1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Komunis Yaman dan Mispersepsi Umat Islam Indonesia

15 Desember 2018

Populasi warga Arab keturunan Yaman di Indonesia jumlahnya lumayan banyak. Selama ini kadang terjadi mispersepsi orang Indonesia terhadap Yaman. Simak opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/3615V
Jemen Sanaa Menschen hinter Flagge
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Mohammed

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, baik Muslim maupun bukan, Yaman (nama resminya: Republik Yaman atau al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah) yang terletak di Asia Barat dan Semanjung Arabia ini dikenal sebagai “negeri para habib dan sayyid” dan leluhur sebagian komunitas Arab Muslim di Indonesia. Banyak umat Islam di Indonesia bahkan mengelu-elukan komunitas sadah (kaum habib dan sayyid) ini karena dianggap sebagai “keturunan” Nabi Muhammad.

Meskipun tentu saja banyak yang baik, toleran, dan nasionalis (seperti Habib Luthfi bin Yahya), sebagian dari mereka sering membuat keonaran di Indonesia dengan menebarkan intoleransi, fitnah, kedengkian, permusuhan, dan kekerasan dengan sesama umat manusia seperti yang dilakukan oleh Rizieq Syihab, Husein Al Habsyi, Zein Al-Kaff, dan baru-baru ini anak muda bernama Bahar Bin Smith.

Penulis:  Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Di Yaman sendiri, kelompok sayyid ini sangat minor, terbatas, dan sama sekali tidak memiliki pengaruh politik dan ekonomi di negaranya. “Pamor” keagamaan mereka cuma terbatas di beberapa tempat, sebagian besar terkonsentrasi di kota Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan, yang dikenal sebagai “kota sadah”. Di Tarim ini ada para mahasiswa dan santri Indonesia yang belajar tentang aneka ragam studi Islam khususnya di al-Ahqaf University, Rub al-Tarim (Rubat Tarim), Dar al-Zahra, dan Dar al-Musthafa.

Karena sudah eksis sejak abad-abad silam, maka populasi warga Arab-Yaman (khususnya Hadramaut) di Indonesia memang jumlahnya lumayan banyak dan tersebar di berbagai kawasan: Aceh, Palembang, Jakarta, Bogor, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, Surabaya, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Ambon, dan masih banyak lagi.

Meskipun komunitas ini sudah cukup lama datang di kawasan yang kemudian bernama “Indonesia” tetapi migrasi mereka dari Yaman ke kepulauan ini baru terjadi secara intensif pada abad ke-19 (simak buku klasik L.W.C. van den Berg tentang “koloni Arab Hadrami” di nusantara), ketika ditemukan teknologi “mesin uap” sehingga memudahkan arus migrasi orang-orang Arab ke nusantara.

Ada banyak faktor yang menyebabkan mereka dulu berkelana ke nusantara, antara lain karena faktor kekeringan, kemiskinan, kelaparan, minimnya lapangan kerja, konflik dan peperangan, dlsb. Hingga kini, Yaman masih dilanda kekerasan dan kelaparan yang membuat negara ini buram, bangkrut, dan berantakan sehingga masuk menjadi salah satu negara termiskin dan terbangkrut di dunia.   

Seperti dijelaskan diatas, di antara orang-orang Arab Yaman yang melancong ke nusantara ada yang mengklaim dari kelompok sadah, asyraf, atau haba’ib, yaitu kelompok yang mengaku sebagai “keturunan” Nabi Muhammad, khususnya dari jalur Ali bin ‘Alawi (sehingga sering disebut Ba’ ‘Alawi) yang merupakan keturunan langsung dari Ahmad bin Isa al-Muhajir yang konon “keturunan” ke-10 Nabi Muhammad (sengaja saya pakai “tanda kutip” karena saya tidak sependapat kalau mereka adalah keturunan nabi. Saya lebih suka menyebut mereka sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib).

