1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mencari Gen Kebahagiaan

as1 September 2008

Para peneliti kebahagiaan terus melakukan pencarian, apakah kebahagiaan ditentukan oleh kode genetika. Seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap rasa bahagia?

https://p.dw.com/p/F8fe
Apakah semua manusia memiliki gen kebahagiaan?Foto: BilderBox/AP Graphics/DW

Di dunia ini terdapat orang-orang yang memiliki bakat gampang bahagia. Tidak perlu penelitian rumit selama bertahun-tahun untuk membuktikannya. Ada orang yang dengan ringan menikmati kehidupan dan jika menghadapi masalah besar juga tidak membuatnya putus asa. Para peneliti kebahagiaan mempertanyakan, apakah orang-orang semacam ini gampang bahagia karena pengaruh lingkungan yang juga bahagia di rumah orang tuanya? Atau memang terdapat gen yang membuat orang-orang tertentu gampang bahagia?

Para peneliti stress dan para filsuf memiliki semacam kesamaan pandangan. Mereka memandang sesuatu, mula-mula dengan sikap skeptis. Namun pakar ilmu saraf kenamaan dari Universitas Stanford di California, Robert Sapolsky merupakan anomali. Sapolsky memandang bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berbahagia. Disebutkannya, manusia memiliki otak besar dan dengan itu kemungkinan untuk memikirkan sesuatu yang tidak akan terhindarkan di masa depan. Misalnya, bahwa anggota keluarga atau kita sendiri suatu hari nanti akan mati. Sebetulnya konsekuensi logis dari pemikiran tsb, harusnya sekitar 85 persen umat manusia akan mengalami depresi berat. Tapi nyatanya tidak? Diyakini hal itu berkaitan dengan kemampuan manusia untuk berbahagia.

Pakar ilmu saraf Robert Sapolsky menyimpulkan, kebahagiaan merupakan mekanisme untuk bertahan hidup yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan itu manusia dimungkinkan menghadapi situasi yang amat tragis sekalipun. Sapolsky menjelaskan : “Jika kita misalnya mengamati penderita kanker yang tidak dapat disembuhkan, sering terdengar perkataan; tentu saja saya tidak bahagia, karena hidup saya hanya tinggal enam bulan lagi. Tapi jika tidak mengidap kanker, saya tidak akan mengetahui betapa pentingnya persahabatan. Atau saya mungkin tidak akan menemukan Tuhan. Jika dalam situasi mengidap penyakit yang mematikan, manusia masih dapat berpikir begitu, hal itu membuktikan bahwa manusia memiliki strategi, bisa menemukan kebahagiaan bahkan dalam situasi yang samasekali tidak diduga.“


Mutter mit Kind
Keluarga bahagia merupakan salahsatu faktor penentu kebahagiaan.Foto: bilderbox.com

Penelitian yang dilakukan pakar ilmu saraf dari Universitas New York, Elizabeth Phelps juga membuktikan, betapa mengagumkannya keyakinan manusia akan kebahagiaan tsb. Sebetulnya penelitian yang dilakukan menyangkut fungsi memory pada wilayah otak. Relawan yang mengikuti ujicoba dihadapkan pada situasi sehari-hari. Baik yang menyenangkan maupun yang menjengkelkan. Misalnya lulus ujian atau terlibat pertengkaran dengan orang tua.

Mula-mula para relawan ujicoba diminta membayangkan situasi semacam itu di masa lalu. Kemudian mereka diharuskan menggambarkan situasinya di masa depan. Phelps menjelaskan : “Terlihat hasilnya, jika seseorang memikirkan masadepan, juga jika skenarionya negatif, mereka akan berfikir lebih positif. Kami berpendapat, cukur rambut adalah peristiwa netral. Tapi jika harus memikirkan hal itu di masa depan, semua menggambarkan potongan rambut terbaik yang dapat dibuat. Mereka menceritakan hal-hal yang mengejutkan dan menggambarkan masadepan lebih cerah. Kami menemukan fakta kecenderungan untuk optimis.“


Hasil penelitian semacam itu memberikan bukti baru, menyangkut mekanisme rasa bahagia dan kemampuan untuk berbahagia. Kesimpulannya, hingga derajat tertentu, kemampuan untuk berbahagia itu merupakan sifat turunan.

