jika penyebaran hoaks itu bermotif politis. Alih-alih kapok, saya malah khawatir para pembuat dan penyebar hoaks itu malah merasa lebih heroik karena telah dihukum akibat tindakan heroisme mereka.

Menghadang penyebaran hoaks tanpa memberikan porsi lebih besar pada pendidikan bagi warga, paling jauh hanya akan membuat takut penyebar hoaks tapi mereka tetap tidak paham tentang kerugian yang lebih luas dari penyebaran hoaks itu. Karena itu saya berpendapat, pembuat dan penyebar hoaks jangan dipenjarakan, tapi dididik literasi media.

Kriminalisasi penyebar hoaks juga membuat saya khawatir akan satu hal: negara terlalu dominan dalam membuat definisi-definisi tentang hoaks, sehingga akhirnya kritik terhadap pemerintah dan aparat negara pun akan didefinisikan sebagai hoaks. Di titik ini, langkah represif negara akan mengarahkan kita pada ancaman pengekangan kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang pada akhirnya membunuh demokrasi.

Penulis: Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.