Tetapi ada pula yang dari komunitas non-sadah, yaitu kelompok Irsyadi (golongan menengah) dan Qaba’il (kelas rendahan). Dalam sejarahnya, di Yaman, komunitas Irshadi ini sering terlibat konflik dengan kelompok sadah karena “rebutan” otoritas keislaman, konflik atas klaim sebagai “keturuan” nabi, serta perbedaan tafsir atas pemahaman keagamaan (lihat studi Nels Johnson, Islam and the Politics of Meaning in Palestinian Nationalism).   

Yaman yang majemuk

Seperti laiknya negara-negara lain di dunia ini, Yaman juga negara majemuk dengan berbagai ragam kelompok etnis, agama, suku, dan faksi politik dan idelogi. Yaman yang berbatasan dengan Oman dan Arab Saudi inibukan hanya dihuni oleh kaum sadah. Bahkan bukan hanya kaum Muslim, kaum Yahudi Yaman (al-Yahud al-Yaman) juga eksis, dimana kaum perempuannya juga mengenakan cadar (burqa atau niqab) sebagaimana laiknya perempuan Muslimah Salafi-Wahabi.

Yaman, khususnya Yaman utara, juga rumah bagi berbagai faksi militan-radikal-Islamis-teroris dari berbagai kelompok, aliran, dan mazhab keislaman. Disinilah sejumlah pentolan Salafi, termasuk pemimpin “almarhum” Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib berserta anak-anak didiknya, dikader dan digembleng spirit jihadisme oleh beberapa ulama militan seperti Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i, Syaikh Yahya al-Hajuri, atau Syaikh Abdurrahman al-Adeni.

Selanjutnya, Yaman juga dalam sejarahnya menjadi salah satu basis "kaum kiri" terbesar di Timur Tengah, baik mereka yang berideologi-politik dan berhaluan Komunis, Sosialis, maupun Marxis-Leninis. Bahkan Yaman Selatan dulu pernah menjadi "Negara Komunis" sebelum era unifikasi tahun 1990. Sebelum menjadi "Republik Yaman" tahun 1990 yang menggabungkan antara selatan dan utara, kawasan Yaman dibagi menjadi dua: Yaman Selatan (disebut Republik Demokrat Rakyat Yaman) dan Yaman Utara (disebut Republik Arab Yaman). Kelompok kiri pada umumnya bercokol di Yaman Selatan.

Karena menjadi rumah berbagai kelompok ideologi-politik inilah, Yaman tidak pernah sepi dan absen dari konflik dan kekerasan. Perang Sipil berkali-kali meletus disini yang menyebabkan korban tak terhingga, baik jiwa maupun harta-benda. Saat ini perang sipil berbagai kelompok politik-agama-ideologi juga sedang berkecamuk, khususnya di Yaman utara. Tak peduli, meskipun sama-sama beretnik / bersuku Arab, mereka saling berperang satu sama lain.  

Bahkan bukan hanya di zaman modern ini. Sejak zaman dulu, Yaman menjadi ajang pertempuran dan penaklukkan berbagai kelompok politik kekuasaan. Dulu, pada awal abad Masehi, Yaman pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Yahudi Himyarite. Kemudian kelompok Kristen datang menaklukkan Yaman, dan belakangan kaum Muslim Arab yang gantian menganeksasi. Sejak itu, beberapa dinasti silih berganti mengontrol Yaman, yang terkuat dan termakmur adalah Dinasti Rasulid. Turki Usmani dan Inggris juga pernah menjajah Yaman. Sebelum Republik Arab Yaman berdiri pada tahun 1962, Kerajaan Yaman Mutawakkiliyah yang berhaluan Syiah Zaidi berdiri di Yaman Utara pasca Perang Dunia I. 

Kaum radikal Islamis (seperti al-Ishlah atau al-Tajammu' al-Yamani li al-Ishlah), kelompok nasionalis (seperti al-Muktamar al-Sya'abi al-am), dan sosialis-komunis (seperti al-Hizb al-Isytirak al-Yaman), semua beretnik Arab, saling berkelahi, saling bunuh, dan berebut kekuasaan. Ini belum termasuk konflik dan kekerasan berbagai faksi Islam: seperti faksi Sunni dan Syiah Zaidi.

