1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanJerman

Kepercayaan Karma dan Rendahnya Vaksinasi COVID-19 di Jerman

23 November 2021

Berpusat pada kepercayaan akan karma, reinkarnasi, dan koneksi ke dunia spiritual, pengikut antroposofi percaya bahwa penyakit adalah tantangan yang harus diatasi secara alami.

https://p.dw.com/p/43MVS
Ilustrasi demonstrasi menolak vaksin
Ilustrasi demonstrasi menolak vaksinFoto: Martyn Wheatley/Parsons Media/imago images

Lonjakan kasus infeksi virus corona di satu jenis sekolah di Jerman yakni Waldorfschule telah membuat gerakan antroposofi kembali banyak disorot oleh media-media Jerman. Antroposofi adalah gerakan spiritual di balik sistem pendidikan yang diduga turut berperan atas tersendatnya gerakan vaksinasi di Jerman.

Setelah kampanye vaksinasi besar-besaran pada musim semi tahun ini, tingkat vaksinasi di Jerman sejak musim panas stagnan berada di bawah 70%. Kurva vaksinasi juga terlihat melandai di negara tetangganya yakni Austria dan sebagian daerah di Swiss yang berbahasa Jerman.

Bagi penulis majalah Spiegel, Tobias Rapp, yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah Waldorf, landainya kurva ini tidak terlalu mengherankan. Menurut Tobias Rapp, salah satu alasannya adalah "skeptisisme vaksinasi dari kelompok kelas menengah yang berpusat di Jerman selatan dan Swiss."

Secara khusus, kelompok tersebut terdiri dari penganut antroposofi, sebuah filosofi yang dikembangkan oleh pendidik asal Austria, Rudolf Steiner, pada awal abad ke-20.

Karma, reinkarnasi dan dunia spiritual di Jerman

Berpusat pada kepercayaan terhadap karma, reinkarnasi dan koneksi ke dunia spiritual, antroposofi mengajarkan bahwa penyakit adalah tantangan penting yang harus diatasi secara alami. Michael Blume, peneliti ilmu politik dan agama, mengatakan bahwa kondisi geografis juga berpengaruh terhadap perkembangan ide-ide esoteris semacam ini.

Jumlah orang-orangyang skeptis vaksin tergolong sangat tinggi di daerah pegunungan di Jerman selatan, Swiss dan Austria, ujar Blume. Hal ini karena gerakan antiotoriter yang dipicu oleh ide tentang federalisme dan kedekatan dengan alam ikut memantik perkembangan ide-ide seperti antroposofi. 

"Banyak antroposofis percaya pada aturan karma, yaitu bahwa penyakit dapat membantu menebus kesalahan dalam kehidupan sebelumnya dan membawa perkembangan spiritual," ujar Blume. "Itulah mengapa, sayangnya, di beberapa Waldorfschule banyak yang skeptis terhadap vaksin. Beberapa juga percaya teori konspirasi," katanya.

Sebelum pandemi, Waldorfschule atau sering juga disebut Steinerschule sesuai nama pendirinya, populer dengan metode alternatif mereka yang memungkinkan anak-anak belajar dengan kecepatan belajar mereka sendiri. Sekolah yang jumlahnya sekitar 200 unit di Jerman ini sering menjadi sorotan karena beredarnya wabah campak di skala lokal.

Apa itu Waldorfschule?

Dalam laman websitenya, Waldorfschule mengatakan bahwa murid dari kelas 1 hingga kelas 12/13 belajar bersama dan mereka tidak punya tempat duduk tersendiri. Selain itu, sistem penilaian pada sekolah ini juga berbeda.

Alih-alih memberikan nilai, sekolah ini memberikan gambaran tentang perkembangan sesuai karakteristik dan kompetensi pribadi masing-masing murid. Hal yang dilaporkan antara lain kreativitas mereka, kemandirian, interaksi sosial dan keinginan untuk bertindak.

Para guru di sekolah ini berfokus pada pendampingan yang mendorong kaum muda untuk mengembangkan potensi individu. Subyek kognitif, musik, dan artistik juga dianggap sama penting. Ada juga mata pelajaran seperti hortikultura dan euritmik, yakni seni gerakan yang menciptakan dan meningkatkan koordinasi, konsentrasi, dan kreativitas. 

Tidak semua orang tua yang menyekolahkan anak-anak mereka ke Waldorfschule adalah orang-orang yang skeptis atau menolak vaksin. Namun selama 20 bulan terakhir saat pandemi, sekolah telah berulang kali dikaitkan dengan perdebatan antara vaksinasi COVID-19 dan pemakaian masker bagi anak-anak.

Murid di Waldorfschule Bonn-Tannenbusch, Jerman
Murid-murid di Waldorfschule di Tannenbusch, Jerman, merakit sendiri peralatan yang akan mereka pakai untuk bercocok tanamFoto: DW/Philip Barnstorf

Kompres jahe dan besi meteorit untuk obati COVID-19

Jumlah pengikut aliran antroposofi di Jerman memang hanya sekitar 12.000 orang, dari toal sekitar 83 juta penduduk. Namun pengaruh gerakan ini jauh lebih meresap dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jerman.

Selain sekolah, antroposofi juga merupakan akar dari grup kosmetik Weleda yang diciptakan oleh Steiner. Jaringan supermarket organik besar Alnatura dan raksasa toko obat DM juga didirikan oleh orang-orang yang mengaku sebagai antroposofis.

Ada juga federasi dokter yang menganut filosofi tersebut. Jaringan klinik antroposofis termasuk rumah sakit di Berlin yang memasukkan kompres jahe dan besi dari meteorit sebagai bagian dari obat untuk pasien COVID-19.

"Besi meteorit adalah obat yang kami gunakan dalam fase 2 penyakit COVID, yakni ketika gejala pertama penyakit muncul. Kami juga menggunakannya dalam sindrom setelah Covid, ketika kelelahan dan kelemahan muncul dalam tahap pemulihan," kata Harald Matthes, Kepala Rumah Sakit Havelhoehe, dalam wawancara dengan harian Tagesspiegel.

Tolak disebut antivaksin

Namun beberapa dokter antroposofis menolak tuduhan yang menghubungkan mereka dengan kaum antivaksin di Jerman. "Kami tidak mengetahui adanya data empiris yang menunjukkan bahwa antroposofis punya lebih banyak kekhawatiran tentang vaksinasi dibandingkan yang lainnya," ujar Stefan Schmidt-Troschke dari federasi organisasi payung kedokteran antroposofis di Jerman DAMiD kepada lembaga siaran ZDF.

Dia juga mengatakan federasi telah "sejak awal menyambut vaksinasi untuk memerangi pandemi" dan memprioritaskan vaksin bagi orang tua dan mereka yang paling rentan.

Tetapi bagi anak-anak lain ceritanya, menurut Stefan Schmidt-Troschk, "Risiko mereka terkena penyakit serius sangat rendah. Kami juga memandang vaksinasi dengan sangat hati-hati, seperti juga banyak masyarakat medis lainnya."

Vaksin Covid dianggap aman untuk anak-anak, dan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Israel telah memberikan vaksinasi kepada anak berusia lima hingga 11 tahun. Jerman juga diperkirakan akan menyetujui pemberian vaksin untuk anak-anak dalam beberapa minggu mendatang.

ae/yf (AFP, waldorfschule.de)