Konseling AIDS yuk!
1 Desember 2006Apakah Anda pernah tes HIV? Apakah Anda mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes? Jangan pernah menganggap proses konseling ini tidak penting, meski Anda jauh dari risiko tertular virus. Sejumlah LSM peduli HIV/AIDS memberikan konseling dan tes HIV secara gratis. Di sana, Anda bisa bertemu dengan konselor, untuk mendapat penjelasan selengkap mungkin soal HIV/AIDS. Reporter KBR68h Regie Situmorang membuat cerita tentang pekerjaan menjadi seorang konselor ini. Ceritanya dibawakan Citra Prastuti.
Ori bingung ketika tahu adiknya dinyatakan positif mengidap HIV. Virus ini masuk ke tubuh adiknya lewat jarum suntik akibat mengkonsumsi narkoba selama tujuh tahun lebih. Ori tidak tahu, ke mana harus mencari informasi soal HIV/AIDS. Ia sebatas tahu, penyakit ini menular dan berbahaya.
Ori:
Adik saya itu tahunya, dia memang sudah ada feeling, cuma saya terus kasih semangat, sudahlah jangan berpikir buruk dulu. Ternyata, dokternya bilang, kamu harus minum obat seumur hidup. Ternyata dia sudah nangkap ke sana, dia shock sekali. Sampai, sudah lah, sudah selesai ini hidup, sudah tidak ada artinya lagi.
Beruntung, setelah itu Ori bertemu dengan seorang konselor HIV di Yayasan Pelita Ilmu, YPI. Konselor bekerja layaknya psikolog. Cerita dari si pasien, cuma konselor yang tahu. Tapi tak jarang, cerita itu keluar menembus dinding ruang konseling. Seperti diceritakan Atik, salah satu konselor di YPI.
Atik:
Jadi pernah ada suatu hari suami istri hasilnya dua-duanya positif, nangis yang luar biasa nangis. Dan kemudian dia minta waktu untuk mendoakan tes darah itu moga-moga hasilnya berubah. Tapi sesuatu itu sudah tidak bisa terjadi kan, artinya kalau sudah positif ya tetap aja positif. Tapi ada juga yang hasilnya negatif, mereka nangis samopai orang yang di atas, kebetulan ini dua lantai, sampai yang nanya, ada apa di bawah? Itu mereka saking mengungkapkan perasaannya yang sangat luar biasa.
Proses konseling adalah tahap penting, baik sebelum maupun sesudah tes HIV. Sayang, masih banyak yang enggan bertemu konselor. Ketakutan dan ketidaktahuan bisa membuat seseorang menutup rapat-rapat dirinya dari informasi seputar HIV/AIDS. Padahal ini juga yang membuat virus terus merajalela.
Pasien yang datang ke ruang konseling, sangat beragam. Mulai dari pekerja seks, pecandu narkoba, hingga pasangan homoseksual; mereka yang dianggap berperilaku risiko tinggi. Tapi tak jarang, yang bertemu konselor adalah ibu rumah tangga, istri-istri yang tertular HIV dari suami mereka. Tak semua yang datang sudah positif HIV, ada juga yang baru menjalani tes.
Pusat Studi Khusus, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM, Jakarta, punya 10 konselor. Rata-rata menangani 5-6 pasien setiap hari, sekitar 1 jam per orang.
Salah satu konselor HIV/AIDS di sana, Hendi Muslim.
Hendi
Tiap hari kita bisa 5-6 orang. Itu yang baru yah. Ditambah lagi konseling kan tidak hanya yang pre-test, ada yang post-test, ada juga ARV, untuk kepentingan minum obat, terus ada konseling ibu hamil, konseling keluarga. Hampir 90 persen dari kasus narkotika. Kalau perempuan kebanyakan akibat perkawinan dengan suami yang dia tidak tahu riwayatnya. Kemudian suaminya meninggal, mau tidak mau istrinya dapat bonus.
Berbeda dengan di YPI, ruang konseling RSCM tak terlalu nyaman. Lokasinya pun sangat terbuka. Maklum saja, ruang konseling yang ada hanya tiga buah, tak sebanding dengan jumlah klien.
Untuk menjadi konselor HIV/AIDS, gampang-gampang susah. Gampangnya, mereka tinggal mengikuti pendidikan dan latihan selama 40 jam yang diadakan oleh Departemen Kesehatan atau LSM pemerhati AIDS. Susahnya, diklat ini butuh ongkos sekitar 1,5 juta rupiah. Ada juga yang bisa ikut diklat secara gratis, disokong sponsor tertentu.
Dalam proses diklat itu, para calon konselor dibimbing oleh dokter, psikolog dan ahli komunikasi. Di sinilah mereka belajar berbagai teknik menghadapi klien, baik yang baru akan tes atau sudah positif HIV. Misalnya menghadapi klien yang menyalahkan Tuhan. Seperti diceritakan Atik, konselor di Yayasan Pelita Ilmu, YPI.
