1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Larangan Burka dan Skandal Korupsi Sarkozy di Perancis

14 Juli 2010

Perancis disibukkan dua topik: larangan mengenakan pakaian yang menutupi tubuh dan seluruh wajah, serta tuduhan bahwa Presiden Sarkozy menerima dana kampanye ilegal.

https://p.dw.com/p/OJCO
Perempuan yang mengenakan burka di Perancis terancam denda 150 EuroFoto: picture alliance/abaca

Harian Belanda de Volkskrant berpendapat, larangan burka di Perancis bertentangan dengan hak pribadi perempuan. Selanjutnya harian ini menulis:

"Ungkapan kebebasan ini tak hanya menyangkut para perempuan yang mungkin dipaksa untuk memyembunyikan wajahnya, tapi juga hak mereka yang mengenakan busana Muslim burka dan nikab karena keyakinannya sendiri. Ini tidak mengubah fakta bahwa di dinas dan jawatan tertentu, pakaian yang menutupi wajah memang tidak diinginkan. Di sana, kebebasan pribadi bentrok dengan batas-batas norma masyarakat. Tapi larangan sama sekali seperti yang diluncurkan Perancis tak pantas untuk dicontoh."

Harian Italia La Repubblica berkomentar, larangan mengenakan burka masih menghadapi sejumlah rintangan.

"Rintangan utamanya adalah pertanyaan apakah undang-undang ini melanggar konstitusi atau tidak. Karena itu para penggagasnya memutuskan untuk terlebih dulu mengajukan rancangan undang-undang ini ke dewan konstitusi sebelum nantinya ditanda-tangani Presiden Nicolas Sarkozy. Dengan cara ini mereka menutup kemungkinan seorang warga nantinya menuntut mereka ke pengadilan. Pada kenyataannya, ada keraguan apakah undang-undang ini selaras dengan hak kebebasan pribadi warga Perancis. Conseil d'État atau peradilan tata usaha negara Perancis menganjurkan untuk tidak memaksakan larangan menyeluruh, karena undang-undang seperti ini mudah digoyahkan secara hukum."

Masih seputar perkembangan di Perancis, sejumah harian mengomentari pidato Presiden Nicolas Sarkozy di televisi sehubungan tuduhan menerima dana kampanye ilegal. Sarkozy dituduh menerima dana sumbangan senilai ratusan ribu Euro dari perempuan terkaya Perancis Liliane Bettencourt. Harian Le Monde yang terbit di Paris menulis:

"Apakah serangan balik Sarkozy meyakinan? Ini dapat diragukan. Kasus Bettencourt belum tuntas. Pengadilan masih melakukan penyidikan, setiap hari ada pemeriksaan atau dengar pendapat baru. Untuk menyelamatkan diri dari masalah ini Sarkozy tak punya pilihan selain berupaya mengalihkan perhatian dan memuji reformasi yang berhasil dicapainya. Sarkozy harus melakukan konsolidasi pendukungnya yang makin hari makin sedikit. Pembelaan batas atas untuk pajak bertujuan untuk menenangkan warga kaya Perancis yang mulai ragu karena pemberitaan negatif seputar kasus Bettencourt. Konsentrasi pada segelintir pemilihnya merupakan bukti realpolitik yang dijalankan Sarkozy, sekaligus pengakuan suatu kelemahan yang tidak bisa ditutupi."

Liberation, harian Perancis lainnya yang juga terbit di Paris berkomentar:

"Menteri perburuhan Eric Woerth di bawah tekanan atasannya terpaksa mengakui bahwa jabatan bendahara partai pemerintah dan pendorong reformasi dana pensiun tak pantas berada di tangan satu orang. Yang lebih tidak pantas lagi adalah jabatan menteri anggaran yang dengan satu tangan menetapkan pajak bagi perusahaan tapi dengan tangan lainnya menerima sumbangan bagi partai Sarkozy. Ironisnya, salah satu kelompok donor terbesar dijuluki 'lingkaran elit'. Ini sangat sesuai untuk menggambarkan kedekatan antara para penguasa dan orang-orang kaya di Perancis. Untuk menguraikan bentrokan kepentingan ini Sarkozy mengusulkan untuk membentuk suatu komite penyelidik. Ini merupakan langkah yang tidak dipikirkan secara matang."

Terakhir, harian Inggris Times yang mengangkat terbunuhnya tiga tentara Inggris di tangan seorang tentara Afghanistan di Provinsi Helmand:

"Tentara Afghanistan yang melemparkan granat ke arah serdadu Inggris lari setelah melakukan tindakan biadab itu. Sekarang, jumlah tentara Inggris yang tewas di Afghanistan berjumlah 317 orang. Pekerjaan yang mereka lakukan tetap penting dan terhormat. Pelatihan aparat Afghanistan agar mereka dapat menjamin keamanan di negerinya harus berhasil. Barulah pasukan NATO dapat meninggalkan Afghanistan dengan keyakinan, bahwa negara itu tak lagi menjadi markas dan tempat lahirnya serangan teror terhadap dunia barat."

ZER/HP/dpa