Kawasan Sahel Terancam Bencana Kelaparan
18 Februari 2012Baru dua pekan lalu PBB menyatakan berakhirnya bencana kelaparan di Afrika Timur, kini krisis berikutnya sudah mengancam. Sekarang krisis melanda Afrika Barat yang dikenal sebagai kawasan Sahel. Menurut Program Bantuan Pangan PBB, WFP, pemerintah Niger, Chad, Burkina Faso, Mauritania, Mali dan Senegal menyerukan kondisi darurat. Penyebabnya adalah kemarau berkepanjangan dan tingginya harga bahan pangan. 12 juta orang terancam bencana krisis pangan. "Sekarang terjadi kemarau, tapi masih belum terjadi kelaparan. Hal itu masih dapat dihindari. Untuk itu kami punya waktu dua atau mungkin tiga bulan. Tapi tidak lebih." Demikian disampaikan Diretur Organisasi urusan Pembangunan dan Pertanian PBB, FAO, José Graziano da Silva pada pertemuan darurat di Roma (15/02).
Perhimpunan ekonomi Afrika Barat ECOWAS juga bereaksi. Dalam pertemuan puncak Kamis (16/02) di ibukota Nigeria, Abudja, wakil-wakil ECOWAS sepakat menyumbang dana senilai 2,3 juta Euro untuk korban krisis bahan pangan di kawasan Sahel.
Menurut perkiraan WFP, sekitar 560 juta Euro yang diperlukan tahun ini untuk mencegah terjadinya bencana kelaparan di kawasan yang dilanda kemarau di kawasan Sahel. Dana itu diharapkan mencukupi kebutuhan pangan satu juta anak-anak di bawah usia dua tahun dan 500 ribu ibu hamil yang terancam kurang pangan yang akut.
Jerman juga ikut menyumbang 12 juta Euro untuk membantu bantuan darurat bagi warga yang kelaparan. Kementerian Luar Negeri Jerman dan Kementerian untuk Bantuan Pembangunan menyampaikan di Berlin, sebagian besar dana bantuan itu disalurkan ke Program Bantuan Pangan PBB WFP. Sebagian lainnya disalurkan lewat organisasi bantuan Jerman di kawasan Sahel dan Komite Palang Merah Internasional. "Kami tidak membiarkan orang-orang dalam kesulitannya." Kata Menteri Bantuan Pembangunan Jerman Dirk Niebel.
Bantuan Cepat dan Solusi Berkelanjutan
Salah satu organisasi bantuan Jerman di kawasan Sahel adalah Brot für die Welt (Red. Roti untuk Dunia), yang antara lain aktif di Chad dan Niger. „Penting untuk mempersiapkan manusia yang tidak memiliki lagi makanan dan bibit tanaman, agar mereka tetap tinggal di desanya dan tidak menjadi pengungsi. Jika tidak, mereka harus ditampung di suatu kamp pengungsi atau di sebuah kota yang besar." Demikian dijelaskan jurubicara Brot für die Welt, Rainer Lang.
Orang belajar dari kesalahan. Saat terjadinya krisis kelaparan di Tanduk Afrika, dalam dua tahun terakhir jutaan orang jadi pengungsi. Menurut Rainer Lang, diharapkan orang-orang, juga dalam kondisi darurat semacam itu dapat tetap semandiri mungkin dan dengan dukungan organisasi bantuan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Selain itu harus ditemukan solusi jangka panjang untuk kawasan tersebut. Organisasi bantuan Jerman Brot für die Welt mengupayakan penyimpanan cadangan bahan pangan secara lebih baik di kawasan yang dilanda krisis bahan pangan dan menyebarkan benih khusus yang resisten di musim kemarau. Dengan demikian orang kini dapat mengantisipasi kemarau dengan lebih baik.
Menurut WFP kemarau yang terjadi saat ini di Afrika Barat adalah yang ketiga kalinya dalam 10 tahun terakhir. Sementara kemarau tahun 2005 dan 2010 terutama melanda Niger dan Chad, krisis kelaparan tahun ini meluas ke seluruh kawasan Sahel.
Bencana Kemarau Sudah Diprediksi
Datangnya kabar bencana kemarau itu tidak mengejutkan. November 2011, Program Pangan PBB sudah memperingatkan akan terjadinya krisis kelaparan di kawasan Sahel. Empat bulan tidak dilakukan apapun. Allahta Ngariban adalah wakil Brot für die Welt di N'djamena, Chad. Ia mengritik tidak diambilnya tindakan oleh politik. „Setiap tahun kami mengalami krisis semacam itu. Seharusnya kami memiliki persiapan lebih baik. Tapi sialnya itu tidak terjadi. Politik yang bertanggungjawab untuk masalah itu gagal."
Awal tahun ini PBB sudah pernah menjadi sasaran kritik. Organisasi bantuan Inggris Save the Children dan Oxfam menuduh PBB terlalu lambat bereaksi terhadap krisis di Tanduk Afrika. Menurut keterangan organisasi bantuan hal itu menyebabkan kelaparan sekitar 50 ribu sampai 100 ribu orang di Kenya, Somalia dan Ethiopia.
Claudia Zeisel/Dyan Kostermans
Editor: Marjory Linardy