1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kanselir Jerman Kunjungi AS Bahas Hubungan Kedua Negara

7 Februari 2022

Olaf Scholz mengunjungi AS untuk pertama kalinya sebagai kanselir pada saat konflik Uraina-Rusia mengekspos perbedaan pandangan Jerman dan AS. Sejumlah pihak mengatakan Scholz dan Biden sebenarnya punya banyak kesamaan.

https://p.dw.com/p/46cEF
Foto Kanselir OIaf Scholz terakhir berkunjung ke Washington pada tahun 2021, ketika dirinya masih menjabat Menteri Keuangan
Foto Kanselir OIaf Scholz terakhir berkunjung ke Washington pada tahun 2021, ketika dirinya masih menjabat Menteri KeuanganFoto: Bernd von Jutrczenka/dpa/picture alliance

Ada awan ambiguitas yang menyelimuti Kanselir Jerman Olaf Scholz saat dia melakukan perjalanan pertamanya ke Amerika Serikat (AS) untuk mengunjungi Presiden Joe Biden. Di Jerman, kritikus dan pegiat media sosial telah memberikan komentar sinis tentang keengganan Scholz untuk membuat pernyataan tegas tentang krisis Ukraina.

"Seseorang harus memberi tahu Scholz bahwa dia membisu," seperti yang dikatakan salah satu pengguna di Twitter.

Sekutu NATO dan lawan politik Scholz di dalam negeri telah menyatakan frustrasi atas keengganan Jerman untuk mengirimkan senjata ke Ukraina.

Sikap Scholz tidak sepenuhnya terbantu oleh pernyataan rekan partainya sekaligus mantan kanselir Jerman, Gerhard Schröder, yang tidak pernah segan membela mitra bisnisnya Vladimir Putin di depan umum. Schröder tampaknya membenarkan penambahan pasukan Rusia sebagai reaksi terhadap NATO sambil menuduh Ukraina "berderak pedang."

Sementara itu, media Jerman berspekulasi tentang keretakan dalam hubungan transatlantik. Surat kabar Der Spiegel melaporkan pada akhir Januari bahwa Scholz tidak menemukan waktu dalam jadwal sibuknya untuk bertemu dengan Biden. Laporan itu dengan cepat dan keras dibantah oleh Gedung Putih.

Komitmen: ya. Tindakan: tidak?

Olaf Scholz sendiri muncul di stasiun televisi publik ZDF pada Rabu (02/02) malam untuk dengan tegas menyangkal bahwa dia terlalu pasif dan bahwa mitra NATO menganggap Jerman tidak dapat diandalkan. Dia tidak hanya bekerja secara intensif dengan semua mitra NATO, kata Scholz, tetapi dia juga merencanakan perjalanan ke Moskow untuk berbicara dengan Putin secara pribadi.

Sekutu kami tahu persis apa yang mereka miliki pada kami," katanya. "Kami adalah pihak yang memberikan kontribusi militer yang sangat tinggi sebagai bagian dari aliansi pertahanan NATO. Semua orang tahu persis bahwa untuk benua Eropa, Jerman adalah negara yang membuat pengeluaran yang sangat, sangat tinggi dalam hal ini." Scholz juga mengatakan bahwa tidak ada negara Eropa lain yang menawarkan bantuan ekonomi lebih banyak kepada Ukraina dalam beberapa tahun terakhir selain Jerman.

Namun demikian, beberapa pengamat politik merasa Scholz sekarang harus meyakinkan Biden tentang posisinya. "Intinya adalah Scholz tidak bisa datang dengan tangan kosong," kata Sudha David-Wilp, wakil direktur Dana Marshall Jerman (GMF) di Berlin. "Dia harus mengubah status quo. Alih-alih menjadi sangat pendiam, yang merupakan gayanya, dia perlu datang ke Washington dengan pesan yang jelas mengapa Jerman bergabung dengan aliansi barat dalam krisis ini vis-à-vis Ukraina."

David-Wilp mengatakan bahwa Scholz dan menteri luar negerinya, Annalena Baerbock dari Partai Hijau, mungkin telah menemukan banyak kata tentang komitmen Jerman terhadap kemitraan transatlantik dan apa yang dia sebut "sistem internasional berbasis aturan."

"Tetapi kelambanan Jerman saat ini tampaknya meniadakan semua kebijakan luar negeri berbasis nilai yang telah digembar-gemborkan oleh pemerintah baru ini," katanya kepada DW. "Angela Merkel adalah seorang komunikator krisis, sedangkan Scholz sayangnya cukup lama diam, dan sangat sulit untuk menafsirkan di mana dia dan pemerintahnya berdiri dalam masalah ini."

Seorang teman yang lebih baik dari Merkel?

