1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEropa

Jerman Debatkan Kembalinya Wajib Militer

William Noah Glucroft
28 Februari 2024

Ketidakmampuan militer Jerman menjaring cukup tenaga kerja mencuatkan isu kelangkaan personel di tengah ancaman Rusia. Buntutnya, pemerintah dan oposisi mendebatkan kembalinya wajib militer yang sudah dihapus sejak 2011.

https://p.dw.com/p/4cyHR
Serdadu Bundeswehr
Serdadu BundeswehrFoto: Boris Roessler/dpa/picture alliance

Militer Jerman, Bundeswehr, melakukan belanja besar-besaran demi membayar kelalaian pengadaan alutsista di masa lalu. Namun masalah yang muncul tidak selamanya bisa diselesaikan dengan uang.

Karena setelah Kementerian Pertahanan menggelontorkan duit utang senilai puluhan miliar Euro untuk membeli jet tempur, tank dan peluru, Bundeswehr justru kesulitan menemukan personel yang bisa mengoperasikan dan merawat alat tempur miliknya. Sebab itu pula gagasan wajib militer kembali dibicarakan, sebagai reinkarnasi relik Perang Dingin.

Di Jerman, sebagaimana di negara Eropa lain, sedang berkecamuk perdebatan politik seputar kewajiban bagi setiap warga negara untuk ikut mengangkat senjata. Partai-partai oposisi, seperti Uni Kristen Demokrat yang konservatif, CDU, sudah mewacanakan pemberlakuan ulang wajib militer, yang ditanggapi skeptis oleh koalisi tiga partai di pemerintahan.

Sikap pemerintah bertolak belakang dengan Menteri Pertahanan Boris Pistorius. Dia menilai keputusan pemerintah untuk membatasi wajib militer hanya dalam situasi darurat pada 2011 lalu sebagai "sebuah kesalahan" dan mengajak masyarakat berdiskusi

Bagi Sophia Besch, peneliti di wadah pemikir Carnegie Endowment for International Peace di Washington, Amerika Serikat, Pistorius memilih berpolemik demi "mencapai sasaran  yang lebih luas, yaitu meningkatkan kesadaran akan Bundeswehr sebagai penyedia lapangan kerja."

Kementerian Pertahanan mengaku sedang menggodok berbagai opsi untuk mengatasi kelangkaan personel di Bundeswehr. Tapi setiap perubahan besar tetap akan memerlukan persetujuan parlemen.

Pangkas relawan tempur demi serdadu profesional

Sejak setelah Perang Dunia Kedua, Jerman Timur dan Barat mengharuskan warga negaranya untuk bertugas di angkatan bersenjata. Kewajiban nasional ini masih berlaku setelah berakhirnya Perang Dingin, sebelum akhirnya parlemen Jerman, Bundestag, menangguhkan UU tersebut tiga belas tahun yang lalu.

"Setelah krisis keuangan 2008 motonya adalah menabung dan mengetatkan anggaran. Dan semua orang menilai situasi keamanan dengan Rusia tidak mudah, tapi kami masih saling bekerja sama," kata Mayor Jenderal Wolf-Jürgen Stahl, kepala Akademi Federal untuk Kebijakan Keamanan, BAKS. "Jadi masuk akal bagi saya jika pada saat itu kita mengambil keputusan tersebut."

Berakhirnya wajib militer menyejajarkan Jerman dengan mayoritas anggota NATO, yang telah lama mengandalkan serdadu profesional. Meski menyusutkan jumlah serdadu, perubahan tersebut menghasilkan kekuatan yang lebih efisien. Setelah mencatatkan hampir 500.000 tentara jelang akhir Perang Dingin, jumlah pasukan Bundeswehr berkurang sekitar setengahnya pada tahun 2010, setahun sebelum berakhirnya wajib militer. Angka terbaru menyebutkan jumlah pasukan sekitar 183.000 personel.

Tren pengetatan anggaran pertahanan baru berakhir setelah invasi Rusia ke Ukraina. Menurut rencana pemerintah, jumlah anggota Bundeswehr selayaknya bertambah menjadi 203.000 pada tahun 2031. Tapi niat tersebut dipercaya sulit terwujud. Karena saat ini pun, militer Jerman kesulitan menemukan calon tenaga kerja atau mempertahankan jumlah personel yang ada, seperti tercatat dalam laporan tahunan Komisioner Parlemen untuk Angkatan Bersenjata.

"Kita harus menampilkan daya gertak pertahanan yang mumpuni, dan antara lain membutuhkan lebih banyak prajurit,” kata Mayjend Stahl. "Bagaimana kita bisa mengumpulkan personel ini, dari pasar tenaga kerja? itu akan sulit," tukasnya.

Will Germany spend more on its military long term?

Ragam jenis wajib militer

Selain besarnya kekuatan pasukan, BAKS menilai polemik wajib militer berkaitan dengan "ketegangan antara hak dan kewajiban” sebagai warga negara. Banyak anggota kepolisian atau militer Jerman yang belakangan ketahuan berideologi ekstrem kanan. RUU wajib militer bisa menjadi cara menjamin struktur yang lebih demokratis dan inklusif bagi semua warga negara.

Salah satu "faktor krusial” dalam wajib militer, kata seorang juru bicara Kementerian Pertahanan kepada DW, adalah "kontribusinya dalam menjalin ikatan yang lebih kuat antara masyarakat dan militer.”

Salah satu opsinya adalah "model Swedia" yang membentuk Unit Pertahanan Semesta. Konsepnya mencakup semua warga negara berusia 16 hingga 70 tahun, untuk ditempatkan di dalam peran sipil dan militer, bergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Meski masih mencatatkan jumlah serdadu aktif yang kecil, sistem ini dirancang untuk bisa diperbesar atau diperkecil dengan cepat sesuai situasi keamanan.

Peserta terlebih dahulu ditanya "apakah mereka ingin bergabung dengan militer,” kata Besch. "Harapannya adalah, jika Anda bisa mewajibkan semua orang untuk setidaknya  mengikuti tes minat dan bakat, Anda mungkin bisa merangsang minat."

Amerika Serikat, yang menghapus wajib militer setelah kalah di Vietnam, mempertahankan sistem yang lebih pasif dan dikenal sebagai Layanan Selektif, SSS. Sistem ini mengharuskan semua pria berusia 18 hingga 25 tahun untuk mendaftar. Secara teori, 15 juta orang di dalam daftar SSS bisa dimobilisasi dengan cepat. Meski demikian, tanpa pelatihan atau seleksi yang efektif, tidak jelas berapa jumlah warga sipil yang mampu bertempur.

(rzn/hp)