1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Masa Depan Politik Iran Setelah Kematian Raisi?

Kersten Knipp
22 Mei 2024

Kematian mendadak Presiden Ebrahim Raisi dalam kecelakaan helikopter terjadi saat Iran hadapi tantangan geopolitik dan ekonomi, memicu pertanyaan masa depan politik di negara itu.

https://p.dw.com/p/4g6gM
Seorang perempuan di Iran memegang koran
Kematian Raisi, calon penerus Khamenei, kemungkinan akan menghidupkan kembali perdebatan siapa yang akan jadi pemimpin tertinggi berikutnya.Foto: ATTA KENARE/AFP/Getty Images

Kecelakaan helikopter yang menewaskan Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menteri Luar Negeri Hossein Amirabdollahian, serta pejabat tinggi lainnya, telah mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh Timur Tengah.

Raisi sedang bertolak kembali ke Iran pada hari Minggu (19/05) setelah melakukan perjalanan ke perbatasan Iran - Azerbaijan untuk meresmikan sebuah bendungan bersama Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, ketika helikopter yang ditumpanginya  "mendarat darurat" di wilayah pegunungan terpencil di Azerbaijan Timur. Demikian menurut media pemerintah Iran. Penyebab kecelakaan itu masih belum jelas.

"Banyak asumsi berbeda-beda dan laporan yang belum terkonfirmasi beredar di Iran," papar Sara Bazoobandi, pakar Iran di lembaga pemikir Institut Jerman untuk Studi Global dan Area di Hamburg.

"Penyebabnya, bisa saja murni kecelakaan atau helikopternya sudah tua, atau juga sabotase, dan mungkin melibatkan orang-orang dari lingkaran politik Raisi. Tidak ada hal yang bisa dikesampingkan, semua kemungkinan itu bisa jadi penyebab," ujarnya.

"Masyarakat Iran kemungkinan besar berharap rincian lebih lanjut mengenai kecelakaan itu akan muncul dalam beberapa hari dan minggu mendatang," tambah Bazoobandi.

Rezim Iran berupaya jaga ketertiban

Sementara itu, rezim teokrasi Iran berusaha menjaga ketertiban dan keadaan tetap stabil. Kabinet Iran berjanji bahwa pekerjaan pemerintah akan terus berjalan "tanpa gangguan sedikit pun" dan mengatakan bahwa "kami menjamin bangsa yang setia bahwa pelayanan akan terus berlanjut dengan semangat Ayatollah Raisi yang tak kenal lelah."

Dewan Wali, sebuah badan pengawas konservatif, juga menyatakan: "Dengan pertolongan Allah, urusan bangsa dan rakyat akan terus berlanjut tanpa gangguan."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Wakil Presiden Utama Iran, Mohammad Mokhber, telah ditunjuk sebagai presiden ad interim. Dia diperkirakan akan menjabat sebagai presiden sementara selama sekitar 50 hari sebelum pemilihan presiden baru.

Pemimpin Spiritual Tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei, yang memegang kekuasaan tertinggi Iran, mengumumkan penunjukan Mokhber dalam pesan belasungkawa yang ia sampaikan atas kematian Raisi.

Mokhber, yang berusia 68 tahun, sejauh ini lebih banyak berada di balik layar dibandingkan dengan politisi lain di negara teokrasi Iran. Namun ia kini telah muncul di hadapan publik. Dia memiliki hubungan baik dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC). Demikian menurut peneliti tamu di German Institute for International and Security Affairs (Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman), Hamidreza Azizi.

"Hubungan Mokhber dengan kepemimpinan inti IRGC akan menjamin bahwa peran IRGC dalam pemerintahan Iran akan tetap utuh dan bahkan meningkat,” tulis pakar tersebut di media sosial X. "Kepresidenan interimnya mungkin membuka jalan bagi IRGC untuk melakukan kontrol yang lebih terbuka terhadap kebijakan administratif."

Iran mungkin gelar pemilu baru, diperkirakan tidak ada kejutan

Bazoobandi mengatakan pemilu kemungkinan akan diadakan dalam jangka waktu 50 hari yang diamanatkan. "Namun, dapat diasumsikan bahwa pemilu kali ini juga tidak sah. Pemilu akal-akalan akan diselenggarakan," katanya, mengacu pada pemilihan presiden terakhir pada tahun 2021, yang dimenangkan dengan mudah oleh Raisi.

Pemilu ini akan berlangsung ketika negara tersebut sedang berjuang menghadapi serangkaian tantangan geopolitik dan ekonomi. Banyak warga Iran yang menghadapi kesulitan ekonomi, dengan inflasi lebih dari 50%, kenaikan utilitas, harga pangan dan perumahan, serta anjloknya mata uang real.

