1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Rusia Mendekati Taliban?

Mikhail Bushuev
5 Juni 2024

Hadirnya Taliban di Forum Ekonomi St. Petersburg dilatari pernyataan otoritas Rusia, yang mencetuskan ide mencabut label organisasi teror pada penguasa baru Afganistan, yang akan melapangkan jalan bagi pengakuan resmi.

https://p.dw.com/p/4gfV3
Delegasi Taliban di Moskow, Rusia
Delegasi Taliban dalam sebuah pertemuan di Moskow, Rusia, Oktober 2021Foto: Sergei Bobylev/TASS/dpa/picture alliance

Ketika pertama kali diundang berkunjung ke Forum Ekonomi St. Petersburg pada tahun 2022 silam, kehadiran delegasi Taliban dengan pakaian tradisional Peran o Tunban di Eropa sempat menyita perhatian dunia internasional. Dua tahun kemudian, gerakan radikal Islam itu kembali mengirimkan perwakilannya ke acara yang berlangsung sejak Rabu (5/6) hingga Sabtu (8/6) mendatang.

Hanya bedanya, kali ini lawatan Taliban tidak lagi mencolok, jika tidak ada surat dari Kementerian Kehakiman dan Kementerian Luar Negeri Rusia kepada Presiden Vladimir Putin, yang menyarankan mencabut status kaum militan etnis Pashtun itu dari daftar organisasi teror. Putin tidak banyak berkomentar di depan publik, kecuali bahwa diperlukan "hubungan diplomatik" dengan Taliban sebagai "pemerintah Afganistan."

"Patut diperhitungkan bahwa Moskow akan meminta imbalan dari Taliban", kata Hans-Jakob Schindler, pakar Timur Tengah dari organisasi internasional untuk penanggulangan ekstremisme terorisme, Counter Extremism Project (CEP). Tapi menurutnya, "Taliban sangat terbuka dalam menerima bantuan, tapi menjadi rumit jika sudah menyangkut imbalan dari mereka."

Menurut pakar Afganistan di Jerman, Thomas Ruttig, inisiatif Kremlin merupakan bagian dari "taktik salami, yakni dengan langkah kecil menuju pengakuan eesmi, yang pastinya akan menggembirakan Taliban."

Organisasi teror jadi aktor negara?

Menurut kedua pakar itu, pencabutan Taliban dari daftar organisasi teror membuka peluang bagi pengakuan resmi oleh Rusia. Kedua pihak terpantau sudah memadu kontak sejak tahun 2015. Selain itu, kuat dugaan bahwa Rusia memasok senjata ke Afganistan. Moskow memadu hubungan resmi dengan Taliban sejak Maret 2022, enam bulan setelah Taliban merebut ibu kota Kabul.

Taliban sudah pernah menguasai Afganistan selama lima tahun antara 1996, di puncak perang saudara, hingga 2001, menyusul invasi Amerika Serikat sebagai buntut serangan teror 11 September di New York. Selama berkuasa, Taliban dikenal ekstrem dalam menjalankan hukum Islam, dan acap membanjiri laman surat kabar dunia dengan foto eksekusi rajam atau hukuman gantung di hadapan publik.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Emirat Islam di Kabul juga mencatatkan sejarah pada tahun 2001, ketika meledakkan patung Buddha berukuran raksasa yang dipahat di bukit Lembah Bamiyan hampir 1.500 tahun silam. Penghancuran terhadap benda sejarah di Afganistan itu diklaim sebagai bagian dari hukum Islam yang melarang berhala. Sejak awal hingga akhir, proses peledakan diiringi kecaman dan ratapan dunia internasional.

Buntutnya pada tahun 2003, Rusia mengumumkan Taliban sebagai organisasi terlarang, mengikuti jejak Amerika Serikat dan Uni Eropa yang sudah lebih dulu menyematkan label terorisme.

Namun ketegasan tersebut meluruh seiring kembalinya Taliban sebagai penguasa de facto Afganistan. Pada Senin (3/6) kemarin, Kazakhstan, yang berbatasan dengan Rusia, menjadi negara pertama yang mengumumkan pencabutan status teroris bagi Taliban.

