1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKenya

Kenya: Protes Rencana Kenaikan Pajak, Gen Z Turun ke Jalan

Martina Schwikowski
26 Juni 2024

Setelah demonstrasi besar-besaran, Kenya akhirnya membatalkan sejumlah rencana kenaikan pajak dalam RUU Keuangannya. Pengamat menyebut ini pertama kalinya anak muda di Kenya memainkan peran penting.

https://p.dw.com/p/4hVmm
Anak muda dalam aksi protes di Kenya
Massa aksi demonstrasi di Kenya turun ke jalan sambil meneriakkan slogan antipemerintah dan membawa tulisan berisi kritik terhadap RUU KeuanganFoto: James Wakibia/ZUMA PRESS/picture alliance

Rancangan Undang-Undang (RUU) keuangan yang diusulkan pemerintah Kenya memicu terjadinya demonstrasi massal di jalanan Nairobi dan kota-kota lainnya.

Kelompok hak asasi manusia (HAM) menduga aparat menembakkan peluru tajam kepada para peserta aksi demonstrasi, yang berubah ricuh pada Selasa (25/06). Sejumlah jurnalis di lokasi melaporkan setidaknya ada tiga jenazah tergeletak usai tembakan dilepaskan.

Kemarahan atas rencana usulan kenaikan pajak lantaran krisis biaya hidup yang terjadi selama bertahun-tahun lah yang membuat para demonstran menyerbu dan membakar kompleks parlemen.

Rekaman video yang disiarkan kantor berita swasta Kenya, Citizen TV, menunjukkan petugas kepolisian berupaya memadamkan api dengan "water canon”.

Peserta aksi demonstrasi di Kenya
Pengunjuk rasa berlarian menyelamatkan diri saat gas air mata dilemparkan ke arah mereka, dalam sebuah protes untuk menentang RUU Keuangan 2024 yang diusulkan Pemerintah KenyaFoto: Boniface Muthoni/ZUMAPRESS/picture alliance

Gen Z turun ke jalan

Para demonstran pemberani yang berasal dari kelompok Gen Z (orang-orang yang lahir pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an) mengekspresikan kemarahan mereka terhadap pemerintah Kenya yang telah melimpahkan masalah negara kepada warganya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Kami sudah membayar pajak dan mereka tidak melakukan banyak hal dari pajak tersebut, mereka mencurinya. Jadi, bagaimana kami bisa percaya lagi dengan mereka?” kata seorang aktor dan kreator konten Makena Kahuha kepada DW.

Rasa kecewa juga disampaikan oleh pengunjuk rasa lain, Pamela Muriuki. "Mereka lebih memilih setia kepada pemerintah daripada para warga yang telah memilih mereka,” kata Pamela.

Berbanding terbalik dengan demonstrasi yang dipimpin oleh anggota partai oposisi, aksi protes kali ini dimotori oleh anak muda yang meneriakkan slogan antipemerintah dan membawa plakat yang berisi kritikan terhadap RUU tersebut.

Pemerintah turuti tekanan demonstran

Aksi protes ini berbeda dengan demonstrasi massa lainnya yang pernah terjadi di Kenya. Kali ini, anak muda mendokumentasikan bentrokan mereka dengan pihak kepolisian menggunakan ponsel dan mengunggahnya secara daring. Aksi ini mendapat momentum di media sosial dengan tagar #OccupyParliament.

Hasilnya, aksi demonstrasi ini cukup sukses. Pada Kamis sore, pemerintah mengumumkan bahwa mereka berencana membatalkan sejumlah aturan yang kontroversial dalam RUU itu, termasuk pajak pembelian roti dan kepemilikan mobil.

"RUU Keuangan telah diubah untuk menghapus pungutan 16% yang diusulkan untuk barang seperti roti, transportasi gula, layanan keuangan, transaksi valuta asing, serta pajak kendaraan bermotor 2,5%,” kata kantor kepresidenan Kenya dalam pernyataannya.

Dalam pernyataan itu juga dikatakan bahwa tidak akan rencana kenaikan biaya transfer uang via telepon seluler.

Pemerintah Kenya yang mengalami kekurangan finansial sebelumnya bersikeras menaikkan pajak untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Kenaikan pajak ini diproyeksikan bakal meningkatkan penerimaan negara sekitar 346,7 miliar shilling (setara Rp44 triliun), yang sebanding dengan 1,9% Produk Domestik Bruto (PDB) Kenya.

Aksi demonstrasi di Kenya
Seorang peserta aksi demonstran berusaha kabur dari cengkeraman petugas polisi di City Hall Way, NairobiFoto: Kanyiri Wahito/ZUMAPRESS/picture alliance

Kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai disorot

Wanjiru Gikonyo, yang menjabat sebagai Koordinator Nasional Institute for Social Accountability - sebuah inisiatif masyarakat sipil untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik - mengatakan bahwa sebagian besar aksi demonstrasi sejatinya berlangsung damai dan kaum muda bergerak tanpa bantuan politisi.

"Sayangnya polisi menggunakan kekerasan terhadap anak muda yang berdemonstrasi tentang UU yang paling penting bagi warga negara, yakni aturan pajak,” katanya kepada DW pekan lalu.

Ketika Perempuan Muda Klaim Jalan-Jalan Nairobi

Direktur eksekutif organisasi Amali, Zaha Indimuli, yang mendukung pemberdayaan kaum muda dan mendorong pembangunan nasional, pun mengatakan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab jika mereka menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai.

"Kenapa Anda menembakkan gas air mata kepada orang-orang yang memberikan masukan kepada Anda? Itu biasa-biasa saja, dan itu juga menunjukkan ketidakdewasaan di dalam pemerintahan," katanya kepada DW.

"Mereka seharusnya duduk bersama orang-orang yang menempatkan mereka di sana dan memperbaiki masalah di dalam negeri, bukan berkeliling dunia," ujarnya, merujuk kepada Presiden William Ruto.

Awal mula aksi protes

Pada Kamis (20/06) lalu aksi demonstrasi nasional pecah di Kenya. Masyarakat menentang rencana pemerintah untuk menaikkan pajak demi menutupi defisit anggaran. Para demonstran menuntut agar RUU Keuangan tersebut dibatalkan, karena dianggap dapat melemahkan perekonomian dan membuat harga kebutuhan pokok melonjak.

Pada Jumat (21/06), pihak kepolisian dan koalisi gabungan organisasi HAM melaporkan satu orang tewas dan 200 lainnya mengalami luka-luka. Amnesty International Kenya kemudian menduga setidaknya ada 100 orang yang ditahan dalam aksi protes ini.

(mh/gtp)