Sementara itu, pemerintah semakin banyak menerapkan hukuman mati. Iran mengeksekusi 853 orang pada tahun 2023, demikian menurut data Amnesty International. Itu jumlah eksekusi tertinggi sejak tahun 2015.

Kelompok hak asasi manusia itu mengatakan rezim tersebut melakukan lebih banyak hukuman gantung sebagai cara untuk menanamkan rasa takut setelah protes yang meletus pada musim gugur 2022.

Situasi politik dan ekonomi berkontribusi terhadap meningkatnya kekecewaan masyarakat terhadap sistem, dan dapat menyebabkan semakin sedikitnya orang yang berpartisipasi dalam pemilu berikutnya, kata Bazoobandi.

"Mereka tidak memercayai rezim dan hanya memiliki sedikit harapan terhadap perubahan. Selain itu, banyak warga yang beranggapan, hasilnya sudah diketahui sebelum pemilu," katanya, seraya menambahkan bahwa pertanyaan paling menarik adalah siapa yang akan menggantikan Raisi. "Tidak dapat dipungkiri bahwa wakil presiden saat ini akan mengambil alih."

Pakar Iran di Carnegie Endowment for International Peace, Karim Sadjadpour yakin kematian Raisi "akan menciptakan krisis suksesi" di Iran.

"Dia dan Mojtaba Khamenei adalah satu-satunya pesaing untuk menggantikan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khamenei (ayah Mojtaba) yang berusia 85 tahun," tulisnya di X. "Dalam budaya politik konspirasi Iran, hanya sedikit orang yang percaya bahwa kematian Raisi adalah kecelakaan."

Protes meluas, "sebagian besar" oposisi kecewa

Kematian Raisi, seorang tokoh garis keras yang dipandang sebagai calon penerus Khamenei, kemungkinan akan menghidupkan kembali perdebatan, tentang siapa yang akan menjadi pemimpin tertinggi berikutnya.

Meskipun Khamenei belum mendukung penggantinya, pengamat Iran mengatakan Raisi adalah salah satu dari dua nama yang paling sering disebutkan, yang kedua adalah Mojtaba yang berusia 55 tahun, yang diyakini memiliki pengaruh di balik layar.

Namun, beberapa pihak menyuarakan keprihatinan mengenai posisi yang akan diberikan kepada anggota keluarga, dan banyak yang yakin keputusan tersebut akan ditolak oleh sebagian besar masyarakat.

"Penunjukan Mojtaba Khamenei sebagai Pemimpin Tertinggi Spiritual Iran dapat memicu keresahan masyarakat," tulis Sadjadpour. "Kurangnya legitimasi dan popularitasnya, akan berarti dia sepenuhnya bergantung pada Garda Revolusi untuk menjaga ketertiban. Hal ini dapat mempercepat transisi rezim ke pemerintahan militer atau potensi keruntuhan rezim tersebut."

Namun Bazoobandi yakin protes massal baru di negara tersebut tidak mungkin terjadi. "Rezim yang berkuasa telah melumpuhkan aksi protes sehubungan kematian Jina Mahsa Amini dua tahun lalu dengan sangat brutal, sehingga sebagian besar masyarakat yang beroposisi kecewa," katanya.

Dia mengatakan tidak akan ada perubahan apa pun di bawah presiden sementara yang baru. "Raisi menerima instruksinya dari Khamenei. Dia hanyalah boneka. Dan hal itu tidak akan jauh berbeda dengan presiden berikutnya."

Pandangan ini dianut oleh Mohammad Ali Shabani, editor Amwaj.media, sebuah situs web yang berfokus pada urusan Iran.

"Pemilihan presiden yang dilakukan lebih awal, dapat memberikan kesempatan bagi Khamenei dan para petinggi negara untuk mengubah arah dengan cara yang menyelamatkan mukanya dan memberikan jalan bagi para pemilih yang kecewa untuk kembali ke proses politik,” katanya.

"Namun, hal ini memerlukan keputusan strategis untuk memutar balik dan memperluas lingkaran politik yang terus menyusut. Sejauh ini, kecenderungan kelompok politik adalah menggandakan kekuasaan konservatif.”

Hamidreza Azizi, dari Institut Urusan Internasional dan Keamanan Jerman, juga menganut pandangan serupa, dan tidak yakin kematian Raisi akan berdampak signifikan pada cengkeraman kekuasaan rezim teokratis tersebut.

"Secara keseluruhan, implikasi kematian Raisi tidak akan menjadi pukulan mendasar atau pukulan telak terhadap sistem yang ada. Namun akan berdampak pada persaingan antarkelompok garis keras, akan tetapi tidak akan berdampak pada arah strategis Republik Iran dalam politik luar negeri atau dalam negeri," pungkas Azizi.

ap/as