Atik:
Ada juga, misalnya, menyalahkan Tuhan. ‘Kenapa saya?’ Atau mungkin tawar menawar sama Tuhan. Kalau misalnya dibuat negatif, saya akan berbuat lebih banyak lagi kebaikan, saya mungkin akan menyantuni anak yatim. Hal-hal seperti itu. Tahapan dari dia menolak, dia depresi sampai penerimaan yang positif. Artinya tuh setelah dia dapat bimbingan, support dari orang-orang terdekat, setelah dia termotivasi dari diri sendiri, dibantu dukungan spiritual yang kuat, biasanya dia akhirnya menerima. Ya sudah, ini mungkin sudah jalan hidup saya mungkin ya. Saya ada virus, tapi bagaimana saya menatap hidup ini dengan lebih baik lagi. Mengisi hari-hari saya yang masih ada ke depan dengan lebih baik.
Konselor juga manusia. Tak semua persoalan bisa mereka carikan jawabannya. Jika terjadi seperti ini, biasanya konselor bertemu dengan penyelia mereka, mencoba mencari jawaban untuk si klien. Prosesnya tak jauh beda ketika klien bertemu dengan konselor. Karena itulah, konselor bisa merasakan betul permasalahan yang dipanggul para pengidap HIV dan AIDS.
Hendi:
Saya suka bisa membantu orang. Kemudian kita bisa lebih berempati, merasakan bagaimana perasaan dia, menghadapi penyakit yang orang bilang sangat ganas dan mematikan. Kemudian kita juga dengar informasi soal itu, kita bisa sampaikan ke keluarga, ke masyarakat, dengan penyuluhan, ke tetangga, ke teman-teman yang lain.
Data Departemen Kesehatan menyebut, hingga Juni 2006 ada 10 ribu kasus HIV/AIDS di Indonesia. Setiap tahun, jumlah kasus terus meningkat, seiring dengan meningkatnya penggunaan narkotika lewat jarum suntik serta perilaku seks yang tidak bersih. Di saat yang sama, belum banyak orang yang benar-benar tahu persis soal apa dan bagaimana penyakit ini ditularkan. Antusiasme masyarakat untuk menjadi konselor pun masih minim. Karena itu kebanyakan konselor adalah kerabat, tetangga atau keluarga pengidap HIV. Seperti Ori, yang adiknya divonis HIV akibat narkoba suntikan.
Ori:
Saya ingin menyumbang lebih setelah saya tahu HIV AIDS seperti apa, saya ingin menyumbang lebih. Setidaknya hidup saya bisa lebih berarti bagi orang seperti itu. Setelah saya tahu seperti ini, adik saya terinfeksi, dan saya mengalami sendiri, jadi saya ingin terjun langsung. Saya ingin ikut bantu, paling tidak misalnya saya tidak bisa bantu secara materil, saya bisa bantu sharing, lewat hati saya. Paling tidak saya ingin seperti itu, karena saya ikut ngerasain kayak gimana.
Masih sedikit yang sedari awal memang ingin menjadi konselor. Seperti Puji Lestari, konselor di Yayasan Pelita Ilmu.
Puji Lestari:
Terus terang memang saya kepingin yah jadi konselor. Akhir-akhir ini kan banyak yang tes. Dulu kalau saya melihat di sini kan konselornya cuma.. dulu memang belum ada konselor sebelum Mbak Tika di sini. Kalau pun ada yang mau tes, kita mesti cari-cari konselor. Di situlah aku tergugah pingin jadi konselor. Waktu itu memang lagi ada training di Depkes, kebetulan aku diizinkan untuk ikut training, ya sudah. Abis itu disupervisi dulu, kita gak boleh langsung terjun. Jadi menghadapi pasien itu kita disupervisi dulu.
Tak ada catatan pasti soal jumlah konselor HIV/AIDS di seluruh Indonesia. Juga tak bisa dibuat perbandingan, apakah jumlah konselor ini sudah bisa mengimbangi jumlah kasus HIV/AIDS yang terus bertambah di seluruh penjuru Nusantara. Dan konselor adalah salah satu kunci penyebaran informasi soal HIV/AIDS. Kembali, Hendi Muslim, konselor di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Hendi :
Kalau dari sisi kemanusiaannya, kita senang bisa memberikan pelayanan dan informasi yang baik kepada mereka. Itu memberikan suatu kepuasan tersendiri. Kalau masalah hubungan dengan pemerintah.. tapi yang jelas memang di satu sisi perlu ada penghargaan lah. Sebetulnya di Jakarta sendiri kan banyak gitu.. kayak ada pertemuan apa gitu, kan mereka dedikasinya luar biasa.
Masyarakat perlu tahu informasi yang benar, sebenar-benarnya, soal HIV/AIDS. Supaya tak perlu ada lagi perlakuan yang berbeda atau cap buruk yang dilekatkan kepada para pengidap HIV dan AIDS, atau Odha.