Perjalanan gerilya Jenderal Sudirman sudah demikian melegenda. Sosok Jenderal Sudirman saat kembali ke Yogyakarta, pada Juli 1949, dengan mengenakan jaket panjang dan ikat kepala (blangkon), telah menjadi dokumen ikonik. Entah sudah berapa monumen yang dibangun berdasar model Sudirman dengan pakaian bersahaja seperti itu.
Perjalanan gerilya Sudirman memakan waktu lebih dari enam bulan, dan melibatkan sejumlah besar prajurit yang mengawal Sudirman, dengan tugas masing-masing. Dalam dokumen yang selama ini dikenal publik, baik teks maupun visual (termasuk film), nama pengawal yang paling populer adalah (dengan pangkat saat peristiwa) Kapten Suparjo Rustam dan Mayor Tjokropranolo. Sementara nama-nama pengawal lain, nyaris tidak dikenal, dan akhirnya dilupakan begitu saja.
Letkol Suadi
Salah satu tokoh penting dimaksud adalah Letkol Suadi Suromihardjo. Dalam foto dokumentasi, sosok Suadi bisa dikenali dengan baret hitam dan senapan M1 Carbine, yang selalu terpasang di dadanya. Posisinya (secara fisik) tidak pernah jauh dari Jenderal Sudirman, itu sesuai dengan jabatannya, sebagai Komandan Pasukan Pengawal Panglima Besar Sudirman. Dari segi hirarki (dan juga pangkat), Suparjo Rustam dan Tjokropranolo berada di bawah Suadi.
Saat kembali ke Yogya dari perjalanan gerilya (Juli 1949) Pak Dirman disambut upacara kehormatan pasukan TNI. Di panggung kehormatan, seperti yang terlihat dalam foto yang beredar selama ini, Pak Dirman menerima defile, bersama beberapa tokoh lain, salah satunya adalah Suadi dengan tampilan khasnya. Dalam foto klasik yang mengabadikan peristiwa tersebut, Suadi berada satu frame dengan Pak Dirman, Sjafrudin Prawiranegara (Perdana Menteri "darurat”), Letkol Soeharto (Komandan Brigade di Yogya, kemudian Presiden RI), dan Kapten Suparjo Rustam (ajudan Pak Dirman, kelak menjabat Mendagri).
Usai Pak Dirman meninggal, Suadi melanjutkan karier militer dengan lancar, dan boleh dibilang sangat istimewa. Suadi sempat mengikuti pendidikan di dua lembaga bergengsi: Seskoad di AS (Fort Leavenworth) dan Staff College, Quetta, Pakistan. Berdasarkan rekam jejak pendidikan seperti inilah, Suadi dipercaya oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk menjabat Komandan Seskoad di Bandung (1959-1961). Suadi juga sempat menjadi Komandan Kontingen Garuda I, pasukan perdamaian di bawah payung PBB. Pasukan Garuda di bawah Suadi saat itu ditugaskan ke Mesir (1957) setelah Presiden Nasser menasionalisasi Terusan Suez. Karier Suadi mulai suram ketika Soeharto berkuasa sekitar 1965-1966.
Ketika berkuasa, Soeharto secara halus menyingkirkan Suadi. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terpendam dalam hati Soeharto terhadap Suadi. Selain pada foto yang disebut pada awal tulisan, setidaknya ada dua perjumpaan penting lain antara keduanya. Pertama ketika Suadi mendampingi Soeharto dalam memonitor kondisi pasca-Peristiwa Madiun, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. Soeharto turun langsung ke lapangan berdasarkan perintah Jenderal Sudirman. Kedua saat Suadi menjadi Komandan Seskoad, Brigjen Soeharto memperoleh kesempatan mengikuti Kursus C di lembaga tersebut.
Sejarah resmi Indonesia menghapus nama Letkol Suadi karena ia dianggap perwira "Kiri”, sehubungan dengan Peristiwa Madiun 1948. Tuduhan "Kiri” terhadap Suadi seharusnya gugur, ketika dirinya ditarik menjadi Komandan Pasukan Kawal Panglima Sudirman selama gerilya. Jika benar Suadi adalah simpatisan FDR, bagaimana mungkin Pak Dirman merekrut seorang perwira yang dianggap terlibat pemberontakan terhadap pemerintah yang sah? Seandainya tak dipercaya Pak Dirman, tentu Suadi tidak dilibatkan dalam perjalanan gerilya.
Hipotesis yang mungkin bisa diajukan adalah, Soeharto ingin selalu dominan dalam banyak hal, dia tidak mau ada pesaing, termasuk dalam soal pencitraan, siapa yang paling dekat dengan Sudirman. Secara singkat bisa dikatakan, bahwa hanya dirinya yang bisa disebut perwira yang paling dekat dengan Sudirman, bukan Suadi.
