1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Pelarangan Ekspor CPO dan Turunannya Rawan Gugatan di WTO

Betty Herlina
28 April 2022

Pengamat menilai bahwa selain rawan digugat di WTO dan belum tentu selesaikan krisis minyak goreng, larangan ekspor CPO ini juga malah untungkan negara pengekspor lain seperti Malaysia.

https://p.dw.com/p/4AXlM
Petani sawit mengangkut panen tandan buah segar di Riau
Petani sawit mengangkut panen tandan buah segar di RiauFoto: Afrianto Silalahi/NurPhoto/picture alliance

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menetapkan pelarangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya, seperti RPO, RBD Palm Olein, Pome dan used cooking oil, terhitung Kamis (28/04).

Lewat akun YouTube resmi Sekretariat Negara, Jokowi mengatakan kelangkaan minyak goreng yang terjadi selama 4 bulan belakangan adalah kondisi yang ironis mengingat Indonesia adalah negara produsen CPO terbesar di dunia.

"Sudah 4 bulan kelangkaan berlangsung dan pemerintah sudah mengupayakan berbagai kebijakan namun belum efektif. Oleh sebab itu pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri," ujar Jokowi pada Rabu (27/04) malam di Jakarta, seperti dikutip dari akun tersebut.

Larangan ini berlaku untuk ekspor dari seluruh wilayah Indonesia termasuk dari kawasan berikat. Jokowi mengakui larangan ini memang menimbulkan dampak negatif dan berpotensi mengurangi produksi dan tidak terserapnya hasil panen petani. Namun menurutnya, tujuan kebijakan ini adalah untuk menambah pasokan dalam negeri hingga pasokan melimpah.

Siapa yang disasar dengan kebijakan ini?

Kebijakan tersebut mendapatkan kritik dari pengamat perdagangan internasional. Seperti disampaikan Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira. Menurutnya, kebijakan tersebut sangat tidak efektif jika pemerintah hanya ingin memastikan harga minyak goreng turun di pasaran dalam negeri. Ia menilai kebijakan Presiden Jokowi tersebut terlalu eksesif sehingga tidak jelas menyasar pihak mana yang ingin diberikan shock therapy.

"Ingin menyelesaikan masalah namun menimbulkan masalah baru dan akhirnya membunuh semua, dalam kondisi ini petani sawit menjadi rantai yang paling lemah. Dari 14 juta hektare lahan sawit, 40% milik petani, harga TBS akan turun dan terus turun dengan kebijakan ini," katanya.

Menurut Bhima, pelarangan ekspor akan memengaruhi neraca perdagangan Indonesia yang selama ini surplus. Indonesia akan kehilangan pendapatan dari sektor nonmigas sebanyak 12% atau sekitar 3 miliar dolar AS per bulan. Hilangnya pendapatan tersebut akan dikompensasikan dengan harga minyak goreng dalam negeri dan produk turunan CPO lainnya.

"Tidak ada jaminan harga minyak goreng akan turun. Ini malah mengganggu stabilitas rupiah... Apakah pemerintah sudah berdiskusi dengan BI atau OJK?" imbuhnya.

Kebijakan yang sama pernah dilakukan pemerintah terkait larangan ekspor batu bara yang hanya berlangsung beberapa hari. "Ketika ada masalah jangan komoditas yang disetop, tapi tata kelola niaga yang harus diperbaiki," lanjutnya.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri juga menyampaikan hal yang sama. Kebijakan pelarangan ekspor tidak diperlukan jika ingin menurunkan harga minyak goreng dengan kondisi suplai yang sudah jauh lebih baik.

"Harus segara dicabut, karena pengambilan kebijakannya tidak menggunakan analisis cost benefit yang baik," kata Yose.

Estimasi Celios produksi CPO sepanjang tahun 2022 akan berada di angka 50 juta ton. Jumlah tersebut naik 3,12 juta ton dari data produksi CPO GAPKI tahun 2021 sebanyak 46,88 juta ton. "Dari jumlah tersebut kebutuhan untuk RBD palm olein hanya 5%. Artinya terjadi over supply," kata Bhima.

Berpotensi digugat di WTO

Bhima mengatakan, dari sisi perdagangan internasional kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya akan menimbulkan protes dari negara-negara pengimpor CPO dan minyak sawit dari Indonesia.

