1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Anak-Anak ISIS di Irak dan Suriah

30 Maret 2018

Ribuan anak-anak ISIS tanpa orang tua masih terkatung-katung di Irak dan Suriah. Banyak negara Eropa enggan menerima kepulangan mereka karena dianggap bisa berbahaya.

https://p.dw.com/p/2vEni
IS Kinder im Irak

Nasib ribuan anak-anak yang ditinggalkan oleh militan ISIS asal Eropa di Irak dan Suriah masih belum jelas. Banyak anak-anak tidak punya orang tua lagi, atau berada dalam tahanan bersama ibunya. Di Eropa, para politisi masih berdebat tentang status mereka, dan apakah negara wajib membawa mereka pulang ke negara asal orangtuanya.

Keluarga anak-anak ISIS di Belanda dan Belgia menuntut agar anak-anak itu diperlakukan sebagai warga negara dan dikembalikan kepada keluarga. Namun para politisi dan pihak berwenang mengatakan, mereka mungkin berbahaya karena telah terkena indoktrinasi ISIS.

Dinas keamanan di Jerman dan Belanda telah mengeluarkan peringatan tentang bahaya dan potensi ancaman dari anak-anak itu. Kepala badan intelijen dalam negeri Jerman, Bundesamt für Verfassungsschutz (BfV), Hans-Georg Maassen mengatakan kepada kantor berita DPA, anak-anak itu sudah dicuci otak dan diradikalisasi di "sekolah-sekolah" ISIS, dan bisa menjadi sangat berbahaya.

Badan keamanan Belanda AIVD memperingatkan bahwa anak-anak di bawah umur itu telah diajarkan bahwa "siapa saja yang tidak mematuhi interpretasi Islam yang benar harus dibunuh."

IS Kinder im Irak
Foto propaganda ISIS: Anak-anak dilatih untuk membunuh

Kebanyakan pemerintahan bersikap menunggu

Pihak keluarga di Eropa mengklaim bahwa anak-anak itu adalah warga Eropa dan harus dianggap sebagai warganegara dari negara asal orangtuanya. Sebagai anak-anak, mereka tidak bisa dihukum atas keputusan orang tua mereka bergabung dengan ISIS. Namun sebagian besar pemerintahan di Eropa segan memainkan peran aktif dalam upaya membawa pulang anak-anak ISIS itu.

Video propaganda ISIS menunjukkan anak-anak itu dilatih untuk mengeksekusi orang-orang yang dianggap sebagai musuh dan kafir. Mereka dilatih di kamp-kamp khusus untuk menjadi generasi penerus para militan ISIS.

Contohnya Ayhem yang berusia tujuh yang ditemui DW di Irak. Anak laki-laki Yazidi itu diculik militan ISIS Agustus 2014. Dia lalu diambil oleh seorang perempuan ISIS asal Amerika Serikat yang bernama Sam, yang datang ke Irak dengan suaminya yang keturunan Maroko. Mereka memiliki anak lelaki bernama Youssef. Ayhem lalu belajar bahasa Arab dan Inggris pada Sam, yang di Irak dipanggil Oum Youssef.

Tiga tahun kemudian, pasukan Kurdi masuk ke Raqqa. Oum Youssef ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Ayhem diidentifikasi sebagai Yazidi dan dikembalikan pada pamannya Tahsin di Kurdistan Irak. Tapi Ayhem menolak berbicara apa pun kecuali dalam bahasa Inggris dan mengatakan ingin pergi ke Amerika Serikat. Dia mengaku lupa bahasa ibunya dan mengatakan dia adalah anak Amerika.

IS Kinder im Irak
Ayhem bercita-cita pergi ke Amerika SerikatFoto: DW/J. Neurink

Anak-anak perlu dukungan

Seperti semua anak ISIS, Ayhem diindoktrinasi untuk percaya bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan bahwa orang-orang yang tidak percaya – termasuk kaumnya sendiri, Yazidi, harus dibunuh. Ayhem dan anak-anak  lain yang ditinggalkan ISIS mengalami kesulitan beradaptasi. Ketika ditemui wartawan asing, seorang bocah yang terus mengulang propaganda ISIS.

Salah satu organisasi yang menawarkan dukungan dan melaksanakan program deradikalisasi untuk anak laki-laki  adalah Yayasan SEED, yang berbasis di Irbil, ibukota Kurdistan. Direktur SEED Zaid Abdullah membantah kalau anak-anak itu berbahaya. "Kasus paling kejam yang pernah saya lihat adalah seorang bocah yang menghantam jendela dengan kepalannya." Tidak ada satu pun kasus anak-anak itu menyerang orang yang disebut kafir, katanya.

Para pekerja bantuan mengatakan, dengan dukungan yang tepat, anak-anak pejuang ISIS akan beradaptasi dengan lingkugnannya. "Mereka dapat mengambil pemikiran-pemikiran baru dan beradaptasi dengan situasi baru," kata Zaid Abdullah. SEED menyerukan agar anak-anak itu dikembalikan ke negara asal orangtuanya di Eropa dan diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan normal.

"Jika mereka tinggal dengan keluarga, mereka akan mengikuti teladan mereka. Di Barat memang bisa saja ada masalah dan tantangan dan mereka akan membutuhkan dukungan, tetapi perspektif mereka akan jauh lebih baik," tandas Zaid Abdullah.

Judit Neurink/hp/yf (dw)