1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis di Myanmar Tetap Gawat

28 September 2007

Dunia ibaratnya menemukan kembali Myanmar, sebuah negara yang dikuasai rezim militer yang menindas rakyatnya, yang kini dilawan oleh para biksu Budhis yang biasanya lebih banyak berdoa dan melakukan meditasi dalam diam.

https://p.dw.com/p/CPF9
Polisi memukulli dan menangkapi para biksu Budhis
Polisi memukulli dan menangkapi para biksu BudhisFoto: AP

Krisis yang semakin memuncak di Myanmar tetap menjadi tema utama komentar dalam tajuk harian-harian internasional. Harian Italia La Stampa yang terbit di Turin dalam tajuknya berkomentar : Dunia baru saja sadar, setelah melihat peristiwa tragis di Myanmar. Dan dengan heran mempertanyakan, kekuatan apa yang mendorong para biksu yang membuatnya dipercaya oleh rakyat, untuk bangkit melawan rezim militer bagi kebebasannya rakyatnya sendiri? Para biksu Budhis yang biasanya dipandang sebagai tidak mempedulikan urusan keduniawian, tiba-tiba berubah menjadi kelompok yang paling mampu membongkar kezaliman dari akarnya. Terdapat paradox, dengan diam para biksu ternyata paling kencang menyuarakan tuntutan rakyat yang dicekik dan ditekan oleh rezim militer.

Sementara harian Swiss Der Bund yang terbit di Bern berkomentar : Di balik layar sebetulnya berlangsung diplomasi krisis yang amat seru. Sebab pertaruhan amat besar tidak hanya menyangkut kekuasaan rezim militer Myanmar saja. Akan tetapi juga menyangkut investasi milyaran Dolar, terutama yang ditanamkan China untuk membangun pelabuhan, jalan dan bahkan sebuah kota, untuk dapat membangun akses ke Samudra Hindia. Selain itu negara tetangga lainnya, India dan Thailand juga mengkhawatirkan gelombang pengungsi, serta diakhirinya pakta perdamaian dengan rezim militer Myanmar yang memerangi kelompok suku bersenjata di perbatasan. Kebebasan dan demokrasi, yang dituntut rakyat di Yangun, tidak tercantum dalam daftar prioritas negara-negara tetangga ini.

Juga harian Austria Der Kurier menyoroti persaingan negara tetangga India dan China untuk memperoleh bahan mentah dari Myanmar ini. Dalam tajuknya harian yang terbit di Wina ini berkomentar : Siapa yang masih dapat mencegah terjadinya banjir darah di Myanmar? China barangkali? Paling tidak citra buruk berupa pembantaian rakyat, saat ini tidak boleh terjadi di negara tetangga terdekatnya itu. Pada pokoknya China dan India memegang peranan paling besar. Akan tetapi, untuk dapat menggabungkan dua kekuatan itu, bagi kepentingan rakyat Myanmar, diperlukan tekanan serius dari Washington dari Uni Eropa atau negara tetangga Asia, yang juga mengandung konsekuensi kerugian ekonomi bagi China dan India.

Dan terakhir harian Jerman Berliner Morgenpost yang terbit di Berlin berkomentar: Krisis Myanmar terutama dipandang sebagai masalah China. Semua negara kaum pariah di dunia, yang sistem politik dalam negerinya tidak stabil, menyebut China sebagai sahabat terbaiknya. Politik luar negeri China harus dapat mencari jalan keluar dari dilema ini. Kini dibicarakan, bagaimana dan dengan acuan apa, Beijing harus mengambil alih tanggung jawab internasional dalam krisis Myanmar. Akan tetapi, krisis di Myanmar juga tidak boleh hanya dipandang sebagai masalah China semata. Melainkan masalah semua negara tetangganya di Asia.