1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pianis Profesional Indonesia Bina Generasi Muda Jerman

Marjory Linardy
18 November 2022

Musik klasik Eropa dan instrumen piano sudah jadi kecintaan Danang Dirhamsyah sejak kecil. Musik bisa mendidik orang secara spiritual, begitu pendapatnya. Itu ingin ia tunjukkan kepada generasi muda.

https://p.dw.com/p/4JiK5
Danang Dirhamsyah | indonesischer Pianist
Foto: Hans-Jürgen Humbert

Danang Dirhamsyah lahir di Surabaya. Sejak kecil dia sudah sering mendengarkan ibunya memainkan piano. Danang sendiri juga sudah mulai bermain piano dan les musik sejak berusia enam tahun. "Tapi namanya juga masih anak-anak, kalau disuruh apa oleh guru, ya ikutin," kata Danang sambil mengingat masa kecilnya dan menambahkan, ibunya setiap hari main piano sepuluh, lima belas menit. Saat itu, dia selalu ikut bermain. "Istilahnya gangguin ibu," kata Danang sambil tertawa.

Itu adalah pangkal dari kesenangannya pada musik. Sayangnya, kalau ingin belajar dari guru musik yang bagus, biayanya tidak murah. Akibatnya tentu orang harus memprioritaskan apa yang paling penting. Sehingga Danang kebanyakan belajar sendiri, bagaimana memainkan piano.

Dia bercerita, ketika SMP dia sempat punya cita-cita jadi arsitek. Karena anggota keluarganya ada beberapa orang yang menjadi arsitek, ibunya juga senang melukis, dan Danang sendiri juga punya bakat menggambar. Tapi akhirnya dia membatalkan niat untuk berkuliah di bidang arsitektur, karena tahun 2006 dan 2007 dia ikut berpartisipasi dalam Indonesia Piano Festival yang diadakan di Jakarta. Ketika itu dia sadar, bahwa kecintaannya yang utama adalah pada musik dan piano, dan itu juga membulatkan tekadnya untuk berkuliah di bidang musik.

Ketika SMA dia juga sudah pernah mengajar anak-anak kecil untuk bermain piano. Dari Indonesia Piano Festival dia mengenal beberapa orang yang baru membuka sekolah musik, dan dia ditawarkan untuk mengajar. 

Sudah bertekad jadi musisi klasik

Tahun 2008, Danang mulai berkuliah untuk mendapat ijazah sarjana seni dari Indonesia, di Universitas Pelita Harapan (UPH), di Tangerang, jurusan Piano Performance. Di sana dia belajar dari Iswargia Renardi Sudarno. 

Danang ingin menjadi seniman dan menjadi guru musik. "Musik itu bisa mendidik orang secara spiritual juga," kata Danang, sehingga ia ingin mengajarkan musik ke generasi yang lebih muda. Musik sangat penting bagi jiwa, begitu ditambahkannya, dan sama pentingnya seperti pelajaran kenegaraan, atau matematika, atau lainnya. "Jadi saya juga ingin menyumbangkan sesuatu, melalui hal yang saya suka, yang saya cintai." 

Setelah selesai studi di UPH tahun 2012, dia mencoba melamar beasiswa dari Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD). Ketika itu dia juga berkenalan dengan Profesor Dieter Mack, yang saat itu masih mengajar di bidang komposisi di Universitas Lübeck. Kepada Profesor Mack dia mengatakan keinginannya untuk melajutkan studi di Jerman.

Danang bercerita, Jerman memang jadi negara sasarannya untuk memperdalam musik, karena dia sejak dulu senang dengan karya musik dari komponis besar Jerman, seperti Johann Sebastian Bach, Ludwig van Beethoven dan Johannes Brahms. Dari dulu dia selalu berpikir sambil terkagum-kagum, "Kok bisa, komponis-komponis ini menulis musik yang begitu indah." 

Danang Dirhamsyah | indonesischer Pianist
Foto: Anja Hagge

Mengingat orang harus menunggu setahun jika melamar beasiswa di DAAD, Danang menggunakan waktu selama setahun setelah dia lulus kuliah, untuk bekerja yaitu mengajar di Konservatorium Musik Jakarta. Di samping itu, dia juga memberikan konser di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Dia mengatakan, penggemar musik klasik di Indonesia, paling banyak di tiga kota itu. 

