1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Mengapa Pertumbuhan Ekonomi Cina Melambat?

16 Mei 2023

Saat krisis keuangan global pada 2008 silam, program stimulus besar dari Beijing membantu Barat pulih dari krisis keuangan. Namun hal ini tidak akan terjadi pada masa pemulihan pascapandemi COVID-19.

https://p.dw.com/p/4RMv6
Pelabuhan peti kemas Lianyugang di Cina
Pelabuhan peti kemas Lianyugang di CinaFoto: Wang Chun/Costfoto/picture alliance

Setelah mencabut kebijakan nol-COVID yang sangat ketat pada bulan Desember, ekonomi Cina mulai bangkit, tapi tidak dalam tempo yang diharapkan. Impor Cina mengalami kontraksi tajam pada bulan April sebesar 7,9%, sementara ekspornya tumbuh lambat, hanya 8,5% dibandingkan dengan 14,8% pada bulan Maret.

Sementara itu, pinjaman bank pada bulan April juga turun tajam, kurang dari seperlima nilai bulan Maret. Ini menandai adanya kelambatan investasi dan pertumbuhan.

"Ekonomi Cina tidak akan meledak dan juga tidak akan kembali ke dekade emas 2010-an, ketika pertumbuhan mencapai tingkat dua digit," kata Steve Tsang, direktur China Institute di School of Oriental and African Studies di London kepada DW.

Ancaman yang pernah disampaikan Cina untuk menginvasi Taiwan juga terus menimbulkan kekhawatiran dan sikap menjauh di Barat. Ditambah lagi sikap lunak Beijing terhadap Moskow setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Ancaman terhadap Taiwan membuat Cina terisolasi

"Terkait Taiwan, meningkatnya ketegangan atau perang akan menyebabkan pergeseran seismik," kata Pushan Dutt, profesor ekonomi di sekolah bisnis INSEAD di Singapura kepada DW. "Perusahaan multinasional akan keluar dari Cina, pasar ekspornya akan ditutup, dan sanksi akan diberlakukan."

Steve Tsang juga melihat masalah dalam politik luar negeri Cina. "Kebijakan luar negeri yang tegas yang diberlakukan oleh Presiden Xi Jinping menyebabkan AS dan negara-negara Barat lainnya mulai memisahkan diri, atau mengurangi risiko, dalam hubungan ekonomi mereka dengan Cina, yang berarti bahwa faktor kunci yang sebelumnya mendukung pertumbuhan pesat di Cina melemah," katanya.

Para pembuat kebijakan di Barat juga semakin kritis melihat proyek global Belt and Road Initiative (BRI) yang dicanangkan Cina dengan dana investasi senilai 840 miliar dolar AS. BRI merencanakan pembangunan untuk jalan, jembatan, pelabuhan, dan rumah sakit di lebih dari 150 negara. Kekhawatiran kini muncul bahwa proyek-proyek infrastruktur raksasa itu bisa menjerumuskan negara-negara miskin dan berkembang ke dalam perangkap utang.

Bulan lalu, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde menyesalkan kemungkinan fragmentasi ekonomi global menjadi blok persaingan yang dipimpin oleh Cina dan AS. Dia memperingatkan bahwa ketegangan antara kedua blok bisa merusak pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan ancaman inflasi.

Beijing memprioritaskan 'pertumbuhan berkualitas'

Alasan lain untuk melambatnya angka pertumbuhan ekonomi Cina adalah rencana strategis Beijing sendiri untuk memprioritaskan "pertumbuhan berkualitas” ketimbang kuantitas. Namun reformasi ini, bagaimanapun, membutuhkan waktu.

"Cina telah mencoba merekayasa pergeseran dari produsen kelas bawah menjadi (kekuatan) dominan di industri masa depan (kecerdasan buatan, robotika, semikonduktor, dll.),” kata pakar ekonomi Pushan Dutt.

Saat bergerak menjauh dari industri berat yang didominasi perusahaan milik negara menuju inovasi dan konsumsi domestik, perlambatan pertumbuhan adalah hal yang "wajar-wajar" saja, tambahnya.

Pada saat yang sama, IMF memperkirakan bahwa Cina akan terus menjadi pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi global selama lima tahun ke depan, menyumbang sekitar 22,6% dari total pertumbuhan dunia, dibandingkan dengan Amerika Serikat yang diprediksi hanya menyumbang 11,3% dari total pertumbuhan global.

Sementara permintaan Barat yang melambat akan terus berdampak negatif pada ekspor Cina, ekonomi domestiknya masih memiliki potensi besar, terutama karena permintaan domestik hampir terhenti selama tiga tahun penguncian ketat COVID-19.

"Konsumen Cina telah mengumpulkan sekitar 2,6 triliun dolar surplus tabungan selama pandemi," kata Dutt kepada DW." Jadi, saya perkirakan sektor jasa akan mengisi kekosongan dalam jangka pendek."

(hp/gtp)

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.