Meraup Untung dari Kemarahan
19 September 2012Bendera warna hijau yang dikibarkan, wajah yang terbakar amarah, anak-anak muda yang melemparkan batu, dan seruan untuk membela Nabi Muhammad apapun konsekuensinya. Dari Tunisia hingga Yaman, kaum muslim turun ke jalan untuk membela kehormatan agamanya.
"Seluruh dunia harus melihat kemarahan di wajah kalian, melihat kepalan tangan dan teriakan kalian," demikian dikatakan pemimpin Hisbullah Hassan Nasrallah, Senin (17/09) dalam demonstrasi di bagian selatan kota Beirut, yang didominasi warga Syiah. "Selama darah mengalir di pembuluh, kita tidak akan menerima penghinaan terdahap Nabi Muhammad."
Hisbullah Perjuangkan Citranya
Nasrallah sudah lama tidak tampil di muka umum. Konflik yang berlangsung di negara tetangga Suriah juga tidak dikomentarinya di depan publik. Hisbullah lebih memilih untuk mendukung rezim Bashar al Assad, yang bertahun-tahun mendukung Hisbullah. Desas-desus tentang pejuang Hisbullah di Suriah sudah terdengar sejak beberapa bulan lalu.
Tetapi solidaritas dengan Assad sudah menyebabkan simpati masyarakat kepada Hisbullah banyak berkurang. Sekarang mereka merasa terancam akibat kemungkinan jatuhnya Bashar al Assad. Mengapa sekarang Nasrallah berbicara kepada pendukungnya berkaitan dengan film "Innocence of Muslims"?
Karena dengan adanya film itu ia melihat kesempatan, untuk menampilkan diri sebagai pejuang melawan AS, sekaligus pembela Islam. Demikian dikatakan Lurdes Vidal, dari institut penelitian "Instituto Europeo del Mediterráneo" di Barcelona, Spanyol. Ia menggunakan kesempatan itu untuk memperbaiki citra. Demikian dijelaskan perempuan pakar ilmu Islam dan politik itu, sambil menambahkan, "Dengan kehadirannya di depan publik, Nasrallah berusaha memenangkan pendukung."
Tuntutan Ekstrimis
Seperti halnya di Libanon, kelompok-kelompok lain di dunia Islam juga memanfaatkan kemarahan atas film yang bersifat anti Islam. Mulai dari Afrika Utara (negara-negara Maghreb) hingga Semenanjung Arab, kemarahan itu jadi peluang untuk mendemonstrasikan kekuatan. "Lewat pendudukan lokasi-lokasi umum di negara-negara tempat terjadinya 'musim semi Arab', kaum Salafis ingin membuktikan, bahwa mereka menjadi kekuatan pendorong massa di jalanan." Demikian ditulis harian Arab, Al Hayat. "Mereka menuntut kekuatan-kekuatan, yang menampilkan diri sebagai alternatif yang mapan dan terorganisir, tetapi belum cukup membangun kekuasaan."
Motif kaum ekstrimis hampir sama. Yang berbeda adalah konteks, di mana mereka bergerak. Di Libya, kelompok-kelompok ekstrimis, setidaknya yang dekat dengan Al Qaida, berusaha mendapat dukungan. Karena di negara itu pemerintah yang baru terpilih belum mampu menegakkan monopoli kekuasaan. Kelompok ekstrimis sudah mulai menyalahgunakan kelemahan ini Agustus 2012, yaitu dengan menghancurkan makam-makam yang dianggap suci oleh para Sufi.
Kemarahan yang timbul sekarang, menurut pakar Islam Reinhard Schulze, digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. "Timbul kesan, seolah dalam kemarahan tentang film itu, orang-orang fanatik yang bertanggungjawab atas serangan menemukan semacam cara menerangkan kepada publik, sehingga serangan teror mereka dapat dinyatakan sebagai kemurkaan rakyat."
Pakar Manipulasi
Tetapi banyak warga Libya menjauhkan diri, baik dari perusakan makam Sufi maupun dari para teroris. Warga Mesir juga tidak ikut campur dengan keinginan dan masalah kaum Salafis. Tentu saja sebagian warga Mesir bersimpati dengan kaum radikal. Demikian dijelaskan pakar politik Gamal Soltan, yang mengajar di Universitas Amerika di Kairo. "Dua-duanya bisa ditemukan. Ada publik yang sebagian besar warga sederhana dan sangat peka secara religius, yang juga bisa disalahgunakan dan dimanipulasi. Di pihak lain juga ada orang-orang yang menyalahgunakan situasi bagi tujuan mereka sendiri."
Soltan berpendapat, demonstrasi adalah bagian dari konflik lebih luas. "Kaum Salafis bersaing dengan Hisbullah walaupun ideologinya sama. Jadi tidak ada dari mereka yang tertarik pada dialog nasional. Apakah masalah ekonomi atau video anti Islam, semua bisa digunakan untuk menggoyahkan legitimasi pemerintah dan mencapai tujuan sendiri."
Hamas Perjelas Profil
Gerakan Islam Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza juga menggunakan kesempatan. Seruan mereka untuk mempertahankan Islam bertepatan dengan kemunduran politis yang terus berlangsung, dijelaskan Lurdes Vidal. Politik pemukiman Yahudi yang terus berjalan di Tepi Barat Yordan tidak bisa mereka halangi.
Selain itu Hamas tidak semaju saingan mereka, yaitu gerakan Fatah. Dengan adanya permintaan pengakuan Palestina sebagai negara pengamat di PBB, citra Fatah semakin baik. Sedangkan Hamas sama sekali tidak dapat menunjukkan kesuksesan seperti itu. Lagi pula, karena begitu lama menunda pemutusan hubungan dengan rezim Assad, Hamas kehilangan simpati. "Karena semua itu, Hamas menampilkan diri sebagai pembela Islam. Selain itu, mereka menjelek-jelekkan AS. Dengan cara itu mereka menajamkan profil, yang dulunya semakin kabur."
Sudan dan Utangnya
Di Sudan situasinya berbeda. Di negara itu pemerintah ikut menyebabkan kekerasan, setidaknya sebagian kekerasan, lewat media miliknya. Demikian dijelaskan Reinhard Schulze. "Di negara itu prosesnya diarahkan. Saya tidak bisa bayangkan, bahwa rakyat Sudan bisa mengadakan protes semacam itu, jika tidak ada pengarahan apapun," ditambahkan Schulze.
Aksi protes tersebut juga berguna bagi pemerintah. Karena tahun lalu Sudan Selatan memisahkan diri dan merdeka. Dengan perubahan itu, Sudan kehilangan sebagian besar pemasukannya lewat minyak, karena daerah kaya minyak sebagian besar termasuk wilayah Sudan selatan. Pemerintah Sudan berusaha mengkompensasi kehilangan pemasukan itu lewat langkah penghematan besar-besaran. Banyak orang memprotes pembatasan dan kenaikan harga yang berkaitan dengan langkah penghematan pemerintah, dalam beberapa bulan terakhir.
Jadi aksi protes terhadap film itu bisa menjadi cara menguntungkan bagi pemerintah, untuk mengalihkan kemarahan rakyat. Tetapi Schulze menjelaskan, dengan cara itu masalah tidak akan menjadi lebih mudah bagi pemerintah. "Di satu pihak pemerintah bertanggungjawab melaksanakan program penghematan, juga menyelesaikan pembayaran utang negara. Di lain pihak pemerintah berusaha mencegah terjadinya semacam "musim semi Arab" di Sudan," demikian Schulze.