Sementara itu, Sosial Demokrat tidak melihat alasan untuk khawatir tentang hubungan AS-Jerman. "Olaf Scholz adalah seorang transatlantis yang berkomitmen, dan teman-teman Amerika kami tahu itu, jadi ini akan menjadi pertemuan di antara para teman," kata Nils Schmid, juru bicara kebijakan luar negeri untuk Partai Sosial Demokrat (SPD). "Dia tidak perlu menebus kesalahan apa pun."

Faktanya, Schmid berpendapat bahwa krisis Ukraina telah ditandai dengan kerjasama transatlantik yang lebih erat daripada krisis internasional terakhir: penarikan NATO dari Afganistan musim panas lalu.

Itu juga pandangan Michael Werz, pengamat politik Jerman dan rekan senior di Center for American Progress yang berbasis di Washington. "Saya tidak berpikir Olaf Scholz harus memenangkan kembali kepercayaan apa pun, karena dia adalah entitas yang dikenal di sini di Amerika Serikat sejak masanya sebagai menteri keuangan," kata Werz kepada DW.

Untuk semua ketidaksepakatan yang tampak tentang pengiriman senjata ke Ukraina, Werz berpendapat bahwa pemerintahan Scholz menawarkan AS sesuatu yang tidak Merkel tawarkan: Kepentingan bersama pada isu-isu yang lebih besar yang sedang berlangsung seperti Cina dan perubahan iklim.

"Seluruh pemerintah Jerman yang baru, tidak hanya Olaf Scholz sendiri, memiliki perspektif yang lebih politis (daripada berorientasi bisnis) tentang Cina dalam hal hak asasi manusia, norma-norma internasional, dengan kebutuhan untuk mencari keseimbangan baru antara ekonomi kepentingan dan standar politik," kata Werz. "Terutama dengan Partai Hijau yang terlibat dalam pemerintahan. Saya pikir itu langkah maju yang disambut baik."

Biden (kiri), Merkel (tengah), dan Scholz (kanan) saat bertemu dalam KTT G-20 di Italia tahun lalu
Biden (kiri), Merkel (kedua dari kiri), dan Scholz (kanan) saat bertemu dalam KTT G-20 di Italia tahun laluFoto: Oliver Weiken/dpa/picture alliance

Titik temu dalam krisis iklim

Tentang perubahan iklim, banyak yang melihat Biden lebih dekat dengan Scholz daripada dengan Merkel. Baik Biden maupun Scholz sadar bahwa mereka berutang kemenangan pemilihan mereka sebagian karena gelombang besar pemilih muda yang melihat ancaman bencana iklim sebagai masalah yang menentukan dalam hidup mereka.

Tidak hanya itu, seperti yang ditunjukkan Nils Schmid, baik Biden maupun Scholz telah membuat poin untuk membingkai perlindungan iklim dalam hal kebijakan ekonomi, menyoroti potensi untuk menciptakan lapangan kerja baru di industri yang berkelanjutan. Ini adalah hal yang masuk akal, mengingat baik Jerman maupun AS adalah negara-negara yang ekonominya bergantung pada mempertahankan keunggulan kompetitif dalam industri modern.

Jadi ada banyak hal untuk didiskusikan oleh kedua pemimpin: "Ada pertanyaan tentang Uni Eropa dan AS yang menemukan target pengurangan emisi bersama, sehingga mereka bisa berada di klub iklim yang sama," kata Schmid. "Ada minat yang sama dalam teknologi baru. Baik itu hidrogen, atau sel surya, atau teknologi penyimpanan energi, tujuannya adalah untuk bergerak maju dalam penelitian dan pengembangan bersama."

Jadi sejumlah pihak akan menganggap bahwa Biden telah mengurangi kelonggaran Scholz atas krisis Ukraina. "Alasan mengapa Presiden Biden sangat sabar dengan Jerman, dalam arti dia telah mengatakan kepada Kongres untuk menunda memulai sanksi lebih lanjut yang juga dapat merugikan Jerman adalah karena dia melihat Jerman sebagai pemain kunci dalam hubungan transatlantik, tidak hanya dalam hal perubahan iklim, tetapi juga dalam berurusan dengan Cina," kata David-Wilp dari GMF.

Selain itu, mungkin secara diam-diam ada lebih banyak simpati di Washington untuk posisi Scholz daripada yang terlihat dalam suasana tegang beberapa minggu terakhir.

"Dalam diskusi panas saat ini, Anda tidak akan mendengar pejabat Washington membuat argumen ini di depan umum," kata Werz. "Tetapi saya pikir ada juga apresiasi implisit dari fakta bahwa Olaf Scholz perlu, A, berurusan dengan minoritas kecil di partainya yang mana lebih ramah-Rusia daripada yang diinginkan sebagian dari kita, tetapi, B, karena tradisi itu di dalam SPD, ia memiliki kredibilitas yang lebih besar sebagai lawan bicara vis-à-vis Rusia."

(rap/hp)