Selama setahun itu, dia juga mulai mempersiapkan diri untuk kuliah Master di Jerman. Selain itu juga mulai belajar bahasa Jerman, walaupun jika mendapat beasiswa DAAD orang biasanya mendapat kesempatan untuk belajar bahasa Jerman selama beberapa bulan terlebih dahulu di Jerman, sebelum beralih ke kota di mana orang itu akan berkuliah.

Memperdalam musik klasik di negeri orang

Juni 2013 Danang mulai belajar bahasa Jerman di Berlin. Setelah empat bulan belajar bahasa Jerman, dia memulai kuliah di Musikhochschule Lübeck (Sekolah Tinggi Musik di Lübeck). Dia bercerita, selain mendalami instrumen piano, dia juga pernah belajar bermain Cembalo, yang juga kerap disebut Harpsichord. Ini juga instrumen musik yang menggunakan tuts seperti halnya piano. 

Selain itu, dulu ketika masih kuliah dia tiap minggu ikut memainkan gamelan bersama grup yang dipimpin Profesor Dieter Mack. Profesor yang sudah dia kenal dulu di Indonesia itu, memang meneliti musik Indonesia, antara lain gamelan Bali. 

Dia bercerita, tadinya dia berpikir, tahun itu dia akan mulai studi Master, kemudian setelah dua tahun akan kembali ke Indonesia. "Ya seperti kebanyakan mahasiswa Indonesia lain yang datang ke Jerman untuk studi dua atau tiga tahun," kata Danang sambil tertawa, "karena, ya, waktu itu hidupnya memang masih di Indonesia."

Tahun pertama dia juga masih merasakan keinginan besar untuk pulang ke Indonesia, antara lain juga karena merasa tidak betah. "Karena masalah adaptasi, dan sendirian di Jerman," begitu dijelaskan Danang. Tapi ketika itu dia juga sudah berpikir, jika DAAD bersedia memperpanjang beasiswanya, dia akan meneruskan kuliah di Jerman. "Ternyata dapet, gitu, dan setelah tahun ke dua saya ga mau pulang. Kok betah di sini," kata Danang sambil senyum-senyum. 

Dia menjelaskan, ketika datang tahun 2013, ijazahnya dari UPH tidak diakui untuk melanjutkan kuliah di Musikhochschule Lübeck . Menurut Danang itu memang bisa terjadi di beberapa bidang studi tertentu. Akibatnya dia harus mengulang S1 atau studi Bachelornya. "Tapi saya kan dateng ke Jerman untuk ambil Master. Jadi saya ingin melanjutkan." Akhirnya Danang selesai kuliah Master tahun 2018. Sejak itu dia bekerja sebagai musisi profesional di Jerman.

Kalau sudah bisa bekerja di Jerman dan merasa betah, ya Jerman sudah jadi rumah. Begitu diutarakan Danang. Sebagai musisi klasik, Jerman bisa dibilang negara yang paling nyaman. Dia mengatakan, di Indonesia dia memang bisa bekerja sebagai guru. Tapi di Jerman lebih baik karena dia tidak hanya mengajar, melainkan juga bisa bermain konser. Karena di Jerman ada banyak Arbeitsstipendium, atau beasiswa untuk bekerja. Jenis beasiswa ini diberikan bagi seniman yang ingin melanjutkan pendidikannya di bidang seni, atau memiliki proyek tertentu.

Jerman berikan banyak sokongan bagi seniman

Biasanya ia mengajukan permintaan beasiswa untuk mengadakan tur konser. Untuk itu, ia mengajukan proposal, dengan melampirkan Curriculum Vitae (CV) lengkap dengan informasi semua pencapaiannya sejauh ini, dan tentu saja, mengingat dia musisi, jika ingin meminta sokongan bagi konser, ia harus mengikutsertakan rekaman bagaimana ia memainkan piano agar bisa didengar dan meyakinkan penentu pemberi beasiswa.

Danang Dirhamsyah | indonesischer Pianist
Foto: Nino Kotrikadze

Danang sendiri juga sudah pernah mendapat penolakan. Alasannya bisa saja karena institusi memang harus memilih, kata Danang, mengingat yang melamar bisa ribuan orang. Selain itu, bisa juga, memang proposalnya kurang disukai, karena tidak sesuai dengan titik berat program yang dijalankan institusi. Contohnya, ada institusi yang memberikan sokongan untuk kota Lübeck saja. 