"India, Pakistan, Tiongkok, pasti akan protes. Importir dari negara-negara tersebut akan memberikan penalti atas pemutusan ekspor sepihak, dan Indonesia berpotensi digugat ke World Trade Organization (WTO), ketika ini terjadi dan Indonesia kalah maka akan Indonesia akan membayar sangat mahal," terang Bhima.

Menurut data Observatory of Economic Complexity (OEC) yang diakses Kamis, tahun 2020 Indonesia menguasai lebih dari 46% pasar ekspor CPO dunia, menyusul Malaysia 30,8% dan Guatemala 3,76 %.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun 2020 mencatat India sebagai negara pertama tujuan ekspor CPO Indonesia, yakni 4,39 juta ton. Disusul Spanyol 0,77 juta ton, kemudian Malaysia 0,37 juta ton, lalu Italia 0,35 juta ton. 

Sedangkan, volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia tahun 2021 berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 26,9 juta ton dengan nilai ekspor mencapai 35 miliar dollar. Jumlah tersebut naik 52 % dibandingkan tahun 2020 yang hanya sebesar 22,9 miliar dollar.

Cina menjadi negara pertama tujuan ekspor minyak sawit tahun 2021, dengan volume mencapai 4,70 juta ton. Menyusul India dengan 3,03 juta ton, Pakistan mencapai 2,65 juta ton, Amerika Serikat mencapai 1,64 juta ton dan Bangladesh sebanyak 1,31 juta ton.

Menguntungkan negara lain

Sementara itu dari sisi kerja sama perdagangan internasional, Yose Rizal mengatakan pelarangan ekspor akan menyebabkan preseden buruk bagi Indonesia yang menjadi tuan rumah G20.

"Ini akan dicontoh dengan negara lain. Nanti ketika gagal panen Vietnam setop ekspor. Jangan kita yang malah memberikan contoh buruk di saat kondisi ini sedang rentan yang menyebabkan kelangkaan suplai," katanya.

Tak jauh berbeda dengan Bhima, selain citra buruk dalam menjabat Presidensi G20, tidak menutup kemungkinan akan terjadi rivalisasi dagang, atau balas dendam.

"Bayangkan kalau India membalas dengan tidak menjual obat-obatan atau bawang putih pada Indonesia," katanya.

Kebijakan Indonesia, kata Bhima, akan mendorong gejolak pasar minyak nabati dunia yang justru menguntungkan pemain CPO dari negara lain seperti Malaysia dan negara pemasok minyak kedelai.

"Sebelum ada pengumuman, harga minyak sawit sudah naik 9%, yang diuntungkan justru negara lain, devisa Indonesia akan mengalir ke sana," terangnya.

Rentan penyelundupan

Yose Rizal mengatakan, larangan ekspor CPO dan produk turunannya, akan menyebabkan berlimpahnya pasokan di dalam negeri. Pasalnya, pasar ekspor nilainya dua kali lipat dari pasar dalam negeri. Dengan harga bahan baku turun lebih dari 50% pada akhirnya petani sawit akan merugi. Selain itu negara juga berpotensi kehilangan pendapatan dari pajak ekspor.

"Akibatnya rentan penyeludupan, pasti ada pihak yang akan memanfaatkan peluang ini. Saat berlaku HET (harga eceran tertinggi) yang muncul penimbunan di mana-mana," katanya.

Bhima mengatakan intervensi distribusi dengan melibatkan Bulog menjadi salah satu cara untuk mengatasi kebocoran minyak goreng, yang berdampak dengan harga tinggi di pasaran. Menurutnya, pasokan minyak curah subdisi yang ada sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri, hanya saja distribusinya tidak lancar.

"Sebaliknya minyak curah malah di-repacking menjadi minyak premium. Kebocoran-kebocoran ini yang harusnya diperbaiki, termasuk penegakan hukum atas temuan kebocoron. Bukan malam melarang ekspor," terang Bhima.

Sementara itu, Yose Rizal tidak mempermasalahkan tingginya harga minyak goreng di pasaran saat ini. Menurutnya hal tersebut dapat diatasi dengan memberikan kompensasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng untuk rumah tangga. Kompensasi tersebut dapat pemerintah ambil dari pajak ekspor yang selama ini diterima. Diketahui setiap bulan dari 1 ton ekspor minyak sawit pemerintah mendapatkan 375 juta dollar AS.

"Artinya dengan ekspor 2 ton dapat 750 juta dollar per bulan, nah ambil dari sini, pemerintah jangan pelit, sembari memberikan narasi bahwa BLT ini kompensasi dari kenaikan harga," ujar Yose Rizal. (ae)