Pakar psikologi positif di Universitas California di Riverside Sonja Lyubomirsky mengembangkan model sederhana, untuk melacak derajat kebahagiaan yang merupakan sifat turunan. Lyubomirsky membuat model dengan 100 responden, yang diberi pertanyaan mengenai derajat kebahagiaan mereka. Dari penelitian sebelumnya ditarik asumsi 50 persen dari responden memiliki gen untuk lebih bahagia ketimbang yang lainnya. Jika pembiasannya antara 10 hingga 20 persen, dalam arti itulah persentase orang yang gampang depressi berat, maka terdapat sedikitnya 30 persen yang memiliki sifat turunan untuk lebih bahagia ketimbang yang lainnya.

Gute Gene, Schlechte Gene
Penelitian anak kembar melacak kebenaran aksioma adanya gen kebahagiaan.Foto: AP

Pengetahuan mengenai kemampuan merasa bahagia separuhnya merupakan sifat turunan, disimpulkan dari penelitian orang kembar dari satu telur. Lyubomirsky menjelaskan : "Pakar genetika perilaku membandingkan derajat kebahagiaan kembar satu telur dengan kembar dua telur. Hasilnya, perasaan bahagia pada kembar satu telur sangat mirip. Juga jika mereka dibesarkan secara terpisah. Pada kembar dua telur, kemiripannya tidak begitu besar. Penyebabnya, pada kembar satu telur kode genetika mereka identik, sedangkan pada kembar dua telur kode genetiknya hanya 50 persen identik. Hasil penelitian ini membuktikan, dalam perasaan kebahagiaan terdapat komponen genetika.“

Analoginya seperti gen yang mempengaruhi berat badan. Ibaratnya badan sudah diprogram secara genetika akan mencapai berat tertentu. Diet seketat apapun, akan tetap mengembalikan kita ke tingkat berat badan yang sudah diprogram oleh kode genetika. Demikian pula tingkat kebahagiaan. Kode genetika memprogram derajat rasa bahagia ini pada tingkat tertentu. Dengan itu dapat dijelaskan, mengapa rasa bahagia memiliki rumah baru atau rasa kecewa karena tidak diterima pada saat melamar kerja, tidak bersifat permanen. Para psikolog menyebut fenomenanya sebagai kincir hedonisme.

Pakar ilmu psikologi dari Universitas Illinois, Ed Diener menggambarkan fenomenanya :“Temperamen seseorang mempengaruhi rasa bahagianya. Tapi dengan cepat akan terbiasa jika terjadi sesuatu yang positif. Perasaan bahagia memang mudah meningkat, tapi gampang kembali ke tingkatan sebelumnya. Jika terjadi peristiwa tragis, tingkat kebahagiaan menurun. Tapi beberapa waktu kemudian kembali naik. Artinya, adaptasi dan temperamen adalah dua hal penting. Berdasarkan prinsip kincir hedonisme, manusia tidak bisa melewati derajat kebahagiaan tertentu. Seperti kincir, ia hanya berputar. Tapi penelitian kami menunjukkan, hal itu tidak tepat. Kincir hedonisme adalah model yang sudah ketinggalan zaman. Manusia bisa merasa bahagia selama bertahun-tahun, atau juga merasa tidak bahagia.“


Jadi biologi bukan nasib atau untung-untungan. Hal itu juga sesuai dengan moderl yang dikembangkan Sonja Lyubormisrky. Yakni sekitar 30 sampai 40 persen manusia perasaan bahagianya, bisa dipengaruhi dan direkayasa. Persoalannya hanyalah, bagaimana caranya?