1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika RSPO Telantarkan Petani Kecil Sawit

29 Maret 2018

Sertifikasi sawit berkelanjutan gagal merangkul petani kecil lantaran ongkos yang kelewat mahal. Namun tanpa RSPO yang menjanjikan akses pasar yang lebih luas, para petani itu terjerembab dalam lingkaran setan kemiskinan

https://p.dw.com/p/2vAy2
Sumatra - Palmöl Anbau
Foto: WWF/J. Morgan

Ketika petani sawit Isnin Kasno pensiun, ketiga anaknya memilih hengkang dari perkebunan kecil di selatan Johor, Malaysia, yang telah menghidupi keluarga selama berpuluh tahun. Seperti kebanyakan petani tua lain, pria berusia 58 tahun itu kesulitan menyambung hidup dari uang yang didapat dari lahan seluas 2 hektar miliknya itu.

Anak-anaknya yang telah dewasa tidak berniat melanjutkan pekerjaan kasar di perkebunan. "Hal ini membuat saya sedih," ujar Kasno yang mulai membudidayakan sawit pada 1983. "Sebentar lagi saya tidak akan lagi kuat membantu panen. Satu-satunya pilihan adalah menyewakan perkebunan saya," kata dia.

Ada lebih dari dua juta petani kecil di Malaysia dan Indonesia dengan luas perkebunan mencapai 5,6 juta hektar. Setiap tahun mereka menyumbang hampir 40% dari total kapasitas produksi sawit kedua negara. Namun di tengah tekanan kelompok lingkungan yang memaksa produsen besar merombak skema bisnisnya agar lebih manusiawi dan ramah lingkungan, para petani kecil dibiarkan tertinggal.

Saat ini hanya 78.000 petani kecil yang memiliki sertifikat sawit berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Perkara terbesar adalah mahalnya ongkos produksi untuk memenuhi kriteria RSPO. Tanpa sertifikat tersebut, para petani kesulitan mengakses pasar yang lebih luas buat menjual produknya.

Petani kecil di Indonesia dan Malaysia acap hidup dalam kemiskinan, antara lain karena minimnya pendidikan dasar, klaim perwakilan industri sawit kepada Reuters. Dengan rata-rata luas lahan antara 2 hingga 7 hektar, mereka juga kesulitan mencetak keuntungan karena tidak mampu membeli pupuk terbaik atau menggunakan metode teranyar untuk menggandakan hasil panen. Akibatnya produktivitas petani kecil jauh tertinggal dibandingkan rata-rata industri.

Terlebih di musim hujan, penghasilan petani sawit seringkali anjlok sehingga memaksa mereka memangkas gaji buruh atau anggaran pembelian pupuk. Kebanyakan tidak mampu membeli asuransi buat melindungi hasil panen dari cuaca ekstrim. Ditambah dengan harga sawit yang fluktuatif, nasib petani kecil makin terombang-ambing.

Sekitar 25 tahun silam membudidayakan kelapa sawit masih dianggap jalan menuju kemakmuran. Namun masuknya pemodal besar membuat sawit menjadi "mimpi palsu" buat kebanyakan petani kecil, kata Marianne Martinet dari The Forest Trust, sebuah organisasi lingkungan. "Tantangan utamanya saat ini adalah rendahnya produktivitas kebun dan kemampuan finansial para petani buat mengelola bisnisnya."

"Kita membutuhkan lebih banyak sumber daya untuk membantu petani kecil karena mereka memegang bagian besar pada kue sawit. Tugasnya tidak ringan. Tapi kita harus memulainya," kata Carl Bek-Nielsen, Direktur United Plantation, perusahaan sawit yang beroperasi di Malaysia dan Indonesia.

rzn/yf (Reuter)