1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Kesetaraan dan Kesehatan Untuk Perempuan Hindia

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
9 Januari 2021

Charlotte tadinya satu-satunya apoteker perempuan di Hindia. Ia kemudian mengangkat derajat kaum perempuan sesamanya, Eropa maupun pribumi, lebih jauh dalam urusan kesehatan saja, tetapi juga untuk aspek politiknya.

https://p.dw.com/p/3mkea
Charlotte Jacobs
Menembus batas rasial, memajukan kaum perempuan.

Setiap minggu kapal dari Belanda berlabuh di Tanjung Priok, Batavia. Sebagian penumpangnya sekadar berpelesir untuk menikmati eksotisnya Hindia Belanda, banyak pula yang berniat menetap untuk merasakan pundi-pundi kemakmuran tanah jajahan. Namun, ada juga yang pergi meninggalkan Hindia dengan penuh melankoli, dan itu hanya dirasakan oleh sebagian dari mereka yang telah hidup dengan sebenar-benarnya selama di sana; tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga bagi orang-orang sekitarnya. Menurut Bataviaasch Nieuwsblad, koran terbesar Hindia saat itu, seorang Charlotte Jacobs adalah salah satunya.

Dalam sebuah artikel tanggal 19 Maret 1913, koran tersebut menyampaikan salam perpisahannya kepada Charlotte yang disebut telah sukses berkiprah di Hindia selama 30 tahun lamanya, juga meninggalkan kesan baik bagi orang-orang yang harus berpisah dengannya. Ia memang sosok menonjol, dalam jangka waktu lama Charlotte adalah satu-satunya apoteker perempuan di Hindia. Pengaruh tersebut tidak hanya digunakannya untuk mengangkat derajat kaum perempuan sesamanya, Eropa maupun pribumi, lebih jauh dalam urusan kesehatan saja, tetapi juga untuk aspek politiknya.

Memasuki abad ke-20, apa yang dikenal dengan kebijakan Politik Etis tidak hanya secara khusus memberikan kesempatan mobilitas sosial laki-laki pribumi priyayi dan terpelajar, namun juga bagi laju aspirasi-aspirasi perempuan di tanah jajahan. Charlotte, dengan idenya yang sejalan dengan visi emansipasi Kartini, menjadi salah satu tokoh utama dalam fenomena aktivisme perempuan dan reformasi kesehatan Hindia kala itu.

Rahadian Rundjan, sang penulis.
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Memperjuangkan Perbaikan Nasib Perempuan Eropa dan Pribumi

Keluarga Jacobs berasal dari Sappemeer, desa kecil di provinsi Groningen. Sang ayah, Abraham Jacobs, adalah seorang dokter berdarah Yahudi dengan 11 anak. Ia meneruskan tradisi intelektual ke anak-anak perempuannya. Charlotte adalah anak perempuan pertama. Dua saudarinya, Aletta dan Frederika, kelak akan menjadi tokoh pemula keterlibatan perempuan dalam pendidikan sains modern Belanda; Aletta menjadi dokter perempuan pertama, Frederika menjadi perempuan pertama yang mengikuti ujian matematika dan akutansi di sekolah menengah Belanda (HBS).

Charlotte lahir pada 13 Februari 1847, masa-masa ketika konservatisme masih kuat membelenggu perempuan. Nasib perempuan di tanah induk saat itu tidak lebih baik dari perempuan pribumi di Hindia. Urusan perempuan hanya ada di lingkup rumah, dan menikah, mempersembahkan diri kepada suami, menjadi takdir alami bagi mereka pada akhirnya. Charlotte, Aletta, dan Frederika, mendobrak tradisi tersebut. Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Charlotte sendiri melanjutkan studi di Universitas Groningen. Pada 1881 ia mengikuti ujian negara di Amsterdam untuk mendapatkan gelar apoteker, dan berhasil.

Di Belanda saat itu, apoteker perempuan sudah bukan pemandangan langka namun profesi ini masih didominasi laki-laki. Charlotte kemudian bekerja sebagai apoteker di rumah sakit umum di Utrecht sampai 1884, sebelum akhirnya memutuskan pergi ke Hindia. Mulanya, ia dipekerjakan koleganya di Javasche Apotheek di Batavia. Tahun 1890, ia memilih untuk membuka apoteknya sendiri di daerah Menteng, the Nederlandsche Apotheek, menjadikannya apoteker perempuan pertama di Hindia. Ia mengelolanya dengan kebijakan tidak biasa: Charlotte hanya mempekerjakan perempuan di apoteknya.

Profesi apoteker di Hindia memang menjadi krusial seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Pemerintah kolonial memberi perhatian lebih kepada apotek-apotek, terutama untuk mengurus logistik obat-obatan, baik yang diminta dokter-dokter di tanah induk maupun di tanah jajahan yang dianggap menjadi kunci untuk mensukseskan proyek-proyek peningkatan taraf kesehatan masyarakat luas sebagai salah satu aspek kebijakan Politik Etis. Beban kerja dan posisi penting itu sampai membuat Charlotte tidak bisa pulang kampung selama 30 tahun ia mengelola apoteknya.

