1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konferensi Perdamaian Darfur di Libya

27 Oktober 2007

Sejauh ini perundingan antara pemberontak dan pemerintah Sudan tidak mendatangkan hasil. Sehingga harapan akan tercapainya hasil konkret dari perundingan di Sirte sangat besar. Tetapi kendalanya juga banyak.

https://p.dw.com/p/CIpM

Imbauan dari New York sangat banyak. Baik Sekretaris Jenderal maupun DK PBB, semuanya menginginkan hasil terbaik dari konferensi perdamaian Darfur, yang berlangsung Sabtu (27/10) di kota Sirte di Libya. Tetapi harapan sukses sangat tipis.

Keadaan Sangat Buruk

Itu sudah dinyatakan jururunding PBB untuk Sudan, Jan Eliasson beberapa hari sebelum pertemuan. Realita di Darfur tidak bisa dikendalikan siapapun, dan dalam beberapa bulan terakhir situasi sangat buruk. Demikian Eliasson. Diplomat Swedia itu juga menyatakan adanya sejumlah serangan mematikan terhadap anggota pasukan perdamaian Uni Afrika, serta pertempuran besar antara pemberontak dan milisi yang didukung pemerintah.

Eliasson juga menggambarkan situasi buruk di kamp pengungsi, yang sudah diperkirakannya sebelumnya. Frustasi dan kemarahan meningkat. Kekerasan juga terjadi. Anak-anak yang besar di kamp pengungsi dan sekarang sudah remaja menjadi radikal. Senjata juga bisa diperoleh di kamp pengungsi.

Halangan dari Pemerintah

Wakil-wakil dari masyarakat sipil, para pemimpin suku, wakil dari kamp pengungsi adalah pihak-pihak yang paling terkait dalam pembicaraan perdamaian, dan ingin hadir di perundingan Sirte. Tetapi itu hanya dapat terjadi, jika pemerintah di Khartum memberikan ijin keberangkatan mereka. Dan ijin itu sampai sekarang belum diberikan.

Menurut Eliasson, pemerintah Sudan, yang menjadi masalah bagi pembicaraan perdamaian, terpecah belah. Demikian halnya dengan pihak pemberontak. Dua organisasi pemberontak terpecah menjadi 26 kelompok kecil. Termasuk juga organisasi terpenting, gerakan untuk persamaan dan keadilan, yang disebut “Jem”. Ketuanya, seperti halnya ketua kelompok lain, membatalkan keikutsertaan dalam konferensi perdamaian Sabtu (27/10). Penyebabnya, ketua “Jem“ meragukan peranan Libya dalam hal ini. Memang Presiden Libya Muammar Gaddafi mendukung kelompok-kelompok tertentu di Sudan, sehingga memperburuk situasi di Darfur. Yang pertama membatalkan kehadiran adalah ketua tentara pembebasan Sudan, SLM, Abdulwahid Nur yang berada di pengasingan di Paris. Dalam wawancara dengan televisi Al Jasira ia mengatakan, tidak bersedia berunding dengan siapapun, yang tidak menghormati hidup rakyat Sudan. Enam fraksi lainnya, akhirnya ikut dalam boykot tersebut.

Harapan Tipis

Jadi yang pasti, hanya wakil pemerintah yang hadir, juga beberapa kelompok pemberontak, yang satu setengah tahun lalu menandatangani perjanjian perdamaian dan sejak saat itu ikut dalam pemerintahan. Jan Eliasson mengatakan, malangnya, kenyataan berkembang ke arah berbeda. Namun demikian semua pihak harus tetap berpegang di arah yang benar. Status quo saat ini harus diterima. Dan ia harap, akal budi akhirnya menang.

Konferensi perdamaian Darfur yang diadakan di Sirte dimulai dengan penyambutan dari Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon. Tetapi Eliasson hanya berharap, setidaknya tukar menukar pendapat dapat diadakan, dan mungkin wakil pemberontak akhirnya dapat ikut serta. Yang jelas, perjanjian perdamaian adalah syarat, agar misi PBB ke Darfur, yang beranggotakan 20.000 tentara tidak gagal total. Tetapi tanpa mitra perundingan, kesepakatan perdamaian tidak mungkin tercapai. Sementara setiap harinya 75 anak meninggal di Darfur akibat kelaparan, penyakit dan kekerasan. (ml)