1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjelang Olimpiade

5 Agustus 2008

Tanggal 8 Agustus 2008, pesta olah raga Olimpiade dibuka di Beijing. Media internasional menyoroti kejadian seputar Olimpiade dalam tajuknya.

https://p.dw.com/p/EqLs
Teater Nasional di Beijing, siap menyambut wisawatan OlimpiadeFoto: picture-alliance/dpa

Harian Italia La Repubblica mengomentari pesan Sri Paus Benediktus ke-XVI kepada komite penyelenggara dan peserta Olimpiade.

Berbeda dengan Presiden George Bush dan Nicolas Sarkozy, Sri Paus tidak menghadiri pembukaan pesta olah raga Olimpiade, tapi beliau tetap menemukan jalan untuk menunjukkan partisipasinya, yaitu dengan mengirimkan pesan kepada Cina, lima hari sebelum Olimpiade dimulai. Ini adalah suatu langkah berarti mengingat Vatikan dan Republik Rakyat Cina tidak menjalin hbungan diplomatik sejak tahun 1951. Paus Benediktus XVI mendukung dibukanya kembali jalur diplomasi. Hari Minggu (03/08) pemimpin tertinggi Umat Katolik mengirimkan ucapan selamat kepada tuan rumah Olimpaide, tanpa menyinggung kebebasan pers atau agama, topik pelik bagi petinggi politik Cina.

Harian Denmark Jyllands-Posten menyorot situasi menjelang Olimpiade.

Tahun ini, perhelatan akbar Olimpiade sudah berakhir sebelum pesta pembukaan, ibarat kembang api yang disulut sumbunya tapi tak menyala. Ini tentu mengecewakan bagi para olah ragawan, tapi mereka dapat menyesuaikan diri. Imbasnya lebih parah bagi jiwa Olimpiade yang terancam padam di tengah-tengah smog kota Beijing. Saat Cina terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2008, Ketua Komite Internasional Olimpiade (IOC) Jacques Rogge mengatakan, ini akan mendukung perkembangan HAM di Cina. Nyatanya, situasi kini makin buruk. Dan paradoksnya, ini terjadi karena upaya mati-matian pihak berwenang untuk menampilkan citra positif masyarakat Cina selama Olimpiade. Sungguh tak masuk akal, bila warga Beijing dijebloskan ke kamp kerja paksa, hanya karena mereka membagi-bagikan selebaran selama Olimpiade.

Harian Prancis Le Figaro berkomentar:

Keputusan untuk memilih Cina sebagai tuan rumah sudah tepat. Negeri tirai bambu, yang bagi banyak orang merupakan misteri, kini menjadi sorotan dunia. Neraca sementara sudah dapat ditarik dari hal ini. Dunia barat tak dapat memalingkan muka dari negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa ini. Kepentingan ekonomi yang terkait dengan negara ini terlalu besar. Olimpiade kali ini mencerminkan dunia baru yang berkembang di abad ke-21 ini. Dunia yang diwarnai persaingan antara negara raksasa yang dinamis dan diperintah secara otoriter, serta barat yang merasa diri universal dan berupaya keras untuk tak kehilangan muka. Cina berambisi untuk memenangkan lebih banyak medali dari Amerika Serikat. Pernyataan ini mengandung makna simbolis yang besar.

Harian Jerman Stuttgarter Zeitung juga menyoroti penyelenggaraan pesta olah raga di Beijing.

Sebenarnya, Olimpiade berpeluang menjadi pesta untuk merayakan integrasi Cina dalam masyarakat dunia. Dan walaupun kedengarannya agak basi, perhelatan akbar ini seharusnya menjadi pesta perdamaian. Tapi untuk itu dibutuhkan lebih dari sekedar tampak muka depan yang cantik dan stadion modern. Petinggi partai Komunis dapat mengambil kesempatan ini untuk mereformasi politik Cina, tiga dasa warsa setelah mangkatnya Mao. Tapi mereka malah mempertahankan sistem otoriter yang sudah lama tak sesuai dengan realita di Cina. Secara tidak langsung, Beijing menipu rakyatnya sendiri. Rakyat Cina yang selama 30 tahun bekerja keras untuk membangun negaranya berhak untuk menikmati pesta olah raga Olimpiade yang lebih baik daripada ini.(zer)