1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Komisaris Tinggi HAM yang Baru

1 September 2008

Navanethem Pillay sudah pernah bekerja sebagai hakim. Termasuk pada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Senin (01/09) dia memulai tugasnya sebagai Komisaris Tinggi HAM.

https://p.dw.com/p/F8mn
Navanethem «Navi» Pillay, Komisaris Tinggi HAM yang baruFoto: picture-alliance/dpa

Ketika Michele Montas, jurubicara Sekjen PBB Ban Ki Moon mengumumkan nominasi dirinya, Navanethem Pillay yang berusia 66 tahun terpana. Dengan rendah hati dikatakannya, dia hampir tidak dapat mempercayai pendengarannya. Padahal dia mempunyai kualifikasi terbaik. Seperti ditegaskan oleh Michele Montas:

"Dia terpilih setelah melalui proses pengkajian yang intensif dan sangat cermat."

Bagi Navanethem Pillay, hal-hal yang telah membentuk dirinya adalah masa kekuasaan rejim apartheid Afrika Selatan. Dia memiliki pemahaman dasar tentang apa artinya bila HAM dilanggar. Sebagai warga kelompok minoritas India, dia tidaklah punya arti apa-apa di negara kaum Boer yang rasialis. Dia merasa sebagai warga kulit hitam, dan warga kulit hitam itu tidak ada harganya, seolah bukan manusia. Demikian kata Navanethem Pillay mengenang masa lalunya. Kecuali perasaan keadilannya dan ambisinya yang besar, tidak ada pertanda sedikit pun, bahwa dia akan pernah memegang jabatan terpenting dalam PBB.

"Di kota kelahirannya Durban, dia merupakan perempuan pertama yang membuka kantor pengacara. Saat itu umurnya baru 26 tahun. Yang lebih istimewa adalah bahwa dia kemudian bekerja di Mahkamah Internasional PBB."

Demikian dikatakan Tainé Bien-Aime, direktur organisasi perempuan internasional "Equality Now" - 'Kesetaraan Sekarang'. Pillay adalah juga salah seorang pendiri organisasi itu. Sebagai pengacara di Afrika Selatan dia membela tahanan politik, para penentang rejim yang berkuasa dan berulang kali juga perempuan. Selama bertahun-tahun paspornya dicabut. Tetapi dia tidak pernah menyerah. Hal mana sangat mengagumkan bagi kaummya.

Organisasi non pemerintah 'Human Rights Watch' juga memuji pemilihan Pillay. Memang ada pula keberatan, apakah dia nanti juga akan sama seperti pendahulunya Mary Robinson dari Irlandia dan Louise Arbour dari Kanada. Yaitu melakukan kecaman tanpa kompromi terhadap hal-hal yang buruk di matanya. Tetapi sebagai hakim dan sejak 1999 sebagai ketua Mahkamah Penjahat Perang di Ruanda, Navanethem Pillay telah membuktikan, bahwa dia menyebut nama penjahat secara terbuka, walaupun yang dimaksudkan itu adalah pemimpin sebuah negara. Berkat dia pulalah, perkosaan terarah kini disamakan dengan senjata dan kejahatan perang.

"Saya pikir dia adalah orang yang dapat melancarkan kritik secara terbuka terhadap pemerintahan, punya kemampuan yuridis untuk membela HAM dan hak perempuan. Tetapi juga memiliki citarasa diplomatis yang diperlukan untuk berhubungan dengan pemerintahan yang berdaulat dan dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan hukum bangsa-bangsa."

Kata Tainé Bien-Aime selanjutnya.

Boleh dikatakan dekat kampung halamannya sendiri, sekarang telah menanti tugas yang paling berat. Yaitu untuk menangani krisis di Zimbabwe yang belum terpecahkan dan yang di berbagai tingkat PBB juga menemui jalan buntu. (dgl)