Sejumlah sarjana seperti Tareq Ismael, Victoria Clark, Murray Gart, dan Mark Katz telah mengulas dengan baik sejarah dan perkembangan konflik dan kekerasan antarfaksi ideologi-politik-agama di Yaman, termasuk faksi sosialis-komunis.

Yaman Selatan pernah menjadi satu-satunya negara komunis di seantero Timur Tengah

Yaman Selatan memperoleh kemerdekaan dari Inggris tahun 1967. Dua tahun kemudian (1969), kaum komunis di bawah payung People's Democratic Union mengontrol negara dan mengimplementasikan Komunisme sebagai ideologi negara.

Pada waktu itu, Yaman Selatan menjadi satu-satunya negara komunis di seantero Timur Tengah mengingat kaum komunis di kawasan lain mulai melemah pengaruhnya sejak dibombardir oleh Amerika dan sekutunya sejak Perang Dunia II. Sebagai Negara Komunis, Yaman Selatan dulu menjalin aliansi dengan Uni Soviet, Republik Rakyat China, Kuba, dan Jerman Timur.

Partai Komunis Yaman (baca: People's Democratic Union) secara resmi berdiri tahun 1961. Pendirinya adalah Abdallah bin Abd al-Razzaq Ba Dhib yang merupakan salah satu pentolan komunis Arab Timur Tengah. Kelak, ketika ia wafat tahun 1976, tonggak partai ini dikendalikan oleh saudaranya Ali Ba Dhib dan kemudian Abu Bakar Ba Dhib.

Pada tahun 1986, Partai Komunis Yaman bersama sejumlah partai dan kelompok kiri lain termasuk Partai Ba'ath bergabung dengan Partai Sosialis Yaman yang berhaluan Marxist-Leninist. Partai Sosialis Yaman (berdiri tahun 1978) merupakan gabungan dari berbagai elemen, partai, dan kelompok politik beraliran kiri, baik di Yaman selatan maupun di Yaman utara. Pendiri Partai Sosialis Yaman adalah Abdul Fattah Ismail yang sangat pro-Soviet.

Ada cukup banyak tokoh dan pentolan kelompok / partai komunis, sosialis atau Marxis-Leninis di Yaman seperti (selain beberapa yang disebutkan di atas) Haidar Abu Bakar al-Attas (pernah ditunjuk oleh Presiden Ali Abdullah Saleh sebagai Perdana Menteri Republik Yaman tahun 1990-94), Muhammad Ghalib Ahmad, Ali Nasser Muhammad, Ali Salim al-Beidh, Ali Saleh Obad, Yasin Said Nu'man, Abdulrahman al-Saqqaf, dlsb.

Perlu diketahui, dalam konteks Timur Tengah, meskipun mereka aktif di parpol atau ormas yang berkaitan dengan Komunis atau Marxis-Leninis, itu bukan berarti bahwa mereka adalah pengikut ateisme seperti umumnya disalahpahami di Indonesia yang gemar menyamakan komunis dengan ateis. Padahal, komunisme dan ateisme adalah dua filosofi dan “pandangan dunia” yang sangat berbeda. Di Timur Tengah, berbagai kelompok mengadopsi komunisme itu semata-mata hanya sebagai strategi, taktik, dan ideologi gerakan perlawanan terhadap kekuasaan atau kekuatan politik tertentu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ateisme.

Meskipun tentu saja ada yang sekularis-ateis, tetapi banyak aktivis dan pengikut komunis yang tetap berpegang teguh pada agama Islam, Kristen, atau Yahudi, ketiga kelompok agama yang dulu mengimpor komunisme Soviet ke Timur Tengah: Irak, Mesir, Suriah, Yordania, Libanon, Palestina, Iran, Yaman dan bahkan Arab Saudi. Sebagian kelompok komunis ini tumbang, sebagian bermimikiri menjadi partai dan ormas kiri lain, sebagian berkoalisi dengan partai dan kelompok non-kiri, sebagian lagi masih eksis, meskipun sangat terbatas pengaruh idologi-politiknya.

Penulis Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.