1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pers, Waktunya Detoksifikasi 

Indonesien Blogger Alif Nurlambang
Alif Nurlambang
2 Mei 2020

Jurnalis tengah mendekati deadline bersama: membersihkan ruang publik dari berbagai varian racun. Syaratnya, tak boleh gagap terhadap fakta dan demokrasi. Simak ulasan Alif Nurlambang.

https://p.dw.com/p/3bDW7
Simbol gambar
Gambar ilustrasiFoto: picture alliance/imagebroker

Bila harga cabai melambung tinggi, jurnalisme mesti hadir mengupas tuntas. Dari perubahan iklim, lahan pertanian yang menyempit, tengkulak, dugaan oligopoli, kebijakan pertanian, hingga permainan pasar lain. Pendek kata, kenaikan harga jual cabai menjadi isu nasional. Siapa tahu, presiden mau ikut turun tangan. 
 
Cabai berpeluang mendongkrak indeks kebahagiaan warga. Ia disebut memicu dopamin yang artinya berpotensi meningkatkan kebahagiaan penikmatnya. Plus, cabai membunuh virus patogen yang membuat kita mudah sakit. 
 
Adapun terapi pembesaran penis, untuk memungut satu contoh isu lain, bukan perkara penting bagi kelangsungan hajat hidup orang banyak. Bakal ada yang bahagia bila berhasil, pasti. Tapi, jurnalis seyogianya mengabaikan kemungkinan membuat berita dengan judul—misalnya, “Mau Tahu Siapa Pewaris Ilmu Mak Erot yang Asli?”, atau “Ini 4 Pantangan Setelah dari Mak Erot”. 
 
Beberapa reporter barangkali akan menyanggah, “berita Mak Erot akan lebih banyak yang klik ketimbang harga cabai.” Oh, bisa jadi benar. Kabar tentang Mak Erot dilirik pun oleh media luar negeri. Beritanya pernah dibuat media berbahasa Inggris, Prancis dan Portugis. Sebagai suatu fenomena, Mak Erot masuk kategori layak berita. Tapi, untuk didedah dan dibedah lebih dalam, rasanya berlebihan. Apalagi yang dimaksud dengan ‘dedah’ dan ‘bedah’ bakalan hanya ludah. Berita yang ditulis berdasarkan katanya-katanya-katanya. 
 
Jurnalisme ludah (hanya menyajikan hasil rekaman atau stenografi pernyataan narasumber) dan jurnalisme Mak Erot (membesarkan perkara sepele) dilakukan secara sengaja, dibuat sensasional, agar menarik pembaca demi mengejar jumlah klik. Kita pinjam istilah dari Google: umpan klik (clickbait). 
 
Sebuah newsroom di Jakarta, memberi tahu kepada reporter anyar, “kita mengenal tiga jenis berita.” Pertama dan kedua, sudah umum diketahui, yang ketiga adalah “berita penampakan.” Maksudnya, berita sejenis uka-uka. 
 
Kriteria uka-uka tidak harus berkisar dunia hantu dan orang kesurupan. Setiap era rekrutmen reporter berbeda istilah. Tergantung terminologi yang sedang populer. Menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden, ada redaksi berpesan agar reporter memantau terus Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Alasannya, “cuitan dan pernyataan mereka potensial viral.” 
 
Lalu ruang baca dan udara publik pekat polusi. Jurnalis seperti alpa pada tujuan jurnalisme. Yang dituju hanya klik dan viral. Semoga dewan juri anugerah jurnalistik tak akan pernah mempertimbangkan klik dan viral dalam penilaian mereka. 
 
Beberapa anggapan berikut sering diajukan untuk menyanggah kritik di atas. Pertama, orang memang hanya ingin melihat dan mendengar apa yang ingin mereka lihat dan dengar. Kedua, kenyataan hidup sudah begitu rumit, apa salahnya jurnalisme memberi hiburan. Ketiga, “kenyataannya” demikian yang diungkapkan oleh narasumber, kami hanya menyampaikan sesuai fakta dan harus netral. 
 
Paulo Coelho mengakui anggapan pertama, seperti ia tulis dalam akun Facebook-nya, pada 3 November 2011. “Don't waste your time with explanations: people only hear what they want to hear.” Ini terjadi terutama pada keyakinan iman dan politik. 
 
Anggapan kedua juga asik. “Terbang ke Amerika 8 jam” karena duduk di kelas bisnis itu lucu. Dan, benar bahwa wartawan tak boleh mengubah kalimat yang dikutip dari narasumbernya. 
 
Tetapi, 
 
Tirto Adhi Soerjo membuat media bukan untuk mengonfirmasi apa yang ingin diyakini oleh pembacanya seperti selama ini mereka yakini. Tirto menerbitkan Medan Prijaji untuk mendidik dan menyadarkan warga di tanah koloni. Tentang ketidakadilan yang dilakukan pemerintah dengan dukungan elit lokal. Padahal, Medan Prijaji dibaca oleh banyak kaum elit, mengingat tingkat kemampuan baca di Indonesia pada awal abad 20. 
 