Dia bercerita, ada institusi di mana orang sulit mendapat sokongan, dan ada yang lebih mudah. Itu kemungkinan juga tergantung dana yang mereka miliki. Yang banyak memberikan dana kepada seniman adalah Deutscher Musikrat, yaitu badan yang memberikan sokongan dan mengurus kepentingan seniman musik di Jerman yang jumlahnya jutaan. Mereka terutama sangat banyak memberikan dukungan dalam dua tahun terakhir ketika pandemi merajalela dan seniman tidak bisa mengadakan pertunjukan. Demikian diutarakan Danang.

Lebih jauh Danang menjelaskan, dengan Kunstförderung atau dukungan dana bagi penciptaan karya seni, dan Musikprojektförderung atau dukungan dana bagi proyek di bidang musik, ada sangat banyak di Jerman. Dengan kemudahan ini, setiap tahun dia bisa membuat proyek-proyek sendiri. "Jadi ngajar itu saya untuk pemasukan yang stabil, dan untuk aktif di bidang seninya, biayanya dari beasiswa. Bisa dari pemerintah atau dari yayasan." Jika mendapat beasiswa untuk konser, ia biasanya hanya meminta sumbangan dari penonton, dan tidak meminta penonton membeli karcis.

Dia mengemukakan pula, di negara Eropa lainnya, sokongan bagi seniman tidak sebanyak seperti di Jerman. "Karena itu saya ingin tinggal dulu di sini. Saya pingin melihat bisa sampai sejauh mana bisa berkarir, gitu, penasaran."

Menurut Danang, dia menyediakan hari khusus untuk latihan bagi konser-konser yang akan ia berikan. Di samping itu, karena di sekolah musik dia banyak mengajar anak-anak kecil, kelas yang dia ajarkan mulainya setelah anak-anak selesai sekolah, jadi biasanya mulai jam dua siang sampai jam tujuh malam. Sedangkan untuk orang-orang yang dewasa waktu pengajarannya lebih fleksibel, dan kadang les privat semacam itu diadakan di rumahnya sendiri. 

Mengajarkan musik klasik bagi anak-anak Jerman

Bagi Danang bekerja mengajarkan musik kepada anak-anak sangat menyenangkan. Memang ada pula muridnya yang sangat aktif, kata Danang. Untungnya pelajaran yang dia berikan selalu berbentuk Einzelunterricht, di mana yang diajarkan hanya satu anak saja. "Kalau dapat anak yang aktif, terus ada lima, wah saya gak kebayang," kata Danang sambil tertawa. Karena untuk belajar piano, orang harus bisa duduk tenang dan berkonsentrasi. Oleh karena itu, dia mengemukakan, jika bekerja sebagai guru di sekolah biasa, tentu lebih berat, karena di setiap kelas ada lebih dari satu anak.

Dia mengungkap pula, dibanding bekerja dengan orang dewasa, jika mengajar musik ke anak-anak, yang paling parah hanyalah, anak itu tidak latihan di rumah. "Ga bikin pekerjaan rumah, udah itu aja yang paling stres," kata Danang sambil tertawa terbahak-bahak. 

Danang Dirhamsyah | indonesischer Pianist
Foto: Anja Hagge

Dia bercerita, dia juga senang tinggal di kota Lübeck, karena tidak terlalu besar tapi segalanya ada. Jika perlu ke kota besar tinggal naik kereta sekitar 45 menit ke Hamburg. Danang mengungkap, berbagai urusan di Ausländerbehörde atau kantor urusan orang asing, juga berjalan baik, dan para pekerja di sana sangat ramah. "Jadi saya yang dari luar itu rasanya juga seperti di rumah," ungkap Danang. 

Kalau masalah anti orang asing, belum pernah dia rasakan secara langsung, walaupun dia juga mendengar ejekan yang diteriakkan yang bersifat agak rasis ketika dia masih tinggal di Berlin. Tapi bagi Danang, sikap seperti itu tentu bisa ditemukan di mana-mana, tidak hanya di Jerman saja. Tentang orang Jerman secara umum, dia berpendapat, kalau belum mengenal tentu bisa ada prasangka buruk, tapi setelah kenal mereka baik-baik saja. "Apalagi di negara yang kebudayaannya sangat berbeda dengan kebudayaan kita, tinggal gimana kita, yang bisa beradaptasi aja, sih."

Kalau bekerja, tentunya hidup jadi lebih kompleks daripada ketika masih berkuliah, begitu dikemukakan Danang. Untuk itu orang harus bisa mandiri, karena memang banyak yang harus diurus sendiri. Kalau di Jerman, yang rumit adalah masalah pajak, kata Danang sambil tertawa. Apalagi bagi orang yang bekerja tanpa status pekerja tetap, seperti dia dan banyak seniman lainnya.

