1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kemiskinan Membuka Ruang Perkawinan Anak

18 September 2019

DPR sahkan RUU Perkawinan yang menaikkan batas minimal usia nikah perempuan dari 16 menjadi 19 tahun. Seberapa penting perubahan ini bagi perempuan? Wawancara dengan komisioner Komnas Perempuan soal UU Perkawinan.

https://p.dw.com/p/3PlpD
Bildergalerie Matrilinearität Minangkabau
Foto: imago/HBLnetwork

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-Undang. Kini, Undang-Undang tersebut menyepakati batas usia minimum menikah untuk laki-laki dan perempuan yakni sama, menjadi 19 tahun. Ini merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang memberikan tenggat waktu tiga tahun kepada DPR untuk mengubah ketentuan batas usia menikah yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan. Sebelumnya, tertulis batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Seberapa penting faktor usia dalam sebuah perkawinan? Apa saja dampak dari pernikahan di usia muda? Wawancara DW Indonesia dengan Nina Nurmila, komisioner Komnas Perempuan terkait UU Perkawinan.

Deutsche Welle: DPR telah mengesahkan  Revisi Undang-Undang Perkawinan yang menaikkan batas minimal usia nikah perempuan dari yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Bagaimana tanggapan Anda sebagai komisioner Komnas Perempuan?

Nina Nurmila: Pertama, kita harus mengapresiasi dulu DPR sudah menaikkan usia nikah anak perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, hingga sekarang tidak ada lagi perbedaan umur perkawinan antara laki-laki dan perempuan sama-sama 19 tahun. Walaupun Komnas Perempuan sendiri merekomendasikan menikah itu minimal 21 tahun, dengan pertimbangan walaupun definisi anak itu sampai dengan 18 tahun tapi akan lebih baik sebelum menikah itu punya kesiapan baik secara fisik, pendidikan, ekonomi, psikologis supaya pernikahannya kuat tidak rentan terhadap stres karena belum begitu matang dari segi emosional.

Indonesien Prof. Dra. Nina Nurmila
Komisioner Komnas Perempuan, Nina Nurmila.Foto: Privat

Apa dampak negatif bagi perempuan yang menikah di usia muda?

Dari segi fisik atau kesehatan, anak perempuan itu lebih sehat untuk melahirkan setelah umur 20 tahun, pinggulnya lebih berkembang. Ini dapat mengurangi masalah stunting, karena ketika anak sedang dalam masa pertumbuhan kemudian dia hamil, mereka rebutan gizi. Ada kemungkinan jika di bawah usia 20 tahun itu bayi yang lahir dari anak-anak itu lahir underweight atau stunting. Kita Komnas Perempuan inginnya 21 tahun.

Mengapa demikian?

Selain alasan bahwa perlu kesiapan lebih lanjut, setelah keluar SLTA perempuan bisa memenuhi atau mengakses hak ekonomi, sosial, politik, budaya, dan penididkan. Usia 21 itu sebetulnya sudah merupakan usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan juga, pasal 6. Kemudian di bawah usia 21 tahun perlu izin orang tua. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sudah mengidealkan usia nikah 21 tahun. Menurut saya 19 tahun masih muda sekali, belum siap apa-apa untuk menikah. Undang-Undang itu dibuat pada tahun 1974, sekarang tahun 2019, zamannya sudah berbeda. Usia 19 tahun itu very early.

Hingga saat ini masih banyak dijumpai kasus pernikahan di bawah umur, mengapa?

Ini tantangan bagi pemerintah karena memang ada saja pernikahan anak terutama di daerah. Pernikahan anak itu menunjukkan kesenjangan akses kepada fasilitas fisik terutama pendidikan. Karena kalau pemerintah bisa mengupayakan akses yang sama terhadap pendidikan, misalnya wajib belajar 9 tahun, itu anak-anak sampai usia 19 tahun dia tamat SLTA. Dia (orang tua) selesai mengantarkan (kewajiban) pendidikan. Kadang-kadang kemiskinan membuat orang ingin cepat-cepat terlepas dari beban memberi makan anaknya. Itu sebetulnya membuka rentan ruang terhadap terjadinya kawin anak. Padahal kawin anak itu bentuk kekerasan seksual. Anak itu ya anak-anak, belum bisa memberikan persetujuan berhubungan seksual.

Adakah kemungkinan terjadinya kekerasan rumah tangga dalam pernikahan usia muda?

Sangat mungkin, karena mereka masih anak-anak. Mereka belum tahu tanggung jawab. Saat menikah, suami berharap agar diurus oleh istrinya. Kemudian karena dia (istri) masih anak-anak, maunya main, akhirnya bertengkar. Ketika bertengkar terjadi pemukulan dan sebagainya. Anak-anak masih belum tahu tanggung jawab yang harus mereka lakukan.

Baca juga: Komnas Perempuan: Hukum Jarang Berpihak Pada Perempuan

Bagaimana jika dari pihak anak yang menginginkan adanya pernikahan tersebut?

Kebanyakan kasus pernikahan muda itu karena MBA (married by accident), dia sudah hamil duluan. Di sini penting bagi guru-guru dan orang tua mengajarkan tentang kesehatan reproduksi. Jadi anak-anak tahu apa yang tidak boleh dilakukan sebelum menikah. Dengan pendidikan kesehatan reproduksi tentang fungsi tubuh, bahwa persetubuhan bisa menimbulkan kehamilan, mereka jadi menghindar untuk melakukannya. Tapi selama ini ketika kita mengatakan pendidikan kesehatan reproduksi atau pendidikan seksual dikiranya kita mengajarkan orang untuk bersetubuh. Bukan, tetapi justru mengajarkan tentang fungsi tubuh dan apa yang menyebabakan sebuah kehamilan supaya mereka tidak melakukan hubungan seksual seblum menikah.

Sosialisasi apa yang mungkin bisa dilakukan pemerintah dan Komnas Perempuan? 

Edukasi-edukasi dengan misalnya banner-banner di rumah sakit, sekolah-sekolah. Peran sekolah penting utnuk mensosialisasikan batas usia nikah minimal bagi perempuan dan laki-laki. Anak-anak usia tersebut ada di bangku SLTP dan SLTA. Bagus ada pemberithauan seperti itu di sekolah-sekolah, jadi orang-orang tahu dan anak-anak yang dipaksa nikah oleh orang tuanya bisa menunjukkan kepada orang tuanya, "Di sekolah aku ada pemberitahuan usia nikah minimal 19 tahun,” atau di TV iklan layanan masyarakat dan banyak tempat layanan publik seperti  public transport dan sekolah-sekolah.

Prof. Dra. Nina Nurmila, MA, PhD merupakan akademisi Fakultas Pendidikan dan Pengajaran Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Nina Nurmila adalah salah satu komisioner Komnas Perempuan, sebuah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia.

Wawancara dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks. (hp)