1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Natal Duka Tutup Tahun Bencana

25 Desember 2018

Ketika ribuan relawan masih mencari korban, perayaan Natal di kawasan bencana diwarnai rasa duka dan nestapa. Bagaimana pemerintah ingin mencegah jatuhnya korban jiwa dalam bencana tsunami di Indonesia?

https://p.dw.com/p/3AbvO
Symbolbild Missbrauchsfälle Kirche
Foto: picture-alliance/imageBROKER/M. Moxter

Perayaan Natal lazimnya dipenuhi tawa dan keceriaan. Namun tidak demikian di gereja Pantekosta di Carita, Banten. Pada malam kudus (24/12) pendeta Markus Taekz menyambut 100 orang jemaah, hanya separuh dari khalayak yang biasa memadati Misa Kebaktian Natal. Bersama mereka mendoakan korban tsunami yang saat ini sudah berjumlah lebih dari 420 orang.

"Situasi ini tidak biasa karena kita mengalami bencana yang menewaskan ratusan saudara-saudari kami di Banten," kata dia. "Jadi perayaan kami sebenarnya dipenuhi rasa duka."

Baca juga:Dari Merkel Hingga Özil, Sampaikan Rasa Duka Mendalam Untuk Korban Tsunami Indonesia 

Kebanyakan anggota jemaat gereja masih mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsi atau memilih pergi ke Jakarta. Gelombang tsunami yang menyapu pesisir barat Banten dan pantau timur Lampung pada Sabtu (22/12) malam menyisakan kehancuran dan belasan ribu orang yang kehilangan rumah.

Hingga kini 128 orang masih dinyatakan hilang, sementara lebih dari 1.400 lainnya masih dirawat di rumah sakit. Pada Natal kali ini, semua gereja di Indonesia diminta ikut mendoakan korban bencana.

Pencarian Korban Tsunami Terus Digencarkan

Relawan, serdadu dan aparat pemerintah lain menyisir pesisir pantai di antara reruntuhan bangunan. Kantung mayat berwarna kuning, oranye atau hitam berjejer dikelilingi keluarga yang berusaha mengidentifikasi sanak famili sembari meratap pilu. Potongan beton berukuran besar dan pecahan kayu memenuhi pantai yang dulunya dipadati oleh hotel dan rumah-rumah penduduk itu.

Gelombang maut yang meluluhlantakkan Pandeglang dipicu oleh longsor bawah laut hasil erupsi Anak Krakatau. Tidak ada gempa bumi yang menyulut alarm peringatan dini. Ketika ombak datang, kebanyakan mengira hanya air pasang.

Sebab itu Presiden Joko Widodo memerintahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membeli lebih banyak buoy dan pendeteksi tsunami tahun depan.

Saat ini sistem peringatan dini tsunami milik BMKG lebih banyak bertumpu pada simulasi berdasarkan data seismik, bukan observasi.

Buoy terakhir yang dimiliki Indonesia rusak pada 2012 silam lantaran vandalisme dan ketiadaan dana, kata Jurubicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho lewat akun Twitternya.

Indonesia sejatinya sudah memiliki sistem anyar pendeteksi tsunami yang dikembangkan dengan bantuan University of Pittsburg di Amerika Serikat pada 2013 silam. Sistem ini berbasis pada alat perekam hidrofon yang mampu mendengar datangnya gelombang dari dasar laut. Namun ketiadaan dana membuat implementasinya tertunda.

Hingga perlengkapan pendeteksi bisa dibeli, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati berniat merapatkan barisan dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Seperti dilaporkan Kompas, kedua lembaga akan saling bertukar data pengamatan, PVMBG mengurusi erupsi gunung berapi, sementara BMKG menggawangi deteksi gempa bumi.

Jejak Kehancuran Akibat Tsunami Selat Sunda

Baca juga: Pemerintah Didesak Bangun Sistem Peringatan Dini Tsunami

Memang mustahil dipastikan apakah pertukaran data itu akan mampu menghasilkan peringatan yang lebih akurat dan memberikan waktu tambahan untuk penduduk Banten dan Lampung pada malam jahanam tersebut, apakah dua atau tiga menit yang berharga akan mampu menyelamatkan nyawa mereka yang meninggal dunia.

Belum pupus trauma akibat gempa bumi di Lombok dan gempa yang disertai tsunami di Sulawesi Tengah. Diyakini lebih dari 5.000 nyawa melayang dalam dua tragedi tersebut. Bencana di tahun 2018 tidak selalu ramah, sebagaimana tsunami di Selat Sunda yang menutup tahun duka di Indonesia.

rzn/ap (ap, rtr, kompas, tempo)