Untungnya, dia mengenal banyak orang Jerman, yang mengerti masalah pajak. Mereka biasanya pensiunan, kata Danang, dan bersedia serta punya waktu untuk membantu dia dalam membuat laporan pajak, yang harus dibuat di Jerman, jika orang memiliki penghasilan lebih dari batas minimal.

Dia mengungkap, pandemi Corona juga merupakan pukulan bagi banyak seniman. Banyak yang beralih ke pekerjaan lain. Karena seniman yang dulunya memang kurang menarik perhatian orang, sehingga kekurangan penonton, tentu akibat pandemi, penontonnya menjadi tambah berkurang. Untungnya ada sokongan dari pemerintah, kata Danang. Meskipun demikian situasi pandemi sangat menekan motivasi orang untuk berkarya dan tetap aktif. "Bagimana ini? Kalau saya main musik klasik, bagaimana caranya supaya ini tetap relefan sekarang?" 

Anak muda Jerman lebih suka K-Pop

Memang musik klasik yang dia mainkan berasal dari Jerman. Tetapi mendapat penonton tidak mudah. Karena misalnya anak muda Jerman, lebih mengenal K-pop daripada musik klasik, begitu dijelaskan Danang. "Karena aku punya murid-murid yang remaja, dan mereka maunya main lagunya BTS [Bangtan Boys]," kata danang sambil tertawa terbahak-bahak, "Oh, ya, OK. Tapi aku ga kenal." Itu jadi tantangan untuk musisi seperti dia, yang sebetulnya memainkan musik tradisi Eropa. 

Berkaitan dengan itu, dia mengungkap pula, di Jerman anak-anak muda yang menggemari dan bisa memainkan musik klasik jauh lebih sedikit daripada di Indonesia, apalagi di Asia. Danang mengatakan, di Jakarta banyak sekali anak-anak di bawah 17 tahun yang bisa memainkan musik klasik pada piano dengan sangat baik. 

Danang Dirhamsyah | indonesischer Pianist
Foto: Fauzan Hendrawan

Tentu perbedaan antara sekolah musik di Jerman dan di Indonesia ikut mendorong tren ini, kata Danang. Di Indonesia, sekolah musik punya kurikulum, punya tingkat-tingkat, dan orang harus melalui ujian untuk bisa naik ke tingkat berikutnya. Di Jerman, sekolah musik tidak punya itu semua, sehingga hanya tampak seperti Dienstleistung atau layanan saja. Akhirnya, anak-anak yang belajar musik di Jerman hanya belajar kalau berminat. Jika tidak berminat, tidak ada dorongan lain. "Kelebihannya, orang jadi tidak stres. Tapi kalau terlalu santai, ya, jadinya tidak belajar apa-apa. Untuk main satu lagu aja lama banget." 

Membawa nama baik Indonesia di negeri orang

Dia menambahkan, jika mengadakan konser, sebagian besar penontonnya adalah orang-orang Jerman yang sudah tidak muda lagi. Dan mereka kerap bertanya, bagaimana sampai Danang, yang asalnya dari negeri yang sangat jauh dari Jerman, bisa tertarik dengan musik klasik Eropa. Dari mereka kadang ada yang tidak menyangka, bahwa di Indonesia, piano adalah instrumen yang dikenal orang dan sangat banyak dimainkan. 

Saat tampil di konser, Danang tentu mengenakan pakaian asli Indonesia, misalnya batik. Ia juga selalu menekankan, bahwa dia orang Indonesia, dan dia juga terus berusaha membawa nama baik bagi tanah air. Tapi bagi orang Indonesia yang ingin bekerja di negeri orang, Danang mengatakan, manusia itu, apapun bahasanya, apapun kulturnya, sebenarnya sama. "Jika kita bisa fleksibel, kita bisa cocok di mana saja."

Danang mengungkap, dari kehidupan di negeri orang yang tidak menekankan komunitas melainkan individu, dia merasa sangat terdukung untuk mencari jati diri. "Dari hidup mandiri di Jerman, saya lebih bisa mengenal diri jauh lebih dalam. Dan apa yang bisa saya kembangkan dari diri saya, untuk menjadi individu yang lebih baik, dan akhirnya bisa bermanfaat untuk orang banyak. Tidak sebagai musisi saja, tetapi sebagai manusia."  (ml/hp)