Stok air bahkan diramalkan akan mengalami kelangkaan absolut, lima belas tahun berikutnya. Ketika krisis air, yang paling banyak berada di antrean adalah perempuan dan anak-anak.
Anda pernah melihat foto warga antre mendapatkan air bersih? Ketika mobil-mobil tangki datang ke perumahan atau ke tenda-tenda pengungsian. Sewaktu selang-selang air dari mobil itu mengisi jeriken, ember atau bak plastik milik penduduk, yang tampak terbanyak wajah-wajah perempuan.
Tidak, foto-foto itu bukan hanya berasal dari kawasan Afrika. Wajah-wajah itu muncul dari wilayah-wilayah bencana di Indonesia. Juga nasib beberapa kabupaten yang sempat mengalami kekeringan air sepanjang lima tahun terakhir.
Di daerah bencana, kesadaran pengelolaan bencana berbasis gender sesungguhnya belum berusia lama. Setelah tsunami Aceh (2004) baru ada perhatian lebih terhadap kenyataan kesulitan perempuan, anak, juga disabilitas, yang harus dipenuhi secara khusus ketika bencana dan menuju rekonstruksi pascabencana. Misal, kamar mandi dan cuci umum di barak diberi penerangan yang cukup untuk keamanan, lokasinya tak boleh terlalu jauh, kemudahan aksesibilitas, dan sejumlah kondisi lain.
Pendekatan kebencanaan perlu digunakan dalam mengatasi krisis air dan ancaman di masa mendatang. Perlu ada rencana mitigasi, tapi lebih utama: upaya pencegahan. Kita perlu sama-sama menyadari: kita sedang berada di ambang krisis air.
Peringatan ini bukan datang dari tempat yang jauh. Studi Bappenas (2007) menyebutkan ketersediaan air di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah tak cukup, terutama pada musim kemarau. Sebanyak 77 persen lebih kabupaten/kota di tiga wilayah itu mengalami defisit air selama satu hingga delapan bulan dalam setahun. Pada 2025, defisit air naik hingga menjadi 12 bulan. Ini berarti, ada kabupaten/kota yang langka air selama setahun penuh.
Jawa, sebagai pulau terpadat di Indonesia, memiliki pasokan air bersih yang kian sedikit untuk tiap jiwa penduduknya. Bila 2025 diprediksi terjadi krisis dan tak ada upaya mencegah, tunggu lima belas tahun berikutnya. Laporan Bappenas memperkirakan pada 2040 akan terjadi kelangkaan air secara absolut di pulau ini. Sebab, hampir seluruh sumber air di Jawa akan hilang. Standar kebutuhan air bersih per orang per hari adalah 144 liter. Apa kita harus mulai mengurangi angka konsumsi itu mulai sekarang?
Perubahan Iklim
Paling gampang kita menyalahkan perubahan iklim yang terjadi secara global. Penyebab kekeringan yang terjadi pada 1997, 2002 dan 2015 lalu di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, kita bisa lempar kepada El Nino. Cara ini paling sederhana, karena kita telanjur rajin memahami bahwa peristiwa alam tidak bisa dicegah. Persis seperti saat Jabodetabek dipenuhi air.
Tapi, krisis air yang kita bicarakan ini bukan semata bencana kekeringan akibat kemarau. Saat terjadi surplus air pada awal tahun akibat hujan deras, kita tak bisa juga mengonsumsi air dari banjir. Cadangan air yang diserap tanah ketika hujan yang paling panjang hanya lima bulan tidak memadai untuk digunakan selama setahun.
Menunjuk perubahan iklim sebagai penyebab kelangkaan air, sebenarnya menunjuk muka sendiri pula. Sudah umum diketahui—gawat kalau belum—penyebab iklim berubah bukan kelakuan alam secara mandiri. Ia terjadi dari konsentrasi tinggi buangan karbon dioksida dan gas-gas lain ke atmosfer oleh kegiatan manusia.