Rusia dipercaya bisa mengumumkan langkah serupa pada Forum Ekonomi St. Petersburg, kata sejumlah pakar. "Kremlin saat ini menghadapi dilema," kata Hans-Jakob Schindler, yang menilai pengakuan sebagai "manuver yang kurang bijak," jika tanpa lebih dulu menuntut imbalan dari Taliban.

"Tapi di sisi lain, Rusia pun tidak bisa menjalin kerja sama ekonomi dengan organisasi yang masih tertera di daftar teroris nasional," imbuhnya.

Taliban's poor response to flash floods criticized

Perdagangan lapangkan kedekatan

Schindler melihat pemulihan hubungan Rusia dengan Taliban sebagai langkah politik dengan risiko yang terukur bagi Rusia. "Apakah Taliban sekarang dihapus dari daftar teror nasional Rusia atau tidak, relatif tidak relevan selama Dewan Keamanan PBB di New York masih mencantumkan Taliban ke dalam daftar sanksi, yang mengikat secara hukum” bagi Rusia, kata dia.

Agar tidak melanggar sanksi PBB, Rusia, menurut informasi DW dari sumber terbuka, mengundang perwakilan Taliban dalam kapasitas pribadi ke St. Petersburg.

Menurut para pakar, relasi informal antara kedua pihak menanamkan pondasi bagi pertukaran ekonomi. Pemerintah Rusia menyebutkan, nilai perdagangan antarnegara meningkat lima kali lipat pada tahun lalu saja dan melampaui angka USD1 miliar, kata Schindler. "Penjualan satu miliar dolar AS sangat besar bagi perekonomian Afganistan, tetapi relatif tidak signifikan bagi perekonomian Rusia," imbuhnya.

Pemulihan hubungan dengan Taliban adalah ekspresi dari strategi kebijakan luar negeri Rusia dan Cina, kata Thomas Ruttig. Setelah hengkangnya NATO dari Afganistan, kedua negara berusaha mengikat Taliban ke dalam poros anti-Barat.

Faktor ekonomi berperan besar, kata Hans-Jakob Schindler. Dia berasumsi "bahwa terdapat berbagai macam bahan baku strategis di Afganistan yang dapat dieksploitasi dalam jangka panjang jika Afghanistan distabilkan dan infrastruktur yang memadai bisa dibangun.”

Namun Thomas Ruttig menambahkan, Afganistan bukan negara prioritas dalam kebijakan luar negeri Rusia, meski Moskow ingin ikut memetik keuntungan dalam pembangunan ekonomi di Hindukush.

Afghanistan: Girls still banned from secondary school

Taliban sebagai sekutu melawan teror?

Bagi dunia internasional, Taliban saat ini adalah satu-satunya mitra untuk menjamin stabilitas keamanan di Afganistan, di tengah kebangkitan organisasi teror Islamic State Khorasan, ISK.

Organisasi pecahan Islamic State di Irak dan Suriah, ISIS, itu mengklaim diri bertanggung jawab atas serangan teror terhadap sebuah mal di Moskow pada 22 Maret silam, yang menewaskan lebih dari 130 orang. "Insiden tersebut menghidupkan ketertarikan otoritas Rusia untuk bekerja sama dengan penguasa Kabul," kata Ruttig.

Namun, kedua pakar memiliki penilaian berbeda mengenai sejauh mana Taliban dapat membantu Moskow membendung ancaman teroris. Ruttig menekankan bahwa Taliban giat memerangi "ISIS.”

Sementara Schindler percaya bahwa Moskow mengalami "kesalahpahaman yang sama seperti banyak orang di Barat" bahwa Taliban merupakan musuh alami ISIS di Provinsi Khorasan. Hal ini tidak benar, karena banyak anggota ISK adalah mantan Taliban yang membelot karena kedekatan ideologi. Schindler menyimpulkan, Taliban harus "menyeimbangkan” perang melawan "terorisme jika ingin mempertahankan kekuasaan.

rzn/as