1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jelang Berakhirnya Masa Jabatan Presiden Brasil

1 Oktober 2010

Kandidat calon presiden baru Brasil, Dilma Rousseff, masih unggul dari pesaingnya. Namun, sepertinya warga Brasil sendiri masih lebih memikirkan presiden lama Luiz Inacio Lula da Silva yang akan turun dari jabatannya.

https://p.dw.com/p/PS7u
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da SilvaFoto: AP

Harian Italia yang terbit di Turin La Stampa berkomentar tentang pemilihan presiden mendatang di Brasil :

"Sang presiden super Luiz Inacio Lula da Silva sudah memenangkan pemilihan. Sementara warga Brasil mempersiapkan diri untuk memberikan suara mereka, satu hal telah dipastikan. Dalam sejarah negara ini, tidak seorangpun yang mampu menandingi kepopuleran presiden yang bersahaja tersebut. Hampir 80 persen penduduk Brasil yang berbicara positif tentangnya, mewujudkan sebuah rekor yang memiliki arti lebih, karena bagaimana pun juga ia berada di akhir masa jabatannya yang kedua. Mereka juga lah perintis jalan terbaik bagi kandidat pilihannya Dilma Rousseff. Ia unggul dari pesaing-pesaingnya. Dan jika ia kemudian terpilih sebagai presiden, maka ia akan menjadi perempuan paling berkuasa ketiga di dunia, setelah kanselir Jerman Angela Merkel dan menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton.

Harian Perancis La Croix juga menulis tentang berakhirnya masa jabatan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva :

“Brasil yang tampil sebagai kekuatan regional damai, menumbuhkan rasa penasaran penuh simpati. Namun, kita tidak boleh lupa, bahwa negara ini pada pokoknya mengutamakan kepentingannya - khususnya industri pertanian yang tidak banyak mempertimbangkan perlindungan lingkungan. Di usia 65 tahun, Lula kini masuk ke jajaran mantan kepala negara, yang berkat citra mereka tetap mampu memberikan pengaruhnya. Di Brasil, ia telah memastikan agar politiknya dilanjutkan dengan mendukung pencalonan salah satu koleganya Dilma Roussef. Di PBB ia dianggap sebagai salah satu kandidat yang akan menjadi pengganti Sekjen Ban Ki Moon kelak."

Media-media lain menyoroti munculnya kekuatan partai kanan di beberapa negara Eropa. Harian Swiss Tages-Anzeiger berpendapat :

"Sekarang tidak akan ada hukuman bagi mereka yang mencapai kekuasaan berkat bantuan ekstrimis kanan. Pakta toleransi antara pemerintah minoritas di Den Haag dan Geert Wilders memang menimbulkan keresahan, tetapi kritik yang ada hanya sedikit. Ini tidak selalu begitu. Hampir sepuluh tahun yang lalu, Uni Eropa memberikan sanksi kepada Austria karena Wolfgang Schüssel dari partai demokrat kristen dengan bantuan partai haluan kanan Jörg Haider mencalonkan diri menjadi kanselir. Belanda termasuk anggota Uni Eropa yang dulu turut marah dengan perjanjian antara Schüssel dan Haider. Negara-negara Uni Eropa sempat membekukan hubungan dengan Austria yang termasuk negara anggotanya. Kini seruan serupa, misalnya untuk tidak membeli lagi bunga tulip asal Belanda, tidak ada."

Sementara harian Belanda de Volkskrant berpendapat kabinet minoritas Belanda tidak akan bisa unjuk gigi karena bergantung pada politisi populis kanan Geert Wilders.

"Wilders bisa memaksakan berbagai sasaran melalui kesepakatan mendukung pemerintah koalisi : peraturan yang lebih ketat dalam imigrasi dan pencarian suaka, hukuman bagi migran ilegal dan kemungkinan untuk mencabut kewarganegaraan. Masih harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah taktik membela diri perdana menteri Rutte memberikan cukup perlindungan bagi pihak terkait yang akan mendapat perhatian khusus Wilders. Berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, ia memang tidak boleh mengajukan atau mendukung mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Namun, ia bisa menolak kebijakan pemerintah. Ini bisa menyebabkan VVD dan CDA harus mencari mayoritas lain dalam parlemen. Ini adalah bagian yang paling sensitif dalam konstruksi ini. Kabinet bisa tidak berdaya dalam banyak hal, jika tidak ada kemungkinan kerjasama dengan pihak oposisi."

Vidi Legowo-Zipperer/dpa

Editor : Hendra Pasuhuk