Namun, koneksi Charlotte dengan kampung halaman tidak pernah putus. Ia tahu di Belanda kaum perempuan tengah berkonsolidasi memperjuangkan haknya untuk bersuara. Motor gerakan feminis tersebut adalah saudarinya sendiri, Aletta. Selain menjalankan praktik dokternya, Aletta menulis banyak artikel dan lobi-lobi sosial-politik untuk mempromosikan perbaikan nasib perempuan, khususnya bidang kesehatan. Ia berperan dalam pembentukan organisasi emansipasi perempuan Vereeniging vor Vrouwenkiesrecht di Belanda, menjadi ujung tombak dan wajah gerakan tersebut di dunia internasional sejak 1903. Sedangkan di Hindia, peran tersebut disematkan kepada Charlotte.

Pada 1908, bersama Marie van Zeggelen, penulis perempuan yang mengidolakan Kartini, Charlotte mendirikan cabang Vrouwenkiesrecht di Hindia dan menjadi ketuanya. Namun, dalam artikelnya mengenai rapat perdana organisasi tersebut, Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan sebagian peserta justru “tidak merasa terlalu pintar dan terpelajar” untuk ikut berjuang. Ada juga yang secara naif bertanya apakah Charlotte “sebegitu tidak senangnya karena tidak memiliki hak pilih?”. Ada juga yang berpikir ketersediaan hak pilih bagi perempuan adalah ciri perempuan Inggris, yang tak perlu ditiru perempuan-perempuan Belanda.

Selama 1908-1913, Charlotte melebarkan sayap Vrouwenkiesrecht di Hindia. Rasa skeptis di awal tersebut nyatanya bertolak belakang dengan keanggotaan organisasi yang kian membesar. Namanya kini dikenal tidak hanya sebagai apoteker sukses, namun juga aktivis perempuan. Ia ingin perempuan Hindia tidak ketinggalan dalam menyambut tren feminisme Eropa. Perempuan perlu hak politik berupa hak pilih. Perempuan juga harus dibebaskan menjalani kemandirian hidupnya tanpa stigma. Contoh berhasilnya adalah dirinya sendiri; yang bisa sukses secara sosial dan ekonomi di tanah asing walau tak pernah menikah.

Visi kesetaraan Charlotte melewati batasan-batasan rasial. Pada 1912 ia mendirikan SOVIA, yayasan beasiswa bagi anak perempuan pribumi yang ingin belajar di STOVIA, yang saat itu hanya memprioritaskan menerima siswa laki-laki. SOVIA didirikan karena kekhawatirannya terhadap praktek dukun bayi yang kerap mengancam nyawa perempuan-perempuan pribumi saat melahirkan anaknya. Ia ingin praktek tersebut dikurangi dengan cara memperkenalkan ilmu kedokteran modern. Sebelumnya, Aletta sudah melobi Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk memperbolehkan perempuan-perempuan pribumi masuk STOVIA, dan rencana Charlotte akhirnya terlaksana.

Marie Thomas, putri Minahasa, menerima beasiswa tersebut dan menjadi siswa perempuan pertama STOVIA. Ia lulus menjadi dokter spesialis kandungan. Marie kemudian bertugas di Batavia, Cirebon, Manado, dan Bukittinggi, melayani pasien di desa-desa sekaligus mendidik bidan-bidan setempat untuk mengurangi praktek dukun bayi, selaras dengan visi Charlotte. Suksesnya Marie lantas membuka jalan bagi perempuan-perempuan pribumi lain untuk ikut memasuki sekolah-sekolah kedokteran kelak, sekaligus melahirkan generasi pertama dokter-dokter perempuan Indonesia.

Inspirasi Bagi Perempuan Indonesia

Setidaknya pada  tahun 1925 sudah terdapat 217 apoteker perempuan dan 1.695 asisten apoteker perempuan di Hindia, jumlah besar dibandingkan ketika Charlotte baru merintis usahanya di Batavia pada 1890 dahulu. Charlotte meninggal pada 31 Oktober 1916, meninggalkan warisan berupa yayasan dengan instruksi eksplisit: untuk membantu kelangsungan studi perempuan Belanda maupun pribumi Hindia. Yayasan ini, bernama Het Charlotte Jacobs Studiefonds, masih ada sampai sekarang. Dalam obituarinya, De Locomotief, menyanjung bahwa Charlotte hanya ingin “meninggalkan dunia yang lebih baik daripada ketika ia hidup dahulu.”

Hidup Charlotte Jacobs adalah lembaran sejarah feminisme. A.M. Jenowein sudah menulis biografi lengkap tentangnya yang layak dibaca; juga memperkaya narasi perempuan dalam khasanah sejarah kesehatan yang beberapa tahun belakangan populer bagi sejarawan-sejarawan Indonesia. Perempuan Indonesia kini memang sudah bisa mengekspresikan sikap politik, juga pilihan karirnya. Namun, tidak melupakan dan mempelajari kembali jejak tokoh-tokoh feminis yang berkiprah di tanah air ini, seperti Charlotte, tentu merupakan kunci yang akan membawa posisi dan talenta perempuan Indonesia ke tempat yang lebih terhormat lagi nantinya.

 

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.