1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Junta Militer Myanmar Bebaskan 8.500 Tahanan

Rizki Nugraha4 Desember 2007

Pemberian Amnesti terhadap 8.500 tahanan ini dituding sebagai manuver politik untuk memperlonggar tekanan dunia internasional. Tidak ada satupun tahanan politik yang dibebaskan.

https://p.dw.com/p/CWfe
Tentara berpatroli di sebuah jalan di ibukota Yangoon, Myanmar.Foto: AP

Dua bulan setelah tragedi penumpasan aksi protes anti pemerintah di Myanmar, junta militer Myanmar memberikan amnesti bagi sekitar 8.500 tahanannya.

Masih belum jelas, siapa yang dibebaskan atau dampak seperti apa yang diharapkan oleh penguasa Yangoon dari pembebasan tersebut. Namun menurut Debbie Stothard, Koordinator jejaring alternatif bagi Myanmar di ASEAN, langkah junta militer itu cuma kedok politik untuk memperlonggar tekanan dunia internasional.

“Junta militer biasanya membebaskan tahanan karena kuatnya tekanan dunia internasional. Tapi dalam banyak kasus, junta militer cuma membebaskan tahanan kriminal dan bukan tahanan politik.” Tandas Debbie Stothard.

Momentum yang dipilih junta memang sangat tepat. Sehari sebelum pengumuman tersebut, kelompok Budha di Myanmar mengancam akan mempersiapkan diri untuk menghadapi pertumpahan darah selanjutnya jika junta militer Myamar tidak menunjukkan reaksi terhadap tekanan dunia internasional.

Pembebasan 8.500 tahanan itu sendiri diumumkan bertepatan dengan perayaan jalannya 14 tahun perundingan konstitusi di Myanmar. Memang Myanmar adalah satu diantara sedikit negara yang belum memiliki undang-undang dasar tetap. Selama bertahun-tahun, junta militer menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk menunda pemilihan umum.

Namun, hari Senin (03/12), sebuah komisi beranggotakan 54 orang dibentuk untuk merumuskan rancangan Undang-Undang Myanmar. Berbagai isu seperti perubahan lambang dan bendera negara, demokratisasi dan hak minoritas akan dibahas. Meskipun demikian beberapa pihak mengingatkan agar dunia internasional tidak menaruh banyak harapan terhadap perkembangan terbaru itu.

Dr. Zarni dari gerakan koalisi pembebasan Burma mengatakan: “Junta sudah menjanjikan amandemen konstitusi sejak 1993. Proses perundingannya sendiri berjalan terlalu lama, lebih dari sepuluh tahun. Dan sampai saat ini kita belum melihat adanya isyarat ke arah demokratisasi dari perundingan tersebut. Jadi saya tidak akan menaruh harapan banyak dari proeses perumusan konstitusi ini.”

Selain lamanya proses perundingan, amandemen konstitusi di Myanmar kali ini juga ditandai dengan penolakan junta militer untuk melibatkan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi dalam penyusunan naskah rancangan undang-undang.

Menurut junta, Suu Kyi dan para biksu telah mengkhianati negara karena ikut terlibat dalam aksi demonstrasi bulan september lalu. Dr. Zarni dari koalisi pembebasan Burma menilai penolakan tersebut sebagai kesalahan fatal. Menurutnya, junta telah membuka kedoknya sendiri.

“Tidak satu jendral pun di Burma yang demokrat. Jadi saya tidak yakin mereka mau menempuh proses demokratisasi dengan serius.” Ujarnya.