Tugas jurnalisme bukan memelihara bias kognitif dan bias konfirmasi, seperti terjadi pada “orang ingin melihat dan mendengar apa yang ingin mereka lihat dan dengar” di atas. Meneruskan kepercayaan semacam ini membuat publik sulit membedakan mana kabar benar dan bukan. Yang fatal, menurut beberapa artikel psikologi, mereka cenderung akan memaksakan kebenarannya, apapun yang terjadi, karena keyakinan semata. 
 
Kita lebih sering tidak tahu apa yang kita tidak tahu. Selain kita tahu bahwa ada yang kita tidak tahu. Jurnalisme masuk ke ruang-ruang gelap dan samar itu, membuatnya—paling tidak—sedikit lebih terang. Seperti juga ikhtiar sains. 
 
Keadaan ekonomi Amerika Serikat tidak menyenangkan warganya sehingga “make America great again” didengar aduhai. Pasca-pemilihan presiden, kita diberi tahu bahwa demokrasi Amerika meredup, tenger-tenger, bahkan terancam mati. Bukan oleh senjata atau kudeta. 
 
Peringatan Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2018), tidak berlaku bagi penduduk Amerika saja. Agenda-agenda politisi dan pejabat Indonesia terdengar populis. Nyaris tak ada keberatan berarti ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, November tahun lalu, berpidato bahwa negara-negara nondemokratik ekonominya lebih maju. 
 
Mendagri tidak terlalu keliru menyebut contoh ekonomi Tiongkok dan Vietnam (nondemokratik) tumbuh dibanding rata-rata negara Eropa dan Amerika (demokratik). Angkanya begitu. Kata Levitsky & Ziblatt, secara umum angka demokrasi dunia tak buruk. Pada 1980an dan 1990an naik, mencapai puncak pada 2005, lalu stagnan. Secara total benar, karena untuk penurunan kualitas demokrasi di Hungaria, Turki, dan Venezuela, ada Kolombia, Sri Lanka dan Tunisia yang kian demokratis selama satu dekade terakhir. Menelan mentah ‘fakta’ Mendagri dan Levitzky & Ziblatt, sama-sama tidak tepat. 
 
Novel Baswedan dan banyak pegawai laki-laki di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjenggot. Mereka rata-rata saleh. Tapi fakta ini tak patut serta merta disejajarkan dengan kelompok yang ingin mengubah Indonesia menjadi bersyariat Islam. Sehingga ketika KPK diisukan sarang Taliban, publik dibiarkan terbelah antara yang percaya—sehingga mendukung revisi UU KPK, dan publik yang tak tahu. 
 
Fakta, tidak terbatas pada apa yang disajikan, apalagi dari pernyataan. Rukun pertama jurnalisme adalah skeptis. Mereka yang “hanya mendengar apa yang ingin didengar” juga memiliki sikap skeptis pada apa yang berbeda. Tapi jurnalis harus menyadari keadaan bias kognitifnya untuk menggali lebih dalam, bukan memanjakannya. 
 
Dengan demikian, netralitas bukan saja tidak mungkin terjadi dalam praktik jurnalistik, tapi ia harus diabaikan. Netralitas hanya mungkin dilakukan oleh pencatat notula, tinta menulis stenografi dan alat perekam jurnalis
 
Polusi yang ditimbulkan oleh silang tumpang informasi dari media massa, media sosial, media penerus pesan mesti dibersihkan. Namun, sebelum menghilangkan racun di ruang publik, pers mesti detoksifikasi dirinya sendiri. 
 
Pertama kali, jurnalis harus meninggalkan kebiasaan memproduksi berita umpan klik (clickbait). Melanggengkan kebiasaan ini sama artinya wartawan sedang menghancurkan jurnalisme. 
 
Anjuran kedua, barangkali agak berat: menghapus kolom komentar di bawah tiap berita. Jurnalisme warga (citizen journalism) berkembang pesat dan patut didukung. Platform menulis opini juga banyak. Ruang komentar di bawah berita bukan jenis jurnalisme warga. Ia kerap kali menjadi ruang saling memaki, melecehkan, dan menyebar fitnah. 
 
Rekomendasi berikutnya berasal dari Stephen JA Ward (Ethical Journalism in a Populist Age, 2019): wartawan mempraktikkan etika democratically engaged journalism. Bukan menjadi patriot, atau nasionalis totok tanpa ampun terhadap segala yang berbau asing. Tapi kukuh bekerja menggunakan metode imparsial—bukan netral, dengan tujuan parsial: menjaga komitmen pada demokrasi, pada pluralisme. Karena erosi demokrasi itu fakta. 
 
 
@Airlambang | bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement. 

 
 

@Airlambang | bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement.  
Penulis: Alif NurlambangFoto: privat