1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebohongan Polisi Inggris

18 Agustus 2005

Sorotan harian-harian internasional kembali diarahkan ke London. Terutama menyoroti ketidakbecusan dan kebohongan polisi Inggris dalam drama penembakan warga Brazil Jean Charles de Menezes setelah peristiwa serangan teror di London.

https://p.dw.com/p/CPND
Spanduk mengecam pembunuhan Menezes
Spanduk mengecam pembunuhan MenezesFoto: AP

Harian Inggris The Independent menulis, pengerahan polisi Inggris untuk mengatasi teror, sejak awal memang tidak profesional.

"Pengamatan flat dimana Menezes tinggal tidak profesional. Pasukan komando pembunuh datang terlambat ke stasiun kereta bawah tanah. Akan tetapi yang lebih busuk adalah kebohongan yang dipublikasikan secara luas setelah itu. Banyak rincian peristiwa yang diumumkan polisi, samasekali tidak benar. Fakta sebenarnya, Menezes berpakaian dan berperilaku normal. Ini bukan hanya contoh yang sangat memalukan, menyangkut ketidakbecusan polisi, akan tetapi juga merupakan usaha sinis yang sudah diperhitungkan untuk merahasiakan kondisi yang sebenarnya. Peristiwa ini merupakan ujian berat pertama bagi Ian Blair sebagai kepala polisi. Yang menyedihkan, ternyata ia tidak lulus."

Sementara harian Spanyol El Pais menulis, polisi Inggris sudah tidak becus masih berbohong pula.

"Pengakuan polisi London bahwa mereka melakukan kekeliruan, dalam kasus penembakan Menezes, memang sudah tepat. Akan tetapi, kini semua orang juga mengetahui, bahwa keterangan resmi menyangkut jalannya peristiwa, ternyata penuh dengan kebohongan. Mula-mula, akibat ketidakbecusan, terjadi kesalahan mematikan. Dan setelah itu, dilakukan kebohongan, untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Hal seperti itu, amat fatal bagi kepercayaan terhadap aparat keamanan, yang sekarang ini, dalam zaman perang melawan terorisme, amat penting peranannya. Dalam situasi ekstrim, publik memang masih memaafkan kesalahan dan ketidak becusan polisi. Akan tetapi, pasti tidak akan memaafkan kebohongan."

Sedangkan harian Norwegia, Aftenposten mengomentari kasus itu sebagai berikut :

"Ditembak matinya seorang warga yang tidak berdosa memang mengerikan. Tapi, dengan menimbang situasi yang tegang, setelah rangkaian serangan teror, hal itu masih dapat dimaafkan. Tapi, yang tidak dapat dimaafkan dan dimengerti, adalah kebohongan untuk menutupi ketidak becusan polisi. Kasus itu menunjukan, betapa berbahayanya perintah “tembak dulu, tanya belakangan“. Politik semacam ini, tidak ada dalam tradisi kepolisian Inggris. Dan seharusnya tetap tidak ada, walaupun terdapat ancaman teror."

Berikutnya adalah sorotan terhadap politik Irak dari pemerintahan AS. Setelah rangkaian serangan bom terbaru di Bagdad, harian The New York Times kembali menggugat politik Irak dari pemerintahan George W.Bush.

"Jika seluruh bangsa, memang benar-benar memiliki kepentingan serius di Irak, seharusnya presiden Bush tidak hanya bersenang-senang di peternakan pribadinya, sepanjang libur musim panas ini. Mestinya, ia bekerja di Gedung Putih hingga malam hari, untuk menyelamatkan tentaranya di Irak, dari kepungan bahaya. Akan tetapi, kenyataannya berbicara lain. Ketika Bush bersukaria naik sepeda di peternakan pribadinya, tentara AS harus tewas di Irak. Kebanyakan adalah serdadu dari keluarga biasa, yang harus menjadi korban perang. Karena itu, amat gampang melupakan dan tidak peduli akan nasib tentara AS di Irak. Presiden Bush tidak menyatakan dengan jelas, mengapa Amerika harus ada di Irak? Tidak ada rencana dan strategi. Jika perang Irak sangat berharga bagi bangsa Amerika, seharusnya juga anak-anak dari keluarga kaya dan terkemuka, dikirim berperang ke Irak. Tapi, jika darah anak-anak orang kaya itu tidak cukup berharga untuk tumpah di Irak, memang sebaiknya seluruh tentara AS di Irak ditarik pulang saja."