1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Mimpi Butet Manurung untuk Masyarakat Adat di Indonesia

Prihardani Ganda Tuah Purba
9 Agustus 2022

Menurut Butet, pendidikan bagi masyarakat adat bukan semata-mata agar mereka punya banyak uang, tapi agar lebih memahami dunia. Ia ingin semua masyarakat adat dapat menjadikan pendidikan sebagai alat mengatasi perubahan.

https://p.dw.com/p/41GJJ
Butet Manurung, penggagas Sokola Rimba yang fokus membawa pendidikan bagi masyarakat adat di Indonesia
Butet Manurung, penggagas Sokola Rimba yang fokus membawa pendidikan bagi masyarakat adat di IndonesiaFoto: Dok. Sokola Institute

Dalam rangka peringatan Hari Guru Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 5 Oktober, DW Indonesia mewawancarai Saur Marlina Manurung atau yang akrab disapa Butet Manurung.

Butet adalah penggagas berdirinya Sokola Rimba di tahun 2003. Sesuai namanya, Sokola ini menghadirkan pendidikan bagi Orang Rimba yang tinggal di hutan Bukit Duabelas Jambi waktu itu. 18 tahun berlalu, kini Sokola yang telah berubah nama menjadi Sokola Institute itu telah berhasil menjangkau sedikitnya 17 komunitas adat di seluruh Indonesia.

Atas perjuangannya meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat, Butet pernah diganjar Ramon Magsaysay Award pada tahun 2014. Majalah TIME juga pernah mendapuknya sebagai Heroes of Asia 2004. Tidak hanya itu, Sokola Rimba yang dirintisnya juga telah diangkat kisahnya dalam film garapan Riri Riza dan Mira Lesmana pada tahun 2013. Apa yang membuat Butet begitu peduli dengan pendidikan untuk masyarakat adat? Simak wawancara DW dengannya berikut ini.

Apa yang mendorong Anda mendirikan Sokola Rimba 18 tahun lalu? Dan mengapa masyarakat adat yang jadi fokusnya?

Butet Manurung: Kalau dibilang saya yang mendirikan Sokola Rimba, sebetulnya tidak juga. Awalnya saya sebetulnya ditugaskan untuk memfasilitasi pendidikan, sebagai antropolog saya merekomendasikan berdasarkan penelitian saya di lapangan. Itu dulu saya bekerja untuk sebuah LSM konservasi di Jambi.

Tapi kemudian masyarakat adat ternyata bukan orang yang gampang percaya sama orang baru. Mereka bilang bahwa ‘kami maunya kamu yang jadi gurunya'. Saya tidak punya latar belakang guru, tapi karena saya waktu itu sudah 7 bulanan diusir-usir, bolak balik datang, saya pikir sudah dapat kepercayaan mereka, saya tidak mau menyia-nyiakan. Jadi saya belajar jadi guru. Saya pikir nantinya mungkin saya bisa cari orang yang lebih baik. Tapi akhirnya saya yang kemudian belajar sedemikian rupa, bekerja keras, supaya bisa menjadi seperti yang mereka inginkan.

Kemudian berkembanglah waktu itu Sokola Rimba di Jambi. Lalu akhirnya saya juga berpikir kalau di Jambi begini, bagaimana dengan seluruh provinsi lain di Indonesia, pasti banyak sekali masyarakat adat yang punya masalah dengan buta huruf.  Itu yang menjadi awal Sokola berdiri.

Butet Manurung pernah diganjar Ramon Magsaysay Award di tahun 2014. Penghargaan ini digadang-gadang sebagai Hadiah Nobel versi Asia
Butet Manurung pernah diganjar Ramon Magsaysay Award di tahun 2014. Penghargaan ini digadang-gadang sebagai Hadiah Nobel versi AsiaFoto: Dok. Sokola Institute

Apa sebenarnya mimpi yang ingin Anda capai dengan membawa pendidikan ke masyarakat adat?

Saya tidak bisa membayangkan sebetulnya ini dampaknya akan sedahsyat itu. Dulu saya sederhana saja, saya melihat Orang Rimba ke pasar tidak bisa membaca timbangan, terus dikasih surat perjanjian disuruh cap jempol tidak bisa baca. Nah, pendidikan yang kita artikan di sini pendidikan dari luar, yang formal seperti baca tulis dan setelahnya, itu yang saya bayangkan yang dapat membantu mereka untuk mengatasi masalah-masalah atau menentukan nasib sendiri. Jadi lebih kepada hak, lebih kepada aktualisasi diri sebagai warga dunia, bukan sekadar pendidikan agar menjadi juara, supaya dapat kerja, duitnya banyak, bukan begitu. Tapi lebih kepada untuk memahami dunia ini.

Seperti apa contoh yang sudah pernah mereka alami?

Masyarakat Baduy misalnya. Menurut saya, mereka tidak perlu baca tulis, tidak perlu pendidikan tambahan dari luar, karena hidupnya baik-baik saja. Tapi model kayak Orang Rimba, pada waktu saya di sana 22 tahun yang lalu, itu sering sekali kehilangan tanah karena disodorkan kertas yang mereka tidak tahu membacanya bagaimana.

Mereka hanya disodori kertas dan diminta untuk cap jempol. Tulisan di kertas itu sebenarnya lain, tapi dibilang "oh ini tulisannya surat penghargaan karena Bapak sudah menjaga hutan ini.” Padahal, tulisannya sebenarnya menyatakan bahwa "Bapak setuju menjual tanah itu.” Nah, besok-besoknya buldoser datang dan mengambil semua pohon.

