1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Kesunyian dalam Menghadapi Kematian

19 November 2020

Di masa pandemi corona gambaran tentang kematian yang menyedihkan di masa peperangan seolah bangkit kembali. Para pakar mendiskusikan perubahan budaya perpisahan itu dari sudut pandang spiritual.

https://p.dw.com/p/3lY9y
Gambar simbol corona dan kematian
Gambar ilustrasiFoto: picture-alliance/dpa

Pandemi corona telah membawa persoalan kematian kembali ke dalam pemikiran masyarakat. Budaya perpisahan lewat kematian kini terlihat berbeda.

Mungkin, tidak ada manusia yang ingin mati sendirian, dalam artian tidak ada yang peduli padanya. Tetapi pembatasan atau karantina bahkan isolasi total menjadi bagian dalam keseharian masyarakat yang wilayahnya digerogoti virus corona. Dan wabah itu tersebar di banyak negara. Pembatasan kesehatan untuk menghindari sebaran virus corona terutama dilakukan di fasilitas perawatan dan unit perawatan intensif rumah sakit sejak karantina wilayah atau lockdown pertama diberlakukan. Apakah hal itu harus terulang lagi sekarang? 

Diskusi panel lewat sambungan internet di Museum für Sepulkralkultur, Kassel yang digelar Selasa (16/11) malam lalu membahas masalah perpisahan lewat kematian yang terjadi di masa pandemi corona. Diskusi panel online ini diikuti oleh  para pakar dari berbagai agama dan profesi. Mereka ingin menambahkan nilai yang lebih tinggi pada budaya perpisahan.

"Kematian adalah fase kehidupan yang  sangat signifikan," kata peneliti masalah usia dari Heidelberg, Andreas Kruse. Meninggalkan dunia ini dalam pengertian sebagai persiapan untuk "transisi" adalah salah satu hal terbesar yang dialami seseorang, ajarnya.

Anda tidak bisa hanya melihat proses fisiknya, tegas Kruse. Dari seringnya berurusan dengan orang yang sakit parah, dia tahu bahwa orang yang sekarat mengembangkan kesadaran yang lebih jauh tentang bagaimana mereka berpikir bahwa jiwanya berbeda dengan tubuh. "Anda tidak percaya betapa banyak orang yang merasakan hal itu di akhir hidup mereka," kata ahli gerontologi (ilmu tentang orang lanjut usia) tersebut.

Orang yang sekarat ingin berbicara tentang pertanyaan spiritual seperti itu, tegas Kruse, yang melihat komunitas religius di masa pandemi ini berada dalam "ujian besar".

Karena begitu banyak hal yang terjadi dalam jiwa seseorang dalam proses kematian, maka kerap kali diserukan untuk bisa berbagi perasaan kepada orang lain, tambahnya.

Orang yang sekarat berusaha bersuara, papar Kruse lebih lanjut. "Jika semua ini gagal, momen sentral dalam proses kematian rasanya tidak terpenuhi," tegas Kruse, yang merupakan anggota Dewan Etika Jerman. Mati sendirian berarti "tidak benar-benar mampu menjalani seluruh proses psikologis dan spiritual, yang merupakan inti."

Direktur Museum für Sepulkralkultur, Dirk Pörschmann, menanggapi ucapan Kruse dengan kata-kata: "Kemudian dalam pandemi corona ada drama pribadi di banyak tempat."

"Ironi takdir yang buruk"

Sekretaris Jenderal Volksbundes Deutsche Kriegsgräberfürsorge (Komisi Makam Perang Jerman), Daniela Schily, sebelumnya telah menunjukkan bahwa kematian di zaman corona terkadang mengingatkan pada kematian korban, termasuk prajurit yang begitu menyedihkan dan kesepian dalam Perang Dunia II. 

Ini adalah "ironi takdir yang buruk" bahwa justru generasi yang lebih tua yang paling terpengaruh, mengingat mereka pernah mengalami kengerian masa perang, ketika dulu masih sebagai seorang anak di zaman perang. Sangatlah penting untuk melawan bahaya bahwa orang-orang ini bakal "meninggalkan kita tanpa bantuan".

Pakar teologi Katolik. Andreas Lob-Hüdepohl menunjukkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Infeksi saat ini secara eksplisit memberi pemimpin agama akses kepada orang-orang yang terpaksa "berpisah"karena infeksi. 

Komunitas religius juga harus "menuntut" hal ini, tegas Lob-Hüdepohl, yang juga anggota Dewan Etika Jerman. Kadang-kadang seseorang masih bisa bertahan tanpa harus datang secara fisik ke kebaktian gereja di akhir pekan, tetapi berat untuk tidak bisa bertemu orang-orang di rumah sakit dan panti jompo. "Hal itu sebenarnya layanan nyata saat ini," kata Lob-Hüdepohl, yang merupakan seorang profesor di Perguruan Tinggi Katolik untuk Bidang Ilmu Sosial di Berlin dan juga anggota Komisi Justitia et Pax Jerman.

Tidak terkecuali dalam Islam

Teolog muslim asal Paderborn, Muna Tatari menunjukkan bahwa dalam agama Islam pun, pendampingan spiritual sangat penting dalam proses kematian dan kerabat biasanya hadir. 
Dengan membaca teks Alquran dan berdoa, orang yang bersangkutan ingin bisa "merasakan hadirat Tuhan". Banyak hal penting yang melekat pada fakta bahwa keluarga yang terkena dampak kematian jangan pernah dibiarkan merasa ditinggalkan sendirian.

Peneliti usia Kruse juga menekankan: "Tidak ada satu manusia pun yang adalah pulau bagi dirinya sendiri” - yang artinya setiap manusia adalah bagian dari komunitas, setiap individu membutuhkan yang lainnya. Komunitas itu penting, dalam hidup dan mati.

 

ap/vlz(kna, berbagai sumber)