1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Muram Ibu Tunggal di Afganistan

Shabnam von Hein
18 Juni 2024

Kekuasaan Taliban dan kemiskinan menempatkan ibu tunggal sebagai kelompok paling rentan di Afganistan. Mereka acap tidak bisa melarikan diri dan berpasrah pada uluran tangan kerabat terdekat.

https://p.dw.com/p/4hBFv
Perempuan di Afganistan
Perempuan di AfganistanFoto: Ali Kaifee/DW

Fauzia menjanda sejak ditinggal suaminya usai pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Dia takut, kata ibu yang kini membesarkan seorang putra berusia 5 tahun tersebut. "Saya dulunya adalah seorang polisi dan pegawai aparat keamanan nasional," kata dia kepada DW.

"Kami hidup di Kabul ketika Taliban datang. Suami saya tiba-tiba melarikan diri. Saya dan anak saya harus bersembunyi. Sudah sejak setahun kami melarikan diri. Setiap beberapa bulan, kami berpindah dan tinggal bersama saudara." 

Sejak kekuasaan Taliban, banyak bekas serdadu atau polisi Republik Islam Afganistan yang dieksekusi mati atau dihilangkan. Bagi penguasa baru di Kabul, semua pegawai pemerintahan yang lama adalah pengkhianat. Sebabnya, Fauzia harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dia mengaku tidak bisa mendapatkan jenis pekerjaan lain.

Sang ibu mengaku kebingungan, sebagaimana ibu tunggal lain di Afganistan. Dia merasa siap mengambil risiko besar. "Saya berpikir untuk menjual ginjal. Saya ingin melarikan diri dengan anak saya," katanya. Satu-satunya bantuan didapat Fauzia dari saudaranya, yang juga semakin kesulitan akibat ambruknya perekonomian.

Perempuan berkubang nestapa

Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, sebanyak 97 persen penduduk Afganistan hidup dalam kemiskinan. Dengan 23,7 juta dari 40 juta alias lebih dari separuh penduduk bergantung pada bantuan kemanusiaan. Saat ini, sekitar enam juta orang berada di ambang kelaparan.

Ibu tunggal mewakili kelompok besar di antara penerima bantuan, menurut wartawan Afganistan Azadah Shirzad di Kabul. "Tidak ada data statistik tentang ibu tunggal. Dalam dua tahun terakhir, saya sudah berbicara dengan setidaknya 50 ibu tunggal," kata dia.
Shirzad termasuk sedikit jurnalis yang masih diizinkan bekerja, meski dengan pembatasan dan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Sejak lama dia berusaha menggaungkan perspektif perempuan di Afganistan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Taliban awalnya berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan dalam kerangka hukum Syariah. Namun dalam praktiknya, sejak berkuasa pada Agustus 2021, mereka memperkenalkan sejumlah undang-undang dan kebijakan yang justru mengabaikan hak-hak dasar perempuan di seluruh negeri. Karyawan perempuan dipecat; sekolah menengah khusus ditutup dan perempuan dilarang masuk universitas.

Menurut dana anak-anak PBB, Unicef, sebanyak 1,5 juta anak perempuan dan perempuan muda secara sistematis telah dikecualikan dari hak  atas pendidikan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan. Pembatasan ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk prospek kemakmuran dan kesehatan mental generasi muda.

Anak-anak dalam himpitan

Di bawah Taliban, perempuan hanya diperbolehkan keluar ke tempat umum jika ditemani oleh kerabat laki-laki, seorang mahram. Bagaimanapun, mereka hanya diperbolehkan keluar rumah untuk urusan mendesak dan hanya jika berjilbab. Wanita lajang yang tidak memiliki anak laki-laki di rumah dan tidak memiliki saudara laki-laki di dekatnya hampir tidak dapat meninggalkan kediaman masing-masing.

"Di ibu kota Kabul, perempuan lajang masih bisa bekerja secara diam-diam, sebagai asisten dapur, penjahit, penata rambut atau petugas kebersihan," lapor jurnalis Azadah Shirzad dari Kabul.

Aktivis Afganistan Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

Situasinya berbeda di kota-kota kecil dan desa-desa, lanjutnya. "Di sana mereka bergantung pada belas kasihan keluarga dan kerabat mereka dan harus tunduk. Banyak yang dianiaya dan sering kali dipaksa hidup sebagai istri kedua atau ketiga."

Situasi ekonomi yang memprihatinkan memaksa banyak ibu tunggal mengirim anak-anaknya untuk bekerja. Anak laki-laki khususnya harus mengambil tanggung jawab dan mengumpulkan uang sejak dini. "Mereka bekerja sebagai pedagang kaki lima, penyemir sepatu atau di ladang di luar kota," kata Shirzad. 

"Anak-anak ini dieksploitasi dan sering mengalami pelecehan seksual. Namun ibu mereka tidak punya pilihan selain mengirim mereka bekerja." (rzn/as)