Melepas karier militer
Dari penelusuran penulis, setidaknya ada dua nama (pengawal) lagi yang namanya seperti hilang dari catatan sejarah, yakni Utoyo Kolopaking dan Bambang Sumadio. Kasusnya sedikit berbeda dengan Letkol Suadi, yang memang ada rekayasa sistemik dari Soeharto. Utoyo Kolopaking dan Bambang Sumadio "menghilang” secara alamiah, sebab mereka dengan sengaja meninggalkan dunia militer selepas periode perang kemerdekaan, dengan memasuki perguruan tinggi umum, yakni Universitas Indonesia (UI). Utoyo menempuh pendidikan di fakultas hukum, dan Bambang Sumadio memilih jurusan purbakala (kini arkeologi).
Saat mengikuti perjalanan gerilya, Utoyo masih berstatus sebagai taruna tahun terakhir pada MA (Akademi Militer) Yogya angkatan kedua. Angkatan pertama sudah dilantik sebagai perwira remaja pada November 1948, beberapa saat sebelum serbuan tentara Belanda pada Clash II, 19 Desember 1948. Bersamaan dengan berakhirnya Perang Kemerdekaan, taruna MA angkatan kedua, kemudian dilantik juga sebagai perwira muda (letnan dua), termasuk Utoyo Kolopaking.
Namun ketika ada kesempatan untuk masuk perguruan tinggi umum, Utoyo Kolopaking rela melepas statusnya sebagai perwira, untuk masuk Fakultas Hukum UI. Utoyo kemudian mengabdi di almamaternya sebagai salah seorang dosen di FHUI. Demikian juga dengan Bambang Sumadio, yang saat mengawal Pak Dirman berpangkat sersan. Selepas lulus dari jurusan purbakala UI, pada pertengahan tahun 1950-an, Bambang juga mengabdi sebagai dosen pada Jurusan Arkeologi UI sampai tahun 1980-an. Bambang sempat juga ditugaskan sebagai Kepala Dinas Purbakala, serta Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Belanda.
Utoyo dan Bambang seolah memiliki identitas baru. Bagi yang baru mengenalnya belakangan, atau bagi para kolega di kampus (termasuk para mahasiswa), bisa jadi tidak pernah menyangka, bahwa mereka pernah mendampingi Jenderal Sudirman dalam perjalanan gerilya yang sangat monumental itu.
Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, tampaknya prosedur alih status tidak terlalu rumit, sehingga mudah saja bagi mereka yang ingin meninggalkan karier militer. Dua orang perwira muda ranking atas lulusan MA Yogya (angkatan pertama), yakni Soebroto dan Kun Suryoatmojo, termasuk yang memilih meninggalkan karier militer. Soebroto masuk fakultas ekonomi pada sebuah universitas di Belanda, dan kemudian dikenal sebagai teknokrat di masa awal Orde Baru, dan beberapa kali menjadi menteri. Sementara Kun Suryoatmojo meniti karier pada sebuah lembaga riset yang sangat bergengsi, yaitu NASA.
Kehendak zaman
Selalu ada yang linier dalam sejarah, apa yang terjadi pada tahun-tahun awal kemerdekaan tersebut, rasanya mirip dengan yang terjadi sekarang, bahwa karier di dunia militer hanyalah salah satu pilihan. Bandingkan dengan masa Orde Baru, begitu kuatnya citra militer, sehingga banyak remaja lulusan SMA, ingin masuk Akmil, atau akademi kedinasan yang lain yang sejenis.
Pada masa Orde Baru, seorang perwira lulusan Akmil, bisa berprofesi apa pun, yang terkadang pada jabatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kompetensinya, selaku lulusan Akmil. Tentu saja hal itu bisa terjadi, karena ada dorongan politik, ketika rezim Soeharto memberi ruang seluas-luasnya bagi perwira.
Oleh karena itu, bagi perwira masa sekarang, harus pandai-pandai pula memanfaatkan waktu luang, untuk menambah pengetahuan. Lebih ideal lagi bila memiliki kompetensi lain, di samping teknis kemiliteran. Sebagai antisipasi seandainya kariernya kurang berkembang di TNI. Mengingat perkembangan di luar lingkungan militer, juga berjalan cepat. Anak muda generasi milenial terkenal sangat cerdas dan kreatif, dan satu yang pasti, tidak lagi terpesona pada karier militer.
Sebagaimana dibahas di atas, ketika pemuda seperti Soebroto, Utoyo Kolopaking, Bambang Sumadio, Nugroho Notosusanto, dan seterusnya, rela meninggalkan karier militernya, dengan mencari alternatif karier di bidang lain, sekaligus memperluas cakrawala. Memang kemudian ada yang masuk kembali ke dunia militer, seperti Nugroho Notosusanto, dengan menjadi Kepala Pusat Sejarah ABRI (sekarang TNI), dengan pangkat Brigjen (tituler). Namun citra Nugroho sebenarnya lebih sebagai intelektual atau konseptor, bukan tipikal tentara operasional yang kita kenal selama ini.
Secara umum bisa dikatakan, sejatinya sebuah profesi memiliki eranya sendiri. Ada masanya profesi sebagai tentara demikian mempesona, dan kemudian memudar, dan bisa jadi kelak bisa pasang kembali. Sebagaimana kehidupan manusia pada umumnya, senantiasa ada pasang-surutnya.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.