1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Didorong oleh Kerusakan Ekologis

Alistair Walsh
8 Oktober 2021

Negara-negara yang dilanda kerusakan ekologis dan konflik terjebak dalam lingkaran setan di mana satu masalah justru memperkuat masalah yang lain. Dan perubahan iklim diperkirakan akan memperburuk keadaan.

https://p.dw.com/p/41ODP
Wilayah Sahel, di perbatasan selatan Gurun Sahara, terperosok dalam konflik dan ancaman ekologis
Wilayah Sahel, di perbatasan selatan Gurun Sahara, terperosok dalam konflik dan ancaman ekologisFoto: Christophe Petit Tesson/Pool/abaca/picture alliance

Laporan Ancaman Ekologis tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Institute for Economics and Peace (IEP) pada Kamis (07/10), mengungkapkan,  ancaman ekologis akan berdampak pada meluasnya konflik dan migrasi massal kecuali ada upaya signifikan yang dilakukan untuk membatasi kerusakan.

Laporan kedua terkait ancaman ekologis yang dirilis IEP ini melakukan penilaian terhadap 178 negara dan teritori independen untuk menemukan kawasan atau negara yang paling rentan terancam konflik yang berkaitan dengan masalah ekologis.

Laporan itu memonitor data terkait risiko pangan, air, pertumbuhan penduduk yang cepat, anomali suhu dan bencana alam, dan menggabungkan data tersebut dengan ukuran ketahanan sosial ekonomi nasional seperti pemerintahan yang berfungsi dengan baik, lingkungan bisnis yang kuat, dan juga penerimaan hak warga satu sama lain.

"Kami mencoba untuk lebih memahami seberapa kuat hubungan antara kerusakan ekologis dan konflik. Dan ternyata jauh lebih kuat dari yang kami kira,” kata Steve Killelea, Pendiri dan Ketua Eksekutif IEP kepada DW. "Kerusakan ekologis dan konflik itu terkait erat, sekali lagi sangat terkait erat,” tambahnya.

Grafik negara negara paling berisiko akibat ancaman ekologis
Laporan IEP menemukan 30 negara dengan tingkat ancaman ekologis sedang-sangat tinggi dikombinasikan dengan ketahanan sosial yang sangat rendah

Konflik dan kerusakan ekologis bak lingkaran setan

Studi IEP menemukan, wilayah yang terancam konflik dan kerusakan ekologis – seperti bencana alam, kelangkaan sumber daya, dan anomali suhu – jatuh ke dalam lingkaran setan, di mana setiap masalah justru memperkuat yang lain.

Killelea menjelaskan maksudnya: "Sumber daya berkurang, Anda memperebutkannya, konflik kemudian melemahkan semua infrastruktur dan sistem sosial, dan konflik juga turut menghancurkan sumber daya lebih parah, yang kemudian menciptakan lebih banyak konflik.”

"Anda berhadapan pula dengan kelompok etnis atau agama yang berbeda, atau bahkan permusuhan lama dari konflik masa lalu, sehingga sangat mudah untuk jatuh kembali ke dalam lingkaran tersebut,” tambahnya.

Wilayah-wilayah yang paling berisiko

Menurut Serge Stroobants yang menjabat Direktur IEP untuk Eropa & Timur Tengah dan Afrika Utara, laporan ini mengidentifikasi 30 negara hotspot yang menghadapi ancaman ekologis tingkat tinggi, yang juga ditandai dengan tingkat korupsi yang tinggi, institusi yang lemah, lingkungan bisnis yang buruk, dan distribusi sumber daya yang buruk.

Tiga wilayah yang ditemukan paling berisiko mengalami keruntuhan (societal collapse) adalah sabuk Sahel-Horn of Africa - yang membentang dari Mauritania ke Somalia, sabuk Afrika bagian Selatan – yang membentang dari Angola ke Madagaskar, dan sabuk Timur Tengah dan Asia Tengah – yang membentang dari Suriah ke Pakistan.

Selain berisiko mengalami konflik lebih jauh, negara-negara di tiga wilayah ini juga kemungkinan besar akan mengalami migrasi massal. Pada tahun 2020, lebih dari 50 juta orang terpaksa mengungsi akibat konflik dan kekerasan di Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

"Saat ini sekitar 1,26 miliar orang tinggal di 30 negara itu, dan oleh karena itu kami mengatakan bahwa mereka berada pada risiko tinggi konflik dan pengungsian yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan,” kata Stroobants.

Apakah perubahan iklim berkontribusi?

"Perubahan iklim jelas merupakan pemicu dan akselerator dari dampak ancaman ekologis di negara-negara itu,” kata Stroobants merujuk pada negara-negara yang paling berisiko.

Nina von Uexkull dari Departemen Riset Perdamaian dan Konflik Universitas Uppsala – yang tidak terlibat dalam laporan IEP – mengemukakan hal senada. Menurutnya, beberapa daerah berisiko mengalami konflik akibat perubahan iklim.

"Saat ini, dampak keseluruhan dari iklim terhadap risiko konflik dinilai relatif kecil dibandingkan dengan beberapa faktor lain, tetapi beberapa wilayah di dunia sejatinya rentan bila faktor iklim diterjemahkan ke dalam risiko keamanan internalnya,” jelas Uexkull.

Apa solusi yang mereka tawarkan?

Membatasi perubahan iklim tidak akan sepenuhnya mengurangi risiko ancaman ekologis pada konflik, kata IEP.

Lembaga tersebut menyerukan kepada pemerintah dan badan-badan internasional untuk mengintegrasikan struktur yang menggabungkan kesehatan, makanan, air, bantuan pengungsi, keuangan, pertanian, pembangunan dan fungsi lainnya. Menurut IEP, sifat diam dari badan-badan bantuan dan pembangunan tidak akan berdampak pada munculnya respons cepat atas masalah-masalah regional yang sistemik.

"Anda dapat mengikutsertakan orang-orang dari semua lembaga berbeda untuk membentuk sesuatu yang punya kesatuan, sesuatu pada tingkat yang lebih kecil,” kata Killelea. "Anda akan mendapatkan efisiensi yang jauh lebih baik, produktivitas yang jauh lebih besar, dan mungkin hal itu juga akan lebih selaras dengan masalah yang ada, jika Anda berfokus pada intervensi sistemik,” pungkas Pendiri dan Ketua Eksekutif IEP itu.

gtp/as