1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Macron Hadapi Kegentingan Sosial di Masa Jabatan Kedua

26 April 2022

Euforia kemenangan Emmanuel Macron atas tokoh ekstrem-kanan, Marine Le Pen, dalam pilpres Prancis berganti menjadi kekhawatiran perihal menguatnya oposisi politik dan keresahan sosial yang menanti di masa jabatan kedua.

https://p.dw.com/p/4APEt
Pesta kemenangan Emmanuel Macron di Menara Eifel, Paris, Minggu (24/4)
Pesta kemenangan Emmanuel Macron di Menara Eifel, Paris, Minggu (24/4)Foto: Thibault Camus/AP/picture alliance

Ketika ribuan pendukungnya menyemuti Menara Eifel untuk merayakan hasil putaran kedua pemilu kepresidenan Prancis, Minggu (23/4), Emmanuel Macron harus mengakui betapa banyak warga yang memberikan suara bukan karena mendukung kebijakan politiknya, melainkan demi menghadang kandidat Fron Nasional, Marine Le Pen.

Sebab itu pula dia berjanji bahwa "era selanjutnya tidak akan sama dengan mandat yang telah lewat, kita akan menemukan cara untuk bekerja sama, demi lima tahun mendatang yang lebih baik,” pekiknya dalam orasi kemenangan, sembari didampingi Ibu Negara, Brigitte Macron.

Kemenangannya akan sia-sia jika Macron gagal menggalang suara mayoritas dalam pemilu legislatif pada bulan Juni mendatang, yang biasanya minim partisipasi. Tapi kali ini, Marine Le Pen berjanji akan mengonsolidasikan suara pemilih kanan Prancis untuk kembali mencoblos. 

Analis meyakini, jika pun mampu menghimpun koalisi mayoritas, Macron masih harus menghadapi kerasnya penolakan warga terhadap rencana reformasinya, terutama niatnya menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 65 tahun.

"Bebek lumpuh”

Reformasi sistem jaminan hari tua merupakan isu panas di Prancis. Perolehan suara yang lebih kecil bagi Macron semakin membatasi kemampuannya untuk meloloskan legislasi terkait. 

"Dia terpilih karena tidak ada alternatif lain,” kata Christopher Dembik, ekonom di Saxo Bank kepada Reuters. "Dia berpotensi jadi bebek lumpuh dan berhadapan dengan ketidakpuasan sosial yang tinggi jika dia nekat mereformasi sektor sensitif seperti jaminan pensiun,” imbuhnya.

Isu lain yang bisa menjadi rintangan bagi Macron adalah lonjakan harga bahan bakar. Dia berusaha meminimalisir ketidakpuasan warga dengan memberlakukan batas atas harga minyak dan menggelontorkan subsidi bahan bakar sampai setidaknya setelah pemilu.

Subsidi minyak tidak akan berlangsung lama lantaran biaya yang tinggi. Selain harga bahan bakar, pemilih Prancis juga mengaku kewalahan akibat langkanya minyak nabati dan gandum yang selama ini diimpor dari Ukraina.

Pada 2018 silam, lonjakan harga minyak memicu kerusuhan sosial paling parah di Prancis sejak 1968. Saat itu, pemberontakan "jaket kuning” yang digalang mahasiswa melumpuhkan ibu kota dan jalan-jalan penghubung di penjuru negeri.

Macron harus menjalani titian sempit jika ingin mencegah terulangnya kerusuhan sosial serupa tahun 1998. Fraksi-fraksi di parlemen sudah mengindikasikan, presiden tidak lagi bisa "memerintah dari atas,” seperti "direktur sebuah perusahaan,” kata Patrick Vignal, kader Partai En Marche pimpinan Macron. 

Namun sejauh ini, upayanya meyakinkan konstituen perihal reformasi sosial masih menemui jalan buntu.

"Dia adalah presiden paling parah dalam sejarah Republik Kelima,” kata seorang pemilih seperti dilansir Reuters.   

rzn/pkp (rtr,afp)