Dia mau protes ke polisi atau kepala desa, tetap yang salah adalah mereka karena sudah terlanjur menandatangani persetujuan itu. Jadi, sangat-sangat sederhana tapi akibatnya fatal. Banyak sekali masyarakat adat di Indonesia ini yang berusaha mengisolasi diri sendiri dengan harapan akan terhindar dari berbagai masalah, tetapi masalah itu datang juga dan mereka tidak mengerti mengatasinya.

Butet Manurung pengagas Sokola Rimba
Perjuangan Butet membawa pendidikan ke pelosok negeri sama sekali tidak mudah. Ia pernah dikejar binatang buas sampai pencuri kayu bersenjataFoto: Dok. Sokola Institute

Jadi menurut saya, setiap masyarakat adat yang sudah mengalami tekanan dari dunia luar harus belajar baca tulis, Bahasa Indonesia, hak-hak mereka, supaya menjadi setara dan seimbang untuk bernegosiasi. Bukan berarti harus menang atau kalah, kadang-kadang juga kalah. Tapi kalau tidak bisa baca tulis pasti kalah.

Mereka menyebut kita orang luar ini adalah orang yang menggunakan Setan Bermata Runcing (pulpen). Dulu mereka takut, tapi kemudian mereka percaya bahwa untuk melawan orang yang bisa baca tulis, kita juga harus menguasai Si Setan Bermata Runcing ini.

Apakah ada persepsi berbeda tentang pendidikan Indonesia yang Anda dapatkan setelah banyak terlibat di masyarakat adat?

Pertama, pandangan masyarakat umum yang berpikir pendidikan selalu dari sekolah itu yang aku tidak setuju. Padahal kita selalu bilang semua orang itu guru, alam raya sekolahku, tetapi kita selalu berpikir bahwa pendidikan itu hanya yang dari sekolah. Bahkan dari orang paling jahat dan orang paling bodoh pun kita bisa belajar sesuatu.

Khusus untuk masyarakat adat, kita selalu berpikir mereka bodoh. Karena ukurannya adalah pendidikan harus dari orang yang tamatan universitas. Padahal masyarakat adat sudah punya ilmu-ilmu itu jauh sebelum universitas pertama di dunia ini ada. Bagaimana cara membaca bintang supaya tidak nyasar balik ke rumah, bagaimana membaca jejak binatang, bagaimana bersiul panggil ikan paus, itu semua pelajaran tapi tidak ditulis saja di jurnal akademik. Itu yang aku mau luruskan bahwa pendidikan pada setiap masyarakat itu ada, bahkan orang pemulung pun punya ilmu bagaimana bertahan hidup.

Kedua, pendidikan di Indonesia itu tidak kontekstual. Kontekstual artinya, kenapa pendidikan dari Aceh sampai Papua kurikulumnya sama, gedung sekolah sama, masuk jamnya sama. Padahal banyak masyarakat kita itu punya rumah dengan model sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan geografis, seperti misal ada binatang buas, rumahnya harus rumah panggung. Tapi nyatanya gedung sekolah kita sama semua, seragamnya sama semua. Nanti kayak resep kue tuh, kita jadi sama semua, semua cita-citanya sama, semua pengen kayak Jakarta, urbanisasi meningkat, dan kebanggaan terhadap budaya dan lokasi masing-masing berkurang. Coba diganti kalau kurikulum itu dibuat di pedalaman Halmahera misalnya, nanti Halmahera yang diidolain. Orang jadi pengen kayak petani.

Jadi kontekstualitas pendidikan itu tidak ada di kita. Kenapa mengajar baca tulis itu harus pakai Bahasa Indonesia, bagaimana yang belum bisa Bahasa Indonesia? Apa harus belajar bahasa dulu? Dan itu sudah ada penelitiannya, bahwa mengajar baca tulis harus pakai bahasa ibu si anak.

Ketiga, soal guru. Guru selalu dirasa sebagai sumber pengetahuan. Padahal menurut saya guru yang keren itu justru belajar dari muridnya. Guru harus berguru kepada muridnya, belajar dulu sebelum mengajar. Nah, di kita tidak seperti itu. Jadi guru cepat bosan, anak-anak juga cepat bosan, karena tidak merasa ada proses perkembangan. Jadi hanya menyampaikan materi saja. Guru yang baik belajar dari muridnya.

Sokola Institute yang Anda pimpin sudah berdiri selama 18 tahun, dan sudah berhasil menjangkau 17 komunitas adat di seluruh Indonesia. Apa lagi target ke depan?

Mimpi kita ingin menjadi pusat pembelajaran masyarakat adat di Indonesia. Sokola adalah lembaga pertama di Indonesia yang fokus kepada pendidikan untuk masyarakat adat di Indonesia. Jadi masih satu-satunya sebetulnya yang fokus untuk itu. Jadi kita sebetulnya sangat merasa sudah cukup punya pengalaman dan semoga bisa dijadikan pembelajaranlah buat pihak lain yang ingin melakukan hal serupa, bisa jadi ide atau yang lain.

Kita juga sudah memetodologikan pendekatan dalam satu buku dan bentuk-bentuk pelatihan yang sudah banyak dimanfaatkan oleh orang lain.

Wawancara untuk DW Indonesa dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba dan telah diedit sesuai konteks

(pkp)