1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Larangan Berjilbab di Universitas Turki Dicabut

as11 Februari 2008

Barat mencemaskan bangkitnya kembali kekuatan Islam fundamentalis di Turki. Sementara kelompok sekuler takut munculnya efek domino.

https://p.dw.com/p/D5iv
Kelompok oposisi memprotes pencabutan larangan berjilbab di universitas di TurkiFoto: picture-alliance/ dpa

Pencabutan larangan menggunakan jilbab di perguruan tinggi di Turki menjadi bahan perdebatan amat hangat di Eropa.

Harian Belgia Le Soir yang terbit di Brussel dalam tajuknya berkomentar :

Ditunggu dengan cemas apakah reformasi konsitusi ini akan memicu efek domino? Kelompok sekuler yang merupakan gabungan dari lapisan mapan, partai oposisi dan militer mencemaskan, dalam waktu dekat pemakaian jilbab juga akan diizinkan di sekolah umum dan di kantor pemerintahan. Ketegangan lebih lanjut juga dapat dipicu oleh pihak pendukung pemakaian jilbab. Kelompok radikal sudah menyuarakannya lewat sejumlah perhimpunan, bahwa reformasi konsitusi itu belum cukup.

Sementara harian Swiss Basler Zeitung yang terbit di Basel dalam tajuknya berkomentar:

Turki kini menghadapi pilihan sulit. Perubahan konstitusi untuk mencabut larangan pemakaian jilbab di perguruan tinggi di Turki, merupakan reformasi yang tidak selaras tuntutan Uni Eropa. Kelompok penentang PM Erdogan juga tidak mau menyerah, dan kini terus berperang lewat jalur hukum. Kemungkinan besar tema ini juga akan memicu bentrokan di depan dan di dalam kampus perguruan tinggi. Sebetulnya amat bijak, jika pemerintah Turki jangan membuka kotak Pandora, yang mengajukan masalah mendasar, pilih Allah atau Attatürk.

Sedangkan harian Spanyol El Mundo yang terbit di Madrid berkomentar :

Keputusan reformasi konstitusi menyangkut pemakaian jilbab di Turki ditambah pernyataan pimpinan gereja Anglikan untuk memasukkan elemen syariah dalam hukum Inggris, menunjukkan barat terlalu murah hati terhadap Islam. Sekarang kelompok teokratis Islam terus maju, mendesak nilai-nilai dasar barat. Kebebasan beragama, hak asasi manusia dan perlindungan kelompok minoritas merupakan dalih untuk menerapkan politik yang murah hati terhadap kelompok fundamentalis dan reaksioner. Barat tidak memiliki tekad bulat, untuk menepis serangan terhadap nilai-nilai dasarnya itu.

Tema lainnya yang masih tetap menarik perhatian adalah pemilu awal di AS. Pertarungan di kubu demokrat antara Clinton melawan Obama masih berlangsung amat seru.

Menanggapi perkembangan terbaru itu harian Inggris The Guardian yang terbit di London berkomentar :

Tiga kandidat yang masih melaju, memang memenuhi kriteria yang diharapkan dunia, yakni siap bekerjasama dengan menaruh hormat pada negara mitra, untuk menuntaskan masalah global. Tapi, jika kedua kandidat dari kubu Demokrat yaitu Hillary Clinton dan Barack Obama tidak menyelesaikan perang nominasinya dengan cerdas dan tepat, akan muncul bahaya, hadiahnya akan diraih oleh pihak ketiga, calon yang paling militeris dari kubu Republik, yakni John McCain.

Terakhir harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma berkomentar :

Pertanyaan politik yang dihadapi kubu demokrat adalah, apakah Bill dan Hillary Clinton benar-benar ingin meraih kemenangan dengan segala cara? Apakah kedua tokoh politik demokrat itu siap, menghancurkan harapan kemenangan partainya, yang berpendapat setelah masa-masa bencana George W.Bush posisi di Gedung Putih sudah berada dalam kantungnya? Atau mereka menunjukkan kepekaannya, mundur selangkah untuk mendukung Barack Obama? Sebab tidak ada kemungkinan keduanya terus maju bersama dan menang bersama.