1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Maryam Lee, Pilihan dalam Melepas Hijab

21 September 2020

Apakah dengan tidak mengenakan hiijab, keimanan seseorang berkurang? Dilecehkan dan diselidiki oleh jawatan agama - aktivis Maryam Lee adalah tokoh yang sangat kontroversial di Malaysia. Apa “kejahatannya“?

https://p.dw.com/p/3imYX
Maryam Lee lepas jilbab
Maryam Lee aktivis Malaysia menerbitkan buku "Unveiling Choice", Foto: Mohd Rasfan/AFP

Apa tuduhan “kejahatan“ terhadap Maryam Lee? Berbicara tentang keputusannya untuk berhenti mengenakan jilbab dan mengkritik apa yang dia lihat sebagai bentuk patriarki yang dilembagakan dalam Islam.

Dilansir dari AFP, kebanyakan umat muslim di Malaysia menjalani kehidupan beragama dengan moderat dan beberapa kaum muslimah mengenakan hijab yang dikenal sebagai "tudung".

Namun para pengamat mengatakan negara jiran ini telah menjadi lebih konservatif dalam beberapa tahun terakhir dan saat ini kebanyakan perempuan muslim di Malaysia mengenakan hijab.

Maryam Lee, yang dipaksa memakai jilbab sejak usia sembilan tahun bercerita di usia pertengahan 20-an ia menyadari dirinya lebih menyesuaikan diri dengan harapan sosial ketimbang persyaratan agama. Akhirnya ia memutuskan untuk melepasnya.

"Sepanjang hidup saya, saya telah diberi tahu bahwa (memakai jilbab) adalah kewajiban dan jika saya tidak memakainya, itu dosa. Dan kemudian saya mencari tahu dan sebenarnya tidak demikian, jadi saya merasa sangat tertipu – rasanya seperti sepanjang hidup kamu telah diberitahu satu hal, dan itu ternyata bohong," tandasnya.

Melepas jilbab adalah keputusan pribadi yang sulit baginya. Saat dia menerbitkan buku "Unveiling Choice", yang berisi kisah hidupnya itu, dia menghadapi reaksi keras dan bahkan ancaman kematian.

Diinterogasi dan kriminalisasi sosial

Menteri Urusan Agama Malaysia pun beraksi. Maryam Lee diinterogasi berdasarkan undang-undang yang melarang penghinaan terhadap Islam. Malaysia  menganut sistem hukum ganda, dengan warga muslim yang tunduk pada hukum syariah di wilayah-wilayah tertentu.

Dalam pernyataannya Senin (21/09), Maryam mengatakan dia menerima surat resmi yang berisi perintah untuk memberikan pernyataan untuk membantu penyelidikan sesuai dengan Pasal 58 (1) dari Hukum Acara Pidana Syariah (Selangor) 2003.

“Kehadiran saya diperlukan untuk penyelidikan berdasarkan Bagian 10 (a) dari Undang-Undang Pidana Syariah (Selangor) 1995, yang mengkriminalisasi 'siapa pun yang dengan kata-kata yang dapat didengar atau dibaca atau dengan gambar, tanda atau bentuk representasi lainnya yang terlihat atau mampu terlihat atau dengan cara lain: (a) menghina atau menghina agama Islam …” tuturnya sebagaimana ditulis Malaysiakini.

Ia juga meminta pembacanya untuk mengirimkan kesaksian mereka kepada pihak berwenang untuk menjelaskan bagaimana buku itu tidak menghina Islam, dan menyerukan agar mereka menghentikan penyelidikan terhadap mereka yang berbagi perjalanan pribadi dalam melepas jilbab.

Dikutip dari AFP, Maryam Lee yakin para pejabat kahwatir bahwa dia mendorong wanita lain untuk "melepas hijab", tetapi menegaskan bahwa yang terjadi tidak demikian.

"Saya tidak menyuruh perempuan lain atas apa yang harus dipikirkan, saya meminta mereka untuk meninjau kembali asumsi tertentu dan teori tertentu yang telah diajarkan kepada mereka selama bertahun-tahun," kata perempuan berusia 28 tahun itu. Demikian dikutip dari AFP.

“Bahkan tanpa kriminalisasi hukum, perempuan menghadapi kriminalisasi sosial ketika mereka ingin melepas [jilbab],” dia mengingatkan seraya menambahkan bahwa perempuan seperti dia berada dalam “penjara harapan masyarakat”.

Untuk menandai perilisan bukunya, yang ia gambarkan sebagai kisah perlawanan terhadap patriarki dalam agama dan masyarakat luas, ia berceramah dengan tajuk “Malay Women and De-Hijabbing" yang akhirnya memicu kehebohan.

Antara aturan dan kebebasan beragama

HIngga kini persoalan hijab masih tetap kontroversial di tengah perdebatan tentang kebebasan berekspresi agama dan hak-hak perempuan. Prancis misalnya, tidak mengizinkan siswanya mengenakan jilbab di sekolah. Demikian juga di Belgia, Denmark, Austria dan Belanda memberlakukan larangan mengenakan cadar, niqab atau burqa di ruang publik.

Para kritikus mengatakan bahwa ekspektasi pada pemakaian hijab tidak terjadi pada satu generasi lalu. Namun kini ekspektasi itu muncul sebagai hasil dari pengaruh yang lebih besar dari kelompok garis keras religius yang semakin vokal. Demikian dikutip dari AFP.

Di satu sisi Maryam Lee telah menjadi sasaran para kaum fanatik yang marah atas tindakannya. Namun di lain sisi ia juga dipuji sebagai suara perempuan Malaysia modern oleh beberapa kalangan generasi media sosial yang ingin mengekspresikan individualitas serta keyakinan mereka.

"Perempuan di belahan dunia ini, ketika mereka melepas jilbabnya, apa yang terjadi pada mereka? Mereka diintimidasi, mereka dilecehkan," kata Maryam.

Kelompok hak asasi Malaysia Sisters of Islam berpendapat bahwa perempuan tanpa jilbab berada di bawah pengawasan ketat dari keluarga, kolega dan di depan umum, sehingga membuat keputusan mereka begitu "sulit dan traumatis".

Maryam Lee berpendapat bahwa pilihannya adalah menjauh dari instruksi patriarkal ketimbang menjauhi keimanannya.

"Saya terlahir sebagai seorang muslim, saya masih seorang muslim - saya tidak kurang dari seorang muslim karena saya melepas hijab saya," jelasnya.

Dia tidak sendirian

Ada beberapa politisi perempuan terkemuka di Malaysia seperti Rafidah Aziz dan mantan gubernur bank sentral Zeti Akhtar Aziz yang tidak menutupi kepala mereka, demikian pula istri atau putri mantan perdana menteri Mahathir Mohamad.

Di daerah perkotaan, perempuan muda telah bereksperimen dengan turban dan penutup kepala 'modis' lainnya, meskipun mereka dihujani kritik karena dianggap melanggar pedoman agama.
Sarah, seorang konsultan dari sebuah perusahaan keuangan yang memberikan nama samaran agar tidak membuat keluarganya kesal, tidak lagi mengenakan jilbab karena menyakini bahwa itu adalah harapan patriarki.

"Laki-laki Melayu terutama pada tingkat otoritatif entah bagaimana memiliki pola pikir ini ... bahwa perempuan Melayu perlu tampil dengan cara tertentu, tetapi itu tidak berarti bahwa orang-orang yang memakai tudung ini lebih baik."

Jawatan agama Malaysia belum menutup penyelidikan mereka terhadap Maryam, yang berarti kemungkinan tindakan lebih lanjut masih ada.

Tapi dia tidak menyesali keputusannya untuk bicara secara terbuka tentang pengalamannya: "Masyarakat perlu disadarkan," ujarnya.

“Dalam situasi seperti ini, penting bagi kami untuk mengingatkan pemerintah bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kejahatan dan kebebasan berkeyakinan beragama bukanlah penghinaan terhadap Islam, dan bahwa perlindungan kebebasan tersebut penting untuk menegakkan hak asasi manusia bagi semua orang,” pungkas Maryam sebagaimana dilansir dari media Malaysiakini.

ap/vlz (afp, malaysiakini, straitstimes)
 

Perempuan-perempuan Saudi Mulai Meninggalkan Abaya