Di bumi, kita mengelola lahan secara keliru. Kegiatan ekonomi memaksa alih fungsi lahan secara besar-besaran, mengabaikan kebutuhan tanah terhadap air, dan menangani potensi bencana hanya dengan menyiagakan anggaran dan tenaga siap siaga bencana. Betul ada sejumlah pendidikan kepada komunitas oleh pemerintah daerah dan organisasi nonpemerintah, kampanye menghemat penggunaan air, atau inisiatif membuat sumur-sumur resapan (besar atau kecil). Tapi, aksi yang dibutuhkan jauh lebih besar dari itu.
Kita kembali dulu ke pelajaran semasa SD. Ada beda antara kemarau dan kekeringan. Kemarau adalah fenomena alam. Di negeri tropis seperti Indonesia, kemarau itu musim belaka. Kekeringan adalah kondisi yang terjadi karena kegiatan manusia. Kita yang buat.
Kemarau yang panjang bisa mengakibatkan bencana kekeringan dan kelangkaan air. Bisa juga tidak, dengan sejumlah ‘syarat': asal ini asal itu. Sebab, gerak alam bisa diduga, cuaca bisa diprediksi. Pun ketika iklim begitu banyak berubah seperti sekarang, manusia tetap bisa tahu kapan akan hujan, bisa mengukur berapa banyak akan turun air, dan berapa lama kemarau akan berlangsung pada masa-masa mendatang.
Kelangkaan air bukan berasal dari alam. Ia terjadi karena sebab politik dan laku ekonomi: manajemen sumber air tidak adekuat, distribusi air tidak tepat, privatisasi air berlebihan, dan—yang sudah disebut di atas—perubahan fungsi lahan yang inkonsisten dengan karakter geografis.
Maka, kelangkaan air mestilah tidak menjadi bencana. Ia seyogianya tak terjadi. Bila dalam lima tahun ke depan potensi krisis itu tak bisa diatasi, kita bisa cepat bilang: ilmu pengetahuan diabaikan oleh pengambil kebijakan.
Perempuan
Februari tahun ini berlangsung World Forum for Women in Science di Brasil. Tema konferensi internasional ini adalah Women in Science without Borders: Energy, Water, Health, Agriculture and Environment for Sustainable Development. Krisis air memang menjadi tema dunia. Tapi, jangan keburu senang dan berujar, "bukan cuma kita, dong.”
Dokumen Panel Tinggi soal Air Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan akan ada 700 juta orang menderita akibat kekurangan air parah, pada 2030. Lah, bila penduduk Jawa ada 150 juta jiwa (meski sudah dikurangi mereka yang akan pindah ke ibukota baru mulai 2024), bukankah Indonesia harus menempatkan peringatan ini dalam agenda prioritas?
Pertemuan Brasil memancing kita untuk serius perihal kepeloporan perempuan dalam mengelola air. Prinsip Dublin (1992) menegaskan perempuan berperan penting dalam penyediaan, pengelolaan, dan pelestarian sumber daya air. Dalam isu air perempuan tak boleh jadi korban terus menerus, atau pelaku di antrean jatah air bersih saat bencana terjadi.
Waktu tak banyak lagi, kini saat aksi. Kita ingin melihat musyawarah perencanaan desa tak sekadar menghadirkan "wakil perempuan”. Ini hanya indikator perwakilan gender belaka.
Kita perlu mengubah pendekatan tentang ‘perwakilan' dan ‘perwakilan perempuan'. Perempuan berada di hampir semua ukuran label dalam masyarakat. Ada di bidang agama, kepemudaan, olahraga, kesehatan, dan sebagainya. Maka, wakil-wakil dari tiap—katakan—bidang itu mestinya juga menghadirkan perempuannya. Bila dibatasi hanya pada ‘wakil perempuan', maka suara itu tak akan pernah menjadi narasi utama.
Pada level lebih tinggi, perlu perubahan dalam memahami apa yang disebut kebutuhan perempuan. Kebijakan perlindungan perempuan tak sebatas pada upaya mengurangi kekerasan terhadap perempuan, konsultasi dan advokasi. Pemangku kebijakan perlindungan perempuan harus berkontribusi pada proses perumusan kebijakan tata kelola air dan bidang-bidang pembangunan yang berpotensi mengurangi sumber air.
@Airlambang | bekas wartawan, penulis dan praktikus behaviour change & community engagement.