1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisruh di Kirgistan

8 April 2010

Protes di Kirgistan akhirnya berujung pada perebutan kekuasaan oleh kalangan oposisi. Negara ini memang sejak dulu tidak stabil dan jadi ajang negara-negara besar berebut pengaruh.

https://p.dw.com/p/Mqa1
Pemrotes dengan bendera Kirgistan di depan gedung pemerintahan di BishkekFoto: AP

Mengenai perkembangan politik di Kirgistan, harian Jerman Süddeutsche Zeitung menulis:

Korupsi, jaringan kejahatan mirip mafia, klan-klan yang berkuasa, dinas rahasia yang kejam, parlemen yang lemah, pemerintahan yang dibenci dan kemiskinan – situasi di Kirgistan memang sangat buruk. Mengapa situasinya tidak berubah? Salah satu alasannya adalah kelompok oposisi yang terpecah-belah. Tidak ada pimpinan yang punya kharisma. Selain itu, negara miskin ini secara politis tergantung dari negara lain, yang juga ingin punya pengaruh dalam perkembangannya. Amerika Serikat perlu Kirgistan sebagai pangkalan militer, Rusia juga begitu, dan Cina punya kepentingan ekonomi yang cukup besar pada negara tetangganya. Ketiga negara besar ini tentu tidak mau menerima sebuah pemerintahan, yang tidak mewakili kepentingan asing.

Harian Italia Corriere della Sera menulis:

Bekas republik Soviet yang kecil di Asia Tengah ini sejak dulu sudah tidak stabil, tapi punya nilai strategis penting. Dengan adanya konflik di Afghanistan, Amerika Serikat berhasil menapakkan kaki di kawasan itu dan mendirikan pangkalan militer di Manas. Presiden Kurmanbek Bakijev menggunakan situasi dan memainkan kartu Amerika Serikat dan Rusia. Ia bisa menuntut pembayaran lebih tinggi dari Amerika Serikat untuk penyewaan Manas, setelah mengancam akan menutup pangkalan itu atas keinginan Rusia. Moskow mewajibkan diri memberi bantuan ekonomi senilai dua miliar Dollar. Tapi semua itu tidak membantu perekonomian negara itu. Masalah ekonomi akhirnya menyulut protes luas.

Tema lain yang jadi sorotan pers di Eropa adalah perjanjian pembatasan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Rusia, yang disebut perjanjian START dan ditandatangani oleh Barack Obama dan Dmitri Medvedev di Praha. Harian Belanda de Volkskrant menulis:

Presiden Obama bisa berargumentasi bahwa keputusannya akan meningkatkan tekanan kepada Iran dan Korea Utara. Kesepakatan baru yang ditandatangani oleh Obama dan rekan sejabatnya dari Rusia Medvedev memang bisa dipandang dari aspek itu. Makin kuat upaya adidaya atom mengurangi senjatanya, makin meyakinkan tuntutannya terhadap Iran agar membatasi ambisi nuklirnya. Ini adalah tugas mendesak. Karena yang penting adalah, bagaimana menghadapi bahaya nuklir di Timur Tengah. Satu bom atom Iran jauh lebih berbahaya daripada seratus bom atom di Wyoming atau di Ural.

Harian Hungaria Nepszabadsag berkomentar:

Amerika Serikat dan Rusia menyimpan 95 persen senjata nuklir yang ada di dunia. Perjanjian START adalah hasil pemikiran, bahwa abad ke-21 membutuhkan tata politik dunia yang baru, di mana negara-negara adidaya lebih banyak menggunakan kekuatan kata-kata dan melakukan sesuatu melawan adu persenjataan. Dengan perjanjian yang baru ini, negara-negara itu akan lebih mudah membentuk koalisi ketika menghadapi ancaman teroris atau negara-negara yang tidak bertanggung jawab. Misalnya ketika menghadapi ancaman Iran dan gertakan senjata atomnya.

